Laporkan Masalah

PONDOK PESANTREN SENIN-KAMIS DAN MARJINALISASI WARIA

Wuri Sayekti Handayani, Soetomo

2009 | Skripsi | Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (dh. Ilmu Sosiatri)

Intisari Pada hakekatnya manusia diciptakan ke dunia hanya terdiri dari dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan. Namun saat ini banyak kita temukan sosok waria yang sebenarnya dikodratkan sebagai seorang laki-laki namun mengingkari kodrat tersebut karena merasa tidak sesuai dengan nuraninya sehingga mereka berpenampilan layaknya wanita. Selama ini image negatif selalu melekat pada diri seorang waria. Sebagian masyarakat masih memandang waria dengan sebelah mata sehingga pada akhirnya mereka hidup dalam kondisi termarjinal. Akses mereka untuk memasuki dunia kerja ataupun lingkup sosial menjadi terbatas. Hal ini menyebabkan banyak waria yang kemudian memilih hidup secara eksklusif dan berprofesi sebagai pekerja seks komersial. Namun Sikap penolakan dan label negatif yang diberikan masyarakat terhadap waria membuat beberapa waria menjadi sadar terhadap tindakannya, sehingga beberapa dari mereka ada yang mulai meninggalkan perilakunya yang menyimpang, seperti waria yang menjadi santri dalam pondok pesantren Senin- Kamis. Mereka ingin menunjukkan pada masyarakat bahwa tidak semua waria berperilaku negatif. Terkait hal itu, fokus yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai respon masyarakat terhadap para waria setelah menjadi santri dalam pondok pesantren Senin-Kamis di Notoyudan, kecamatan Gedong Tengen, Yogyakarta. Adapun teori yang digunakan untuk mengkaji persoalan tersebut yaitu Teori Interaksionisme Simbolik, yang menyatakan bahwa interaksi antar individu, diantarai oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi, atau dengan saling berusaha untuk saling memahami maksud dari tindakan masing-masing. Demikian halnya dengan proses interaksi yang terjadi antara masyarakat Notoyudan dengan santri waria. Masyarakat yang semula memberikan pemaknaan negatif terhadap waria, maka dapat berubah menjadi positif terhadap waria karena ketika proses interaksi berlangsung mereka memiliki interpretasi terhadap tindakan waria. Untuk memperoleh data-data yang berkaitan dengan fokus penelitian, maka dalam pengambilan sampel digunakan metode purposive sampling. Informan yang peneliti wawancarai diantaranya masyarakat Notoyudan khususnya RW 24, pihak instansi seperti kecamatan, kelurahan, dan KUA setempat, waria yang menjadi santri dalam pondok pesantren Senin-Kamis beserta pemiliknya, dan ustadz yang mengajar dalam pondok pesantren Senin-Kamis. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diketahui bahwa adanya pondok pesantren Senin-Kamis yang diperuntukkan khusus bagi waria, dimana di dalamnya mereka dibina oleh ustadz, mampu mengubah pandangan masyarakat terhadap waria. Masyarakat Notoyudan mempunyai redefinisi terhadap waria, bahwa ternyata tidak semua waria berperilaku negatif. Karena itu, saat ini masyarakat Notoyudan memiliki respon yang positif terhadap keberadaan pondok pesantren Senin-Kamis maupun terhadap waria yang menjadi santri. Respon positif masyarakat Notoyudan terhadap waria tercermin melalui berbagai sikap, tindakan, dan interaksi yang terjalin dengan baik. Kata Kunci : Waria, Marjinalisasi, Pondok Pesantren, Pemaknaan

Kata Kunci : Waria; Pondok Pesantren


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.