SERIKAT BURUH DALAM PEMBENTUKAN CIVIL SOCIETY DI INDONESIA (Studi Tentang Gerakan Serikat Buruh Pasca-reformasi
Nurdiyanto, N.,
2008 | Skripsi | Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (dh. Ilmu Sosiatri)INTISARI Bagi Indonesia, meski sejarah indutrialisasi tumbuh secara prematur, namun gerakan buruh mampu memberi pengaruh yang cukup besar bagi perjalanan bangsa ini. Perlu diingat bahwa gerakan buruh pernah menjadi gerakan alternatif tumbuhnya semangat nasionalisme pada masa kolonial. Hanya saja, sejarah perkembangan serikat buruh juga mencatat perpecahan antara serikat buruh yang satu dengan yang lainnya selalu mewarnainya. Mulai dari pengusungan ideologi yang berbeda hingga pemahaman arah perjuangan yang tidak pernah menemukan titik temu, serikat buruh selalu berjuang sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan yang diusungnya. Bahkan diera reformasi ini, perpecahan makin melebar, karena elite buruh yang seharusnya sebagai motor gerakan justru saling bertarung satu sama lain. Dalam menganalisa permasalahan diatas, penulis menggunakan tiga teori sekaligus, yaitu teori konflik karya Marx, teori hegemoni karya Gramsci dan teori piliharan rasional karya Coleman. Penggunaan teori konflik dimaksudkan untuk menganalisa bagaimana posisi buruh didalam masyarakat industri. Dari prespektif ini juga dapat dilihat bahwa buruh memiliki peran penting dalam suatu gerakan sosial. Kemudian Gramsci membantah bahwa buruh tidak lagi menjadi kelompok yang esensial dalam perwujudan gerakan sosial. Melalui teori hegemoninya, Gramsci menjelaskan bahwa negara yang telah berlselingkuh dengan kaum kapitalis ialah musuh utama gerakan buruh. Mengingat negara memiliki sayap kekuasaan jauh lebih lebar dibanding kaum kapitalis, Gramsci mensyaratkan gerakan buruh harus bersedia membuka diri bagi kelompok sosial lain dalam melawan negara. Hanya saja melihat konteks Indonesia, kedua teori tersebut tidak pernah terjadi dalam perjalanan serikat buruh selama ini. Yang terjadi justru perpecahan diantara para elitnya. Sehingga penulis mengambil prespektif pilihan rasional sebagai pijakan terakhir dalam mengalisa perpecahan serikat buruh pasca-reformasi. Selain itu, sebagai pendukung analisa, penulis juga menggunakan prespektif rasionalitas milik Weber. Mengingat permasalahan yang diangkat penulis cukup menarik sebagai bahan penelitian, maka metode yang dipilih ialah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomologi. Hal ini bertujuan agar jawaban-jawaban yang diperoleh lebih mendalam dan dapat mengungkap persoalan-persoalan yang kurang terangkat diranah publik, salah satunya ialah makna dibalik pecahnya serikat buruh pasca-reformasi. Banyak alasan yang menjadi penyebab serikat buruh pada era reformasi mengalami perpecahan. Lemahnya kontrol negara terhadap serikat buruh akhir-akhir ini melahirkan serikat buruh secara liar. Hal tersebut diperparah dengan pemaknaan kebebasan yang berbeda diantara elite buruh. Alam reformasi juga memunculkan motivasi-motivasi elite buruh dalam membentuk serikat buruh baru yang sangat pragmatis, yaitu sebagai alat pemenuh kebutuhan ekonomi maupun politik semata. Alasan ekonomi elite membentuk serikat dapat dilihat dari banyaknya serikat yang pada akhirnya gulung tikar akibat tidak adanya sumber pendanaan dalam menjalankan roda organisasi. Sedangkan alasan politik sangat kentara tatkala sebagian elite buruh mengarahkan perjuangan ke ranah politik melalui pembentukan partai politik. Padahal buruh sendiri banyak yang belum mengetahui keberadaan partai buruh. Untuk menghadapi kenyataan ini, elite buruh seharusnya dapat memahami bahwa persoalan kesadaran masih menghantui sebagian besar buruh di Indonesia, baik untuk berorganisasi maupun berpolitik.
Kata Kunci : Buruh