Santri Dan Media Baru: Kajian Etnografis Penggunaan Situs Jejaring Sosial Facebook Di Kalangan Santri Pondok Pesantren Sukahideng, Tasikmalaya, Jawa Barat
ASEP MUIZUDIN M.D., --
2010 | Skripsi | Ilmu KomunikasiPeneliti memandang santri di Pondok Pesantren Sukahideng sebagai sebuah anomali. Apa yang peneliti temukan dalam kehidupan sehari-hari mereka, sangat jauh dari kesan santri pada umumnya. Jika santri selalu dikaitkan dengan gaya hidup yang sederhana dan bersahaja, lain halnya dengan apa yang peneliti temukan dalam kehidupan santri di pesantren ini. Mereka bisa dikategorikan sebagai anak muda yang glamor dan konsumtif. Hal ini misalnya terlihat dari penampilan sehari-hari mereka. Merk-merk pakaian distro khas anak muda bisa ditemukan dengan mudah di setiap pakaian para santri. Seragam sekolah mereka sangat mirip dengan apa yang biasa dikenakan oleh siswa-siswa di perkotaan. Sepatu yang mereka kenakan ke sekolah adalah sepatu dengan merk-merk semacam Converse, Airwalk, Adidas, Fila, atau Puma. Bahkan, ketika mereka mengenakan sarung sekalipun, kesan sederhana dan bersahaja sama sekali tidak terlihat. Sarung yang mereka kenakan telah dimodifikasi sedemikian rupa, agar tetap terlihat modis dan bergaya. Segala stigma negatif seputar kehidupan pesantren sama sekali tidak peneliti temukan di Pondok Pesantren Sukahideng. Terbelakang dan berada dalam golongan garis keras adalah dua stigma buruk yang seringkali dikaitkan dengan kehidupan pesantren. Stigma sebagai kalangan yang terbelakang menempatkan santri sebagai manusia Indonesia yang terlampau tradisional untuk hidup di jaman modern. Sementara stigma sebagai golongan garis keras menempatkan santri sebagai aktor utama beragam aksi terorisme, menempatkan pesantren sebagai tempat menyuburkan paham radikalisme dan fundamentalisme. Kehidupan santri Pondok Pesantren Sukahideng sebagaimana yang peneliti gambarkan di atas memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Sikap dan pemikiran mereka yang cenderung terbuka membuat mereka tidak gagap di dalam menghadapi perkembangan jaman. Mereka terlihat dengan mudah beradaptasi dengan apapun yang berada di luar lingkungan pesantren. Sikap dan pemikiran mereka yang terbuka juga memberikan warna tersendiri bagi kehidupan beragama mereka. Radikalisme dan fundamentalisme yang belakangan ini menjadi fenomena keagamaan yang amat menggiurkan banyak kalangan, sama sekali tidak menarik minat mereka. Minat mereka yang sedemikian besar justru dialihkan kepada hal yang berada di luar agama, kepada sebuah penanda yang identik dengan anak muda, yakni budaya populer. Produk-produk budaya populer amat dekat dengan kehidupan santri Pondok Pesantren Sukahideng. Musik, komik, film, game, dan fashion adalah beberapa produk budaya populer yang banyak dikonsumsi santri di pesantren ini. Umumnya, santri memiliki musisi, tokoh komik, bintang film, jenis game, dan produk fashion favorit. Di sinilah letak anomali tersebut, tidak lazim rasanya mendengar kabar ada santri yang begitu fasih membicarakan hal-hal semacam itu, hal-hal yang sama sekali tidak berhubungan dengan agama dan pengajian. Di sini pula letak kekurangan santri Pondok Pesantren Sukahideng. Produk-produk budaya populer telah menjebak mereka pada gaya hidup konsumtif. Kehidupan di pesantren sama sekali tidak mampu mendorong mereka menjadi pribadi yang sederhana dan bersahaja. Berbagai keunikan yang dimiliki oleh santri Pondok Pesantren Sukahideng mengantarkan peneliti pada beberapa temuan menarik. Pertama, berkaitan dengan media baru, semua informan memiliki kedekatan dengan media baru, dengan tingkat literasi yang berbeda-beda. Perbedaan tingkat literasi tersebut merupakan ciri khas khalayak media baru yang bersifat otonom dan individualistik. Kedua, berkaitan dengan budaya populer, semua informan memiliki kedekatan dengan budaya populer, dengan ikon-ikon budaya populer favorit yang berbeda-beda. Perbedaan selera tersebut lazim terjadi, mengingat budaya populer menawarkan begitu banyak alternatif. Ketiga, berkaitan dengan agama, semua informan memperlihatkan pemahaman keagamaan yang berbeda-beda. Perbedaan pemahaman keagamaan yang berbeda-beda tersebut memperlihatkan ciri khas pemikiran keagamaan di Pondok Pesantren Sukahideng yang cenderung moderat. Keempat, berkaitan dengan Facebook sebagai objek kajian utama penelitian ini. Semua informan menjadikan Facebook sebagai ruang ekspresi bagi pemahaman keagamaan, penguasaan terhadap media baru, dan kecintaan terhadap ikon-ikon budaya populer.
Kata Kunci : Intrenet-Jejaring Sosial