Politik dan Seni ( Pengaruh Politik Terhadap Perkembangan Seni Lukis Tahun 1960-1970 )
RAJA, Henry Satria Wira, Sri Djoharwinarlien
2009 | Skripsi | Politik dan Pemerintahan (dh. Ilmu Pemerintahan)Abstraksi Politik dan Seni lukis saya hiperbolakan sebagai dua dimensi yang berbeda, karena pada kenyataannya memang tidak ditemukan persamaan. Mereka memiliki prinsip, metode dan praktek yang berbeda. Besarnya perbedaan mendasar itu akhirnya memisahkan mereka dan membentuk alamnya masing-masing. Entah mengapa, seperti suratan takdir, dua dimensi ini saling bertemu dan berkolaborasi menjadi satu. Fenomena berkolaborasinya dua dimensi ini dapat kita lihat di Indonesia sekitar ahun 1960 sampai 1970. usut demi usut, ternyata sekitar tahun 1960-1970 situasi politik Indonesia mengalami masa-masa kekacauan. Kekacauan itu disebabkan karena borok dari luka politik lama yang kembali kambuh. Akar dari kekacauan itu awalnya terjadi akibat penyerapan ideologi yang berbeda dari masing-masing elit pribumi sebelum Indonesia merdeka. Konflik ideologi sudah lama terjadi antara sesama penduduk pribumi, namun pada masa penjajahan, konflik bisa direduksi melalui dominasi penguasa jajahan. Tetapi setelah indonesia merdeka konflik Ideologi yang dulunya bisa terkontrol kini malah menjadi runcing. Konstenstasi politik terlihat secara terang-terangan sehinnga nuansa “game teori” benar-benar terealisasikan. Para elit politik bersaing untuk saling menjatuhkan agar cita-cita dari ideologi yang didambakan dapat diwujudkan. Strategi politikpun diterapkan, para elit melakukan berbagai macam cara agar ia bisa memenangkan konstestasi politik yang tealh diarenakan. Makin agresifnya aktifitas politik pada periode tersebut ahirnya menyebabkan politik mulai mendobrak dimensi pembatas yang membatasi dunia politik dan dunia seni (khusunya seni lukis). Di lain pihak, di dunia seni lukis juga mengalami gejolak yang luar biasa. Gejolak itu diawali dari sebuah pencarian identitas tentang kebudayaan asli Indonesia. seiring dengan semagat Nasionalisme yang tumbuh dimasing-masing pribadi penduduk pribumi, para pelukis juga merasakan hal yang demikian. Nuansa anti penjajah pada saat itu terekam dalam jiwa mereka yang menyebabkan mereka menolak apapun segala produk dari penjajah. Pelukis-pelukis pribumi berusaha mengembangkan kreatifitas mereka sebagai harapan menyaingi dan mememrangi kebudayaan penjajah. Realisasi dalam memrangi penjajah adalah dengan menolak cara pandang tentang pembuatan lukisan “pemandangan“ atau “Moi Indie“. Pelukis-pelukis pribumi mengatakan lukisan pemandangan adalah lukisan para penjajah dan tidak patut untuk di tiru. Transformasi antara semangat nasionalisme dengan hasrat untuk mencari sesuatu yang baru dari adalah dengan megungkapkan tema-tema kerakyatan sebagai inspirasi proses pembuatan sebuah lukisan. Dari sejarah perjalanan seni lukis yang anti dengan penjajah, sekaligus juga sedang berusaha menguatkan sebuah karakter asli Indonesia, akhirnya malah menjadi sasaran empuk bagi elit-elit politik yang sedang besaing. Dengan cara-cara ala politik, indoktrinisasi nilai-nilai kebudayaan oleh pemegang kekuasaan terbesar lama-kelamaan mengiring para pelukis untuk ikut serta dalam kegiatan poltik. Elit penguasa akhirnya mampu menghegemoni nilai-nilai seni lukis dan seni-seni lainnya.puncaknya, setelah sekian lama proses ini berlangsung, munculah seniman-seniman yang merasa dihentikan kreatifitasnya karena perbedaan nilai pandang. Perlawanan terus dilancarkan namun tetap saja Sang Tuan Hegemoni yang memperoleh kemengan. Campur tangan politik dalam membentuk karakter kebudayaan meyebabkan seni lukis juga ikut terkena dampaknya. Politik sangat mempengaruhi kegiatan seni lukis secara langsung. Maka dari pada itu skripsi ini dibuat untuk menjelaskan terjadinya proses perkembangan dunia seni yang tidak berjalan normal akibat pengaruh dari campur tangan politik
Kata Kunci : Politik, Seni