Peran Borjuasi Eropa dalam Reformasi Habitus Negara Modern
YUSUF, Windu Wahyu, Windu Wahyu Yusuf
2008 | Skripsi | Ilmu Hubungan InternasionalTulisan ini mengambil studi kasus perubahan habitus negara, pada abad 15 -18 di Prancis dan Belanda dengan borjuasi sebagai aktor utamanya. Sedangkan perubahan bentuk negara dari rezim feodal ke monarki yang terjadi beberapa abad sebelumnya tidak akan dibahas. Pertanyaannya singkat saja: bagaimana monarki absolut bisa berubah dari rezim yang berorientasi pada dirinya sendiri serta segelintir konstituen terbatas ke bentuk-bentuk negara yang berorientasi pada masyarakat luas. Pembahasan akan dimulai sejak di abad 15 yang ditandai Perang Tiga Puluh Tahun, krisis pangan, wabah penyakit yang menyapu populasi seluruh Eropa serta retaknya kekuasaan gereja. Implikasinya tidak melulu bersifat institusional tapi juga struktural. Setidaknya ada beberapa perubahan besar yang terjadi setelah krisis. Pertama, krisis pangan dan wabah menyebabkan aktivitas pertanian manorial yang bertahan selama kurang lebih 300 tahun hancur dan terjadi migrasi besar-besaran ke kota. Dari segi politik, terjadi perubahan dalam hal cara pandang orang melihat politik dan kekuasaan. Jika sebelumnya dalam sistem pertanian manorial petani tidak memiliki hak politik, di kota ia bisa melamar keanggotaan gilda dan sejak itu menjadi bagian dari citizen (citoyen, burger, penduduk kota dengan hak politik—meskipun terbatas). Seluruh profesi di kota memiliki gilda, namun yang terbesar adalah gilda pengrajin/pekerja dan gilda pedagang. Yang belakangan biasanya besar di kota-kota industri maju seperti di Negeri tanah rendah (Belgia dan Belanda) yaitu Flanders dan Brabant, Italia Utara, Rhineland.1 Dinamika politik kota pada waktu itu berbasis perimbangan kelas ini. Kota sebagai pusat pun semakin terlihat tatkala posisi desa tidak lagi berperan semata sebagai manor yang berpsoduksi secara subsisten namun sebagai pemasok pangan. Di samping itu banyak bangsawan dan pejabat gereja juga pindah ke kota dan beberapa ikut dalam aktivitas perdagangan. Kedua, bangsawan dan gereja praktis tidak memiliki kekuatan politik yang relatif terbatas di kota-kota karena pada saat yang bersamaan terjadi pemusatan admisistrasi serta kekuatan militer oleh monarki di kota-kota tersebut. Dengan demikian, terjadi pergeseran luar biasa dalam cara orang pada zaman itu melihat pengorganisiran politik, mekanismenya, serta cakupannya baik secara organisasional maupun secara geografis. Yang ingin dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini adalah tatkala krisis tersebut memicu krisis insitusional dimana peran negara, sebagai institusi politik tertinggi dipertanyakan oleh aktor-aktor lainnya. Peperangan dan serangan bangsa Viking,Mongol, dan Slavia menyebabkan disepersi kekuasaan para pangeran ke desa-desa serta melahirkan apa yan kemudian disebut sebagai feodalisme. Sementara perang agama, wabah penyakit yang berjangkit di desa-desa Eropa abad 19, serta ancaman pengkhianatan para pangeran di pedesaan menyebabkan kekuasaan di abad 15 memusat di kota-kota dan melahirkan rezim monarki absolut. Akan tetapi keduanya tidak memiliki perbedaan yang berarti jika kita menilik dