Laporkan Masalah

INSTITUSI DAN PRAKTIK SENSOR FILM DI INDONESIA

Monica Yohari Listianingtyas, Budi Irawanto

2009 | Skripsi | Ilmu Komunikasi

Lembaga Sensor Film sebagai Institusi Non-Struktural Negara Institusi sensor di Indonesia beberapa kali mengalami pergantian nama. Setelah mengalami beberapa pergantian tampuk pemerintahan, institusi sensor tetap dipertahankan. Hingga kini bernama Lembaga Sensor Film. Lembaga sensor film merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang dibentuk melalui Peraturan Pemerintah no. 7/1994, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Perfilman no. 8/1992. Saat ini, Lembaga Sensor Film berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan BP2N dan urusan perfilman berada di bawah koordinasi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Sensor yang dijalankan Lembaga Sensor Film adalah sensor preventif, yang dilakukan sebelum film beredar ke masyarakat. Memperhatikan peraturan-peraturan penyensoran dalam LSF menurut PP no. 7 tahun 1994, dalam proses sensor preventif, LSF juga menerapkan sensor fisik, administratif, dan ideologis. Meskipun merupakan sebuah lembaga sosial dan di dalamnya terkandung aturan-aturan sensor yang memuat nilai-nilai sosial dan norma-norma masyarakat, Lembaga Sensor Film lebih cenderung merupakan alat kontrol pemerintah dalam perfilman. Hal ini terlihat jelas dalam dominasi pemerintah Orde Baru yang mengendalikan perfilman melalui Departemen Penerangan. Peran film sebagai media komunikasi massa menjadi tidak berfungsi secara optimal karena sifat kritis film lemah. Mengingat, proses perumusan undang-undang perfilman berada di bawah genggaman kekuasaan Orde Baru yang mengupayakan adanya pelanggengan kekuasaan dengan menutup semua celah yang dapat menggoyahkan propaganda Pancasila dan pemerintah. Segala kegiatan yang berhubungan dengan penyensoran film diatur dalam peraturan pemerintah. Menurut Peraturan Pemerintah no. 7 tahun 1994, fungsi, tugas, dan wewenang diatur dalam pasal 4,5, dan 6. Pasal 17 dan 18 menjadi dasar pedoman dan kriteria penyensoran. Demikian pula dengan syarat-syarat dan proses sensor film. Keduanya diatur dalam PP no.7/1994. Kriteria dan pedoman penyensoran menurut PP no. 7/1994 dijadikan tolok ukur utama dalam menjalankan penyensoran film. Maka, semua film yang akan mengalami proses penyensoran pun harus tunduk pada peraturan LSF yang bersumber pada PP no. 7 Tahun 1994. Inilah yang menunjukkan keterikatan LSF terhadap Peraturan Pemerintah no.7 tahun 1994 dan Undang-Undang Perfilman no. 8/1992. Dengan posisi seperti ini, pemerintah pun cenderung leluasa mengatur perfilman. Karena di dalam PP tersebut, kepentingan politis pemerintah lebih diutamakan daripada nilai-nilai sosial dan norma masyarakat. Konteks transisi politik Indonesia dengan gerakan reformasi telah mengubah wajah media massa di Indonesia menjadi lebih demokratis. Demikian pula dengan film, yang merupakan salah satu media komunikasi massa. Film juga mengalami perkembangan dalam hal tema-tema yang diangkat. Setelah mengalami transisi politik dan demokratisasi media massa, lembaga sensor film tidak mengalami perubahan meskipun materi film yang disensor meningkat tajam. Perubahan yang terjadi hanyalah pada komposisi keanggotaan yang memiliki masa jabatan 3 tahun dan tarif sensor. Selebihnya, perubahan Lembaga Sensor Film terlihat dari rantai koordinasinya, yaitu dari di bawah Departemen Penerangan, BIKN dan LIN, kemudian Departemen Pendidikan Nasional. Perubahan koordinasi ini juga tidak mengubah sistem sensor yang