Laporkan Masalah

KPID dan Fiduciary Frekuensi Penyiaran Lokal (Studi Kasus Peran Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Penentuan Lembaga Penyiaran Televisi Pemohon Kanal 44 UHF Televisi Si

Dewi Ratih Widyaningtyas, Hermin Indah Wahyuni

2009 | Skripsi | Ilmu Komunikasi

Pemilihan satu di antara enam merupakan hal yang sangat sensitif bagi pengambilan kebijakan publik. Dikhawatirkan, banyak terjadi gesekan serta manipulasi di dalamnya. Peran KPID DIY dalam turut menyelesaikan kasus ‘perebutan’ kanal 44 UHF Yogyakarta ini lalu didasarkan pada peraturan perundangan yang secara hukum telah ‘melahirkan’ mereka. Namun peraturan perundangan yang menjadi acuan inipun sebenarnya juga sarat akan konflik kepentingan di mana pemerintah masih ingin menarik-narik kewenangan KPI (termasuk KPID). Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran memang seolah menjanjikan demokratisasi penyiaran di Indonesia. Namun sebenarnya undang-undang tersebut beserta peraturan turunanannya masih saja berpeluang untuk dibelokkan sebagai pemangkasan terhadap usaha demokratisasi penyiaran itu sendiri. Proses fiduciary kanal 44 UHF Yogyakarta ternyata menempatkan KPID DIY sebagai loket awal masukkan berkas permohonan lembaga penyiaran pemohon. Proses dalam kewenangan penuh KPID DIY ini berakhir hingga dihasilkannya Rekomendasi Kelayakan bagi kelima lembaga penyiaran pemohon. Kebijakan ‘beauty contest’ oleh KPID DIY dengan menilai studi kelayakan semua proposal pemohon seharusnya hanya akan menghasilkan satu Rekomendasi Kelayakan (RK) bagi satu pemohon. Namun dengan diterbitkannya lima RK ini seolah menunjukkan bahwa sebenarnya KPID DIY tidak mau beresiko memilih satu di antara lima pemohon. Nilai penyiaran demokratis yakni diversity of content dan diversty of ownership ini dijadikan acuan dalam proses penilaian proposal permohonan. Diversity of content digunakan untuk melihat aspek konsep program siaran. Sedang diversity of ownership digunakan untuk menilai aspek perseroan. Penambahan nilai visi dan latar belakang terjadi karena hal ini merupakan landasan yang lebih riil dan kuat atas pendirian sebuah lembaga penyiaran. Independensi yang dibangun KPID DIY sebenarnya sulit diukur secara pasti. Namun dengan memetakan hubungan antara segitiga pemerintah-publik-industri penyiaran, posisi KPID DIY menjadi lebih jelas. Secara ideal, KPID DIY seharusnya lebih dekat terhadap publiknya yakni masyarakat Yogyakarta. Dalam prakteknya, KPID DIY terlihat justru sangat dekat dengan lembaga penyiaran pemohon. Kedekatan di sini bisa diartikan formal dan nonformal. Sedang hubungan KPID DIY dengan pemerintah merupakan ekses dari peraturan perundangan yang memang telah menyatakan intervensi pemerintah dalam fiduciary kanal frekuensi. Hal yang di luar kuasa KPID DIY adalah pada hubungan antara lembaga penyiaran pemohon (berserta industri penyiaran di belakangnya) dengan pemerintah pusat (Departemen Komunikasi dan Informasi). Hubungan-hubungan ini menimbulkan banyak potensi manipulasi dan penyelewengan wewenang serta pengkhianatan terhadap amanat publik sebagai pemilik kanal frekuensi. Pada akhirnya dapat dilihat bahwa dalam tarik-menarik antara wewenang pemerintah, KPIP, dan KPID, memunculkan Rekomendasi Kelayakan (RK) sebagai batas wilayah penuh KPID. Selebihnya, kewenangan terbagi dengan KPIP dan Depkominfo (pemerintah pusat). Nilai-nilai koordinatif telah menjadi subordinatif antara pusat dan daerah. Kembali sentralistis dan melemahkan demokrasi. Sedang banyak pemohon memahami peran KPID sebatas pemberian RK. Selebihnya adalah kewenangan pusat. Ini menjadi peluang bagi KPID untuk ‘berhenti’ sampai di sini, atau justru khawatir karena takut aspirasinya terhadap lembaga penyiaran pemohon ini tidak terwujud. Ramainya Yogyakarta untuk pendirian lembaga penyiaran televisi ini tidak terlepas dari statusnya sebagai salah satu kota yang diriset AGB Nielsen (lembaga riset media). Oleh karena mayoritas biro iklan, pengusaha dan stasiun televisi perpedoman pada lembaga riset ini, tidak ada cara yang lebih mudah selain juga mendirikan stasiun televisi di responden yang datanya didaat secara nyata. Sedang berbondong-bondongnya pendirian televisi pada beberapa tahun terakhir terutama pada tahun 2007-2008 (khususnya dalam kasus ini) menunjukkan persiapan lembaga-lembaga penyiaran dalam menyongsong sistem penyiaran berjaringan di mana penyelenggaraan penyiaran secara area dan konten akan dibatasi sehingga lembaga penyiaran harus didirikan dengan konsep lokal. Dan karena mendirikan televisi lokal adalah pekerjaan yang sangat berat secara sumber daya, kewajiban berjaringan inilah yang dimanfaatkan, sekaligus sebagai konglomerasi perusahaan medianya.

Kata Kunci : Televisi; Penyiaran


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.