Laporkan Masalah

KONFLIK TANAH ULAYAT (Studi di Kecamatan Serui, Kabupaten Yapen Waropen, Papua)

SETYANINGRUM, Maria Anita Dyah, Suharko

2010 | Skripsi | Sosiologi

Masyarakat dimanapun mereka berada akan senantiasa menghadapi berbagai kemungkinan terjadinya konflik. Konflik merupakan warna lain kehidupan yang tidak bisa dihapuskan. Konflik atau pertentangan umumnya dianggap sebagai sesuatu yang tidak fungsional. Ada idiom yang mengatakan bahwa setiap jengkal tanah di Papua merupakan tanah berkonflik. Hal ini menjadi topik perbincangan umum oleh masyarakat di Papua, terlebih semenjak otonomi daerah tahun 2001 yang membuat penduduk asli lebih berani menyuarakan dan menuntut hak-hak mereka atas tanah dikembalikan. Terinspirasi untuk menguak lebih dalam bagaimana konflik tanah ulayat yang terjadi di Papua, penelitian ini kemudian mencoba menjawab pertanyaan “Bagaimana peta konflik tanah ulayat di kecamatan Serui, Kabupaten Yapen Waropen, Papua?” Pemetaan konflik tanah ulayat ini didasarkan pada penyebab konflik, pihak yang berkonflik, isu- isu yang dikonflikkan, dinamika konflik, dan resolusi konflik (Wehr:1978 dan Kent:1993). Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Konflik dan kekerasan bukan hanya menyangkut ekspresi kekerasan, jumlah kerugian, dan korban, namun juga menyangkut masalah kepentingan, kekuatan, dan kekuasaan sebagai sebuah konteks. Persoalannya, pertama, antara fenomena dan konteksnya tampil dalam batas-batas yang kabur dan tidak tegas. Kedua, sebagai fenomena yang melibatkan lebih dari satu pihak, maka keterangan atau sumber bukti dikumpulkan dari multipihak. Dengan demikian, pendekatan studi kasus dipilih sebagai sarana yang dianggap tepat guna mendapatkan penjelasan mengenai fenomena dan konteks peristiwa beserta relasi antar keduanya. Sementara itu, data diperoleh dengan wawancara dan pengolahan data sekunder. Di lapangan, penulis menjumpai bahwa sumber terjadinya konflik tanah adat di Serui adalah karena perbedaan nilai, kepentingan, dan tujuan dari perebutan akan sumber daya tanah. Pihak-pihak yang berkonflik dalam penelitian ini adalah PT. Telkom Serui, Gereja Kristen Immanuel Serui, Pemerintah Daerah Serui, dan Keluarga Maipon. Secara garis besar, setiap isu yang dikonflikkan selalu melibatkan tiga aktor utama, yaitu PT. Telkom Serui, Gereja Kristen Immanuel Serui, dan Keluarga Adat Maipon. Isu yang dikonflikkan terbagi dalam dua isu besar, yaitu isu mengenai status kepemilikan tanah adat dan isu mengenai ganti rugi pembayaran tanah adat. Konflik terjadi selama 34 tahun, dan dalam kurun waktu tersebut, sedikitnya terjadi dua kali eskalasi konflik, dengan ditandai adanya pemalangan. Eskalasi konflik secara khusus dipengaruhi oleh disahkannya UU No. 21 Tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus Papua. Sedangkan de-eskalasi konflik sedikit banyak dipengaruhi oleh negosiasi dengan pihak yang berkonflik, dan menemui titik terang setelah pembayaran uang muka ganti rugi tanah adat. Konflik ini pada akhirnya selesai dengan bantuan mediasi dari pemerintah di tahun 2008, dan dilakukan upacara pembebasan tanah adat bagi tanah yang berkonflik.

Kata Kunci : Konflik Lokal


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.