Laporkan Masalah

Politik Etnisitas dan Demokratisasi di Kenya

Dwirahmi Suryandari,

2009 | Skripsi | Ilmu Hubungan Internasional

Melihat uraian dari bab sebelumnya, bisa dikatakan bahwa konflik etnis di Kenya lebih tepat dijelaskan dengan pendekatan “elite-persuasion” ala Snyder, bukan “popular-rivalries”. Didukung dengan beberapa teori bahwa hal-hal yang primordialis bukanlah penyebab konflik, konflik etnis di Kenya memang sangat dipengaruhi oleh keberadaan aktor-aktor politik dengan beragam kepentingan. Proses terjadinya konflik etnis di Kenya bisa dijabarkan sebagai berikut: a. Pada masa sebelum kolonialisme, etnis yang ada di Kenya hidup berdampingan dengan damai dan memiliki pola hubungan seimbang yang hanya berkisar di bidang sosial dan ekonomi. Pada era itu, etnis yang ada di Kenya hanya dibedakan berdasarkan tiga kelompok linguistik besar yaitu Bantu, Nilotic dan Cushite. b. Proses penamaan (naming) dan pemberian identitas terhadap kelompok yang sekarang kita kenal sebagai kelompok etnis ini terjadi pada jaman kolonialisme. Sehingga bisa dikatakan bahwa identitas yang ada saat ini bukanlah suatu hal yang given. Pemerintah kolonial melakukan ini untuk mempermudah administrasi dan mendayagunakan kelompok-kelompok tersebut demi kepentingan mereka. c. Identitas hasil konstruksi tersebut melekat, memperkuat elemen-elemen primordial yang ada sebelumnya, dan memperjelas perbedaan antar kelompok serta menjadi pemicu konflik ketika berhadapan dengan aspekaspek politik dan ekonomi. d. Aktor politik memanfaatkan sentimen antar etnis sebagai alat untuk memperkuat posisi mereka dalam sistem pemerintahan. e. Demokratisasi yang terjadi dalam waktu yang sangat singkat dan berorientasi prosedural –bukan substansial- membuat etnisitas menjadi alat yang paling siap digunakan oleh aktor politik untuk memobilisasi massa. f. Mobilisasi ini kemudian termanifestasi dalam bentuk konflik etnis komunal yang terjadi baik karena ketidakmampuan maupun ketidakmauan sang pemimpin untuk mengorganisasikan kepentingan kelompok etnis. g. Sehingga demokratisasi dengan pemilu yang diharapkan dapat mengurangi kekerasan antar etnis malah memperparah kondisi keamanan Kenya. Demokratisasi memang tidak selayaknya menjadi kambing hitam dari konflik antar etnis yang terjadi di Kenya. Bagaimanapun, proses demokratisasi di Kenya bisa dikatakan masih baru. Pengadopsian sistem demokrasi dalam bangsa yang heterogen pasti menimbulkan konflik. Demokrasi juga membutuhkan proses dan waktu yang lama untuk bisa terkonsolidasi. Kenya menghadapi masalah yang dihadapi oleh kebanyakan negara Afrika yang sedang memulai proses demokratisasi. Hal tersebut disebabkan karena kebanyakan negara Afrika berdiri di atas rezim yang rapuh dan tidak memiliki dukungan yang konsisten dari rakyatnya. Pelajaran berharga yang dapat diambil dari Kenya adalah bahwa komitmen seorang pemimpin sangat diperlukan untuk mewujudkan tatanan bangsa yang damai. Terlebih dalam sebuah bangsa yang memiliki keragaman etnis. Kebijakan pada masa pemerintahan Jomo Kenyatta sendiri tidak bisa dibilang adil bagi sebagian etnis. Namun otoritarianisme yang ia terapkan terbukti dapat membendung konflik komunal pada masa itu. Jomo Kenyatta bisa dikatakan mampu mendistribusi kekuasaan kepada etnis-etnis dominan sehingga kekerasan dapat dihindarkan. Kenyatta mengambil peran sebagai “Bapak Kenya“. Cara kepemimpinannya sangat sesuai dengan kondisi masyarakat Kenya yang belum melek politik. Berbeda dengan Daniel Arap Moi yang mau tidak mau terperangkap pada era demokratisasi. Alih-alih memanfaatkan momen ini untuk merestrukturisasi sistem, ia membuat kebijakan yang semakin menekan kelompok lawan. Tindakan Moi yang kental dengan nuansa favoritisme etnis ini membawa Kenya pada konflik etnis dengan kekerasan. Moi yang memegang kekuasaan tertinggi dan terpenting di Kenya tersebut sebenarnya mempunyai peluang untuk membawa perdamaian bagi Kenya. Namun ternyata kebijakan Moi benar-benar membuktikan bahwa ia adalah seorang aktor politik yang berjuang hanya bagi kepentingan partai dan etnisnya sendiri. Bisa dikatakan bahwa Moi memanfaatkan demokratisasi yang terjadi untuk menghancurkan sistem demokrasi itu sendiri. Pemerintahan koalisi dan dibangun oleh Mwai Kibaki dan Raila Odinga saat ini merupakan sebuah kemajuan dalam proses tersebut. Apapun bentuk pemerintahnnya, negara-negara Afrika, termasuk Kenya tetap membutuhkan seorang figur pemimpin yang dapat merangkul perbedaan yang ada. Heterogenitas etnis, kesenjangan dan kelangkaan sumber daya penunjang kehidupan dapat menjadi pemicu konflik berkepanjangan. Demokrasi di Kenya masih membutuhkan proses yang panjang untuk bisa terkonsolidasi secara utuh. Sebuah negara yang mengaku menganut sistem demokrasi harus bisa membuktikan bahwa demokrasi di negaranya memenuhi syarat-syarat demokrasi baik dari aspek prosedural maupun substansial. Pemilu sebagai salah satu perwujudan demokrasi belum tentu mencerminkan terpenuhinya aspek substantif dari sistem demokrasi. Namun tanpa adanya aspek ini maka demokrasi yang ada di sebuah negara bisa dikatakan setengah hati.

Kata Kunci : Politik Kenya


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.