Laporkan Masalah

NEGOSIASI KEBIJAKAN ANTARA DPRD KOTA YOGYAKARTA DAN PEMKOT YOGYAKARTA DALAM RENCANA PEMBANGUNAN PUSAT SENI DAN KERAJINAN YOGYAKARTA

ASMARAWATI HANDOYO, Suharyanto

2010 | Skripsi | Manajemen dan Kebijakan Publik (dh. Ilmu Administrasi Negara)

Kritik terhadap keberadaan tanah mangkrak di eks terminal Umbulharjo melahirkan kebijakan PSKY(Pusat Seni dan Kerajinan Yogyakarta). Perbedaan usulan alternatif kebijakan PSKY membawa pada proses negosiasi kebijakan. Meskipun secara legal formal otoritas DPRD Kota Yogyakarta melemah dan otoritas Pemkot Yogyakarta menguat, namun DPRD Kota Yogyakarta berhasil memenangkan usulan alternatif kebijakannya menjadi sebuah produk akhir kebijakan PSKY. Oleh karena itu, penelitian ini berangkat dari pertanyaan mengapa DPRD Kota Yogyakarta dapat memenangkan usulan kebijakannya atas usulan kebijakan Pemkot Yogyakarta dalam negosiasi kebijakan PSKY? Tujuan pokok dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses negosiasi yang terjadi diantara DPRD Kota Yogyakarta dan Pemkot Yogyakarta dalam perumusan kebijakan PSKY. Disebabkan terbatasnya informasi mengenai proses negosiasi kebijakan PSKY, metode yang digunakan adalah eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Sumber data utama diperoleh melalui wawancara dengan pemilihan narasumber secara purposive sampling ditambah dengan data sekunder. Teori yang digunakan lebih banyak mengacu pada teori negosiasi dari Sawyer dan Guetzkow yang menjelaskan pentingnya penguasaan antecedent dan concurrent factor sebagai faktor yang berpengaruh dalam proses negosiasi. Oleh karena itu, asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah apabila salah satu pihak mampu mengoptimalkan antecedent dan concurrent factor dengan baik, maka usulan kebijakannya yang akan diadopsi menjadi kebijakan PSKY. Sedangkan bagi pihak yang tidak mampu mengoptimalkannya dengan baik adalah sebaliknya. Terdapat beberapa temuan penting yang diperoleh dari proses analisis. Pertama, kemenangan yang diperoleh DPRD Kota Yogyakarta bersumber dari keberhasilannya dalam mengoptimalkan antecedent dan concurrent factor. Diantara antecedent factor tersebut yaitu otoritas dan kapasitas kelembagaan dan situasi politik. Sedangkan concurrent factor yang berpengaruh diantaranya yaitu penguasaan jejaring informal, bencana alam, tekanan ekonomi, tekanan sosial, tekanan waktu, persyaratan prosedural, dan pertaruhan citra dan popularitas. Kedua, meskipun secara legal formal otoritas Pemkot Yogyakarta diperkuat ditambah beberapa faktor pendukung lainnya, Pemkot Yogyakarta tidak dapat memenangkan usulan kebijakannya. Beberapa diantaranya karena tidak adanya kontrak politik dan friksi memperlemah koalisi yang dibangun, resistensi di internal Pemkot Yogyakarta dan pertaruhan citra-popularitas. Ketiga, beberapa hal yang menjadi alasan DPRD Kota Yogyakarta untuk tidak menyepakati usulan kebijakan dari Pemkot Yogyakarta diantaranya karena perbedaan orientasi kebijakan, kekhawatiran terhadap tindak korupsi, dan ketidakpercayaan kepada profesionalisme birokrat. Keempat, pengkritisan yang dilakukan DPRD Kota Yogyakarta terhadap usulan kebijakan dari Pemkot Yogyakarta masih sebatas pada permasalahan teknis PSKY dan belum menyentuh pada hal-hal yang bersifat substantif seperti optimalisasi kebijakan, dampak sosial, kultural, dan lingkungan yang ditimbulkan dari pembangunan PSKY. Kelima, negosiasi tidak selalu dalam forum formal. Negosiasi melalui forum informal lebih efektif dibandingkan pembahasan dalam forum formal. Terdapat empat refleksi kebijakan publik yang dapat diperoleh dari proses penelitian ini yaitu pertama, analisis perumusan kebijakan publik tidak cukup hanya melihat aspek teknonomik, namun juga perlu memperhatikan aspek sosial dan politik yang terjadi. Kedua, disetiap konflik perumusan kebijakan publik di elit pemerintahan akan menghadirkan proses argumentative turn. Ketiga, perubahan otoritas lembaga legislatif secara legal formal, bukan berarti memperlemah posisinya dalam argumentatif turn kebijakan publik. Keempat,berbeda dengan pemahaman sebelumnya bahwa negosiasi sela lu dalam forum formal dan baku, penelitian ini menunjukkan negosiasi dapat berbentuk forum informal dan tidak kaku.

Kata Kunci : Kebijakan Publik


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.