diterapkan oleh Lembaga Sensor Film. Kebijakan pemerintah yang tidak berubah dalam bidang perfilman seolah mengekalkan keberadaan Lembaga Sensor Film, walaupun secara undang-undang, Departemen Penerangan yang menaunginya sudah dibubarkan pada tahun 1999. Meskipun kriteria dan pedoman penyensoran menurut Peraturan Pemerintah no. 7 tahun 1994 kurang sesuai dengan kondisi perfilman nasional saat ini, namun masih diterapkan di LSF. Muncul pandangan bahwa LSF merupakan perpanjangan tangan pemerintah otoriter dari jaman penjajahan Belanda sehingga layak untuk dibubarkan dan digantikan Lembaga Klasifikasi Film. Pantaslah apabila kritik dan tuntutan masyarakat ditujukan pada UU Perfilman karena ‘perbenturan’ UU Perfilman dengan hak-hak dasar warga negara yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 28. Percikan permasalahan ketidakkonsideran antara UUD 1945 pasal 28 dan Undang-Undang Perfilman yang telah muncul sejak tahun 1995 kini telah membesar dan semakin berkobar, menjadi masalah yang semakin kompleks. Kelemahan UU Perfilman terus bertambah seiring dengan lompatan progresif dunia perfilman Indonesia. Keterpasungan isi undang-undang Era Orde Baru tidak bisa mengakomodasi kepentingan-kepentingan dan keterbukaan informasi dalam masyarakat yang semakin meluas. Wacana tentang otonomi daerah, perkembangan dunia penyiaran, perkembangan teknoogi, dan pembjakan tidak ditanggapi secara serius oleh LSF. LSF masih berpegang teguh pada konstitusi di atasnya dalam menanggapi isu-isu tersebut. Tidak mengherankan berbagai kritik dilontarkan terhadap isi undang-undang tersebut sejak reformasi bergulir. Undang-undang tersebut dianggap telah ‘usang’ dan kurang kontekstual di dalam kehidupan masyarakat sekarang. Reformasi seharusnya turut pula membawa angin kesegaran dalam perfilman nasional. Salah satunya dengan amandemen Undang-Undang tentang Perfilman. 2. Lembaga Sensor Film dalam Praktek Media massa mulai merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya dalam menyiarkan informasi dan berita setelah reformasi bergulir. Pertumbuhan media masaa baru meningkat tajam. Undang-Undang yang mengatur tentang media massa pun bermunculan, sebagian lagi mengalami amandemen. Namun tidak demikian halnya pada film. Undang-Undang no. 8 tahun 1992 tentang Perfilman tetap dipertahankan meskipun kondisi politik, ekonomi, dan sosial masyarakat telah berubah. Bergeser ke dekade 2000an, kecurangan-kecurangan dalam Lembaga Sensor Film semakin tampak jelas. Fenomena kecurangan dalam administrasi sensor semakin marak seiring dengan meningkatnya kuantitas produk film dan media penyiaran lainnya. Meskipun mengaku mencoba untuk lebih demokratis, boleh dikatakan, tidak ada perubahan dalam tubuh Lembaga Sensor Film yang mengarah ke demokratisasi dengan cara melindungi hak-hak karya seni para sineas Indonesia. Dengan tetap berpegang pada undang-undang dan peraturan pemerintah yang sama, dipastikan bahwa prosedur dan pelaksanaan penyensoran film di LSF tidak berubah. Demikian pula dengan jumlah keanggotaan yang tetap dari tahun ke tahun. Seruan protes terhadap kinerja LSF pun muncul, terutama dari kalangan perfilman yang merasa dirugikan dengan cara sensor yang memotong-motong bagian film. Hal sebaliknya juga terjadi. Protes bahwa LSF perlu mengetatkan kriteria penyensoran juga terdengar, terutama dari kalangan agama dan sebagian masyarakat. Undang-Undang Perfilman tidak berubah, PP tentang LSF pun tidak berubah, akibatnya proses sensor di LSF tidak mengalami perkembangan. Penerapan sistem sensor dalam film dianggap