Laporkan Masalah

Relasi Kuasa di Balik Kemenyan: Kiprah Dukun dalam Ranah Politik di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur

Ratna Puspita Dwipa Nugrahhani, --

2010 | Skripsi | Politik dan Pemerintahan (dh. Ilmu Pemerintahan)

Fenomena perdukunan lahir dari habitus tradisi kejawen yang telah terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat. Di Kabupaten Ngawi, habitus ini semakin diperkuat dengan munculnya situs-situs spiritual yang melahirkan keberadaan dukun. Kepercayaan masyarakat terhadap eksistensi dukun sampai saat ini belum menghilang, meskipun telah tercampur dengan pengaruh modernisasi dan transformasi sosial. Habitus kejawen yang dipengaruhi oleh tradisi Islam memunculkan ragam praktik perdukunan seperti adanya kyai dukun, dukun kejawen dan dukun kejawen kyai. Ketiga ragam ini menjadi pola praktik perdukunan yang sebenarnya juga tidak dapat diklasifikasifikasikan secara tegas. Salah satu dukun di Ngawi yang menjadi subyek sekaligus obyek dalam penelitian ini adalah Dukun Kejawen bernama Ki Japa Santa Waluya. Kiprah Ki Japa dalam ranah politik terlihat ketika ia menjadi penasihat spiritual dari beberapa orang politisi. Secara struktural, ia pernah menjadi penasihat spiritual untuk partai. Kiprahnya di ranah politik memberikan gambaran bahwa modal menjadi penting bagi seseorang untuk mendapatkan kuasa, legitimasi dan pengaruh. Dalam kerangka pemikiran Bourdieu, penelitian ini menemukan adanya bentuk-bentuk modal yang digunakan oleh Ki Japa untuk melanggengkan praktiknya. Modal simbolis merupakan salah satu modal yang menempati posisi penting. Modal simbolis tercipta dari habitus kejawen dan dimanifestasikan Ki Japa melalui istilah-istilah dalam bahasa yang diciptakannya. Ki Japa berusaha untuk mempengaruhi para klien politisinya dengan bahasa, modal pengetahuannya tentang sejarah sosial politik Indonesia, dan pengalamannya sendiri sebagai mantan politisi. Kuasa atas bahasa yang dimiliki Ki Japa kemudian dijadikan sebagai modal untuk melakukan pertukaran dengan para politisi. Bentuk pertukaran tersebut dalam tataran paling bawah adalah pertukaran yang terkait dengan instrumen ekonomi. Lebih jauh, Ki Japa akan memperkuat pengaruhnya dan menambah modal sosial yang dimiliki melalui proses transaksional dengan para politisi. Ranah menjadi suatu ruang dalam perebutan kekuasaan dan arena bertemunya berbagai kepentingan. Dalam ranah politik, kiprah Ki Japa dan strategi yang dijalankannya ternyata memiliki nalar yang berbeda dimata politisi. Praktik magi dan klenik yang erat dengan fenomena perdukunan telah bergeser ke arah praktik yang lebih dapat diterima logika, demikian juga dengan apa yang ada dalam benak para politisi ketika berelasi dengan dukun. Salah satu motif politisi berelasi dengan dukun adalah untuk mendapatkan dukungan spiritual. Dukungan spiritual tersebut bukan sesuatu yang homogen dan sangat tergantung pada masing-masing individu. Kuasa simbolik dukun melalui bahasa lebih efektif digunakan dalam hal ini. Di satu sisi, politisi menggunakan jasa dukun untuk mengantongi basis massa yang dimiliki oleh dukun. Dukun biasanya memang memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat. Sehingga, ketika seorang politisi dapat menggunakan dukun sebagai salah satu simpul masyarakat, ia kemungkinan besar dapat memperolah tambahan suara demi suatu posisi politik. Dalam relasi antara dukun dan politisi, terjadi pertukaran yang memungkinkan terbukanya jalur politik informal, membuka peluang terbukanya struktur politik secara formal. Hal ini dapat dilihat dalam relasi antara klien Mbah No. Secara umum, pertukaran di sini tidak dapat dilihat secara nyata selayaknya dalam proses transaksional ekonomi. Banyak variabel lain yang terdapat dalam relasi antara dukun dan politisi tersebut. Dalam hal ini, proses pertukaran yang dilakukan dalam konteks relasi mikro antar personal dukun dan politisi dapat menjadi intermediasi terhadap perubahan struktur secara makro, yaitu hadirnya peran dukun dalam ranah politik.

Kata Kunci : Mistikisme; Politik


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.