Laporkan Masalah

STUDI KASUS KONFLIK ANTARA ETNIS PEGUNUNGAN TENGAH DAN ETNIS PAPUA LAINNYA DI PROVINSI PAPUA (MANIFESTASI KEPENTINGAN DI BIROKRASI)

KAMBON, Yohanes Fajar I., -

2009 | Skripsi | Politik dan Pemerintahan (dh. Ilmu Pemerintahan)

ABSTRAKSI Konflik pada substansinya adalah sebuah pertentangan dari dua aspek yang masing-masing memiliki bobot atau muatan yang kemudian secara sosial disebut dengan kepentingan. Dalam dinamika sosial kemasyarakatan silang kepentingan(cross cutting interest) kerap terjadi dan tidak sedikit pula yang kemudian mengeskalasi menjadi benturan atau konflik yang destruktif. Kehidupan sosial di Papua pun tak luput dalam refleksi demikian dimana tuntutan perubahan sebagai wujud persepsi ketidakadilan mengemuka menjadi pertentangan antar etnis besar di Papua. Pembangunan infrastrugtur dan pendidikan yang tidak merata antara kawasan Pesisir Utara dan Kawasan Pegunungan Tengah bukan semata melahirkan ketimpangan pada wilayah dan sumber daya manusianya saja melainkan membawa efek domino bagi terciptanya kecemburuan dalam lingkup etnis tersebut. Wilayah Pesisir Teluk Cenderawasih tempat berdiam orang Biak dan orang Serui sejak masa lalu terjamah modernisasi oleh kehadiran Pemerintah Belanda demikian pula orang Maibrat yang terangkul kemajuan oleh berkembangnya wilayah Teminabuan oleh akibat aktivitas pertambangan minyak Belanda NNGPM. Namun kondisi yang sebaliknya dialami oleh mereka yang ada di Pegunungan Tengah, sebut saja orang Dani dan orang Mee. Lamban dalam berkembang membuat mereka terus terisolasi dari perkembangan modern. Situasi pun tak berubah selepas hengkangnya Belanda serta datang Pemerintah Indonesia, wilayah pesisir terus maju dengan beragam sentuhan modernisasi dan di pegunungan tengah tetap saja terbaikan. Fakta ini yang kemudian menjadi landasan timpangnya kondisi dan dinamika hidup etnis Pegunungan Tengah dengan Etnis Pesisir Teluk Cenderawasih serta Maibrat. Kontestasi antar etnis-etnis menapak pada fase yang kritis takkala etnis ini amil bagian dalam wadah birokrasi. Birokrasi bagi orang Papua secara umum dipandang sebagai profesi yang bergengsi dan hingga ini masih menjadi tumpuan dan tujuan untuk aktualisasi diri menggapai kesejahteraan. Sebagai profesi yang formal dengan segenap tanggung jawab yang menuntut kompetensi, birokrasi tentu menjadi ekslusif dan accesable bagi mereka yang memiliki standar pendidikan memadai dan situasi ini yang membuka kesempatan lebih awal bagi etnis Pesisir Teluk Cenderawasih dan Etnis Maibrat untuk ambil bagian sebagai birokrat. Dalam perkembangannya dengan perlahan namun pasti orang Biak dan Serui berkembang dengan pesat bagi dari segi karir dan komposisinya didalam tubuh birokrasi, hingga tiba momentum reformasi dan otonomi daerah yang menguatkan proporsi suku-suku pribumi dalam lingkup politik dan pemerintahan dengan membawa peran dan dominasi orang pesisir dengan porsi yang lebih besar di masa Gubernur Freddy Numberi(1998-1999), namun selang setahun kemudian reformasi personil terjadi dimana pergeseran dominasi strugtur akhirnya menempatkan orang Maibrat dalam proporsi yang dominan. Hal ini dilakukan dibawah Gubernur J.P.Solossa yang juga berlatar suku Maibrat dan dominasi ini berlangsung massif setidaknya untuk masa periode 2000-2005 atau seumur masa pemerintahan J.P. Solossa. Bagi orang Papua lain, sepertihalnya orang gunung tindak atau situasi demikian bukan saja menimbulkan rasa kecemburuan karna tergambar dari mereka yang melekat pada strugtur birokrasi adalah melimpahnya materi kesejahteraan yang tidak sedikit, namun takkala keinginan orang gunung untuk turut serta menikmati kegelimpahan itu dengan berupaya menggapai strugtur tersebut yang didapat adalah upaya peminggiran dengan berwujud pengabaian kompentensi yang sudah orang gunung miliki dengan stereotipe bahwa orang gunung belum cukup capable memimpin sebuah strugtur birokrasi. Tak pelak hal ini menimbulkan kekecewaan dan sakit hati orang gunung karna sebagai sesama orang Papua mereka pun merasa punya hak untuk menikmati dan mendapatkan yang sama. Namun oleh sebagaimana yang diungkapkan oleh Wahyudi(1998) bahwa penguasa akan cenderung menggunakan cara apapun untuk mempertahankan status quo dan melemahkan mereka-mereka yang berusaha menggantikannya. Situasi ini mendesak orang gunung untuk melihat alternatif lain yang memungkinkan bagi mereka dan itu salah satunya adalah berupaya menciptakan strugtur baru lewat Pemekaran Wilayah. Secara fundamental pergolakan etnis ini tak lain bertujuan untuk mengupayakan kesetaraan dalam kepentingan mengakses kekuasaan yang mendatangkan kesejahteraan, sehingga dengan mengedepankan sikap bijak untuk menciptakan keadilan pembangunan dalam porsi kekuasaan tentunya harapan untuk kembali terciptanya kehidupan yang harmonis diantara etnis-etnis yang ada di Papua kian mungkin untuk kembali digapai.

Kata Kunci : Konflik; Etnis


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.