sebagai pemasung kreativitas kalangan perfilman. Pihak Lembaga Sensor Film sendiri juga menyadari ketidaksesuaian Undang-Undang Perfilman no. 8 Tahun 1992 dan menyetujui akan adanya perubahan. Hal ini mendukung tuntutan sebagian masyarakat, terutama dari kalangan sineas untuk membubarkan Lembaga Sensor Film. Namun Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa LSF tetap dipertahankan dengan catatan, mekanisme LSF diubah agar sesuai dengan perkembangan perfilman nasional. Salah satu implikasi dari keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah dengan perumusan UU Perfilman yang baru. Rumusan UU Perfilman yang baru kini tengah menjadi pembahasan di DPR, yang diajukan oleh MFI, LSF, BP2N, dan dari DPR sendiri. Selain masalah tuntutan pembubaran, LSF juga ditempa masalah baru, yaitu masalah perkembangan dunia penyiaran dan otonomi daerah yang memunculkan TV-TV lokal dan kewenangan peredaran film oleh daerah, perkembangan arus informasi melalui internet, dan kewenangan LSF dalam pembajakan film. Permasalahan ini mendesak perubahan dalam UU perfilman. Jika regulasi kebijakan publik tentang perfilman di era Orde Baru tetap diterapkan, hal ini akan menimbulkan ketidaksesuaian karena iklim yang ditimbulkan dari perubahan sistem politik otoriter menjadi lebih demokratis sangatlah berbeda. Undang-undang perfilman harus memuat tentang kebebasan berpendapat seperti pada undang-undang lainnya. Kebijakan publik yang dicanangkan pemerintah disusun oleh pemerintah sendiri, dengan memakai perspektif pemerintah, akan berbeda saat mulai diterapkan dalam masyarakat. Jika pemerintah tetap menggunakan model kelembagaan dalam setiap putusan yang dikeluarkan, maka dimungkinkan akan banyak permasalahan masyarakat yang terabaikan, terutama jika pemerintah kurang tanggap dalam mengikuti perkembangan kondisi sosial masyarakat. Perubahan tatanan politik Indonesia dengan adanya otonomi daerah memberikan kewenangan bagi setiap daerah untuk mengelola rumah tangganya sendiri. Wewenang daerah ini termasuk melarang atau memperbolehkan penayangan suatu film di daerah administratifnya. Jika pemerintah daerah bersikap acuh, maka masyarakat daerah yang bersangkutan yang akan mengambil tindakan reaktif. Pemberlakuan Kode Etik Film dapat menjadi alternatif yang menjembatani berbagai kepentingan dalam film. Dengan adanya kode etik ini, sensor film oleh pemerintah ditiadakan, sebagai gantinya dibentuk sebuah badan yang di dalamnya terdapat perwakilan masyarakat dan para sineas yang duduk bersama untuk menentukan poin-poin yang menjadi kesepakatan antarpihak terkait kualitas film tanpa pemberlakuan sensor. Di dalam badan kode etik film, yang berasal dari unsur masyarakat dan sineas, terdapat kebijakan untuk memberlakukan klasifikasi tontonan dengan pemberian rating. Masyarakat juga mempunyai sarana untuk mengajukan protes, kritik, saran, dan seruan-seruan lainnya melalui badan kode etik ini. Pemberlakuan kode etik film diakomodasi dalam undang-undang dan memiliki ketentuan pemberian sanksi bagi setiap pelanggarnya. Di sinilah pemerintah memposisikan diri sebagai pengawas atas pemberlakuan kode etik film. Diharapkan pelaksanaan sistem kode etik film ini dapat menjadi wadah yang demokratis bagi kalangan perfilman Indonesia, masyarakat, dan pemerintah dalam bidang film, sehingga dapat pula menumbuhkan kesadaran bahwa film merupakan aset budaya yang penting untuk ditumbuhkan dan dikembangkan dan layak untuk diberikan apresiasi yang tinggi.

Kata Kunci : Film


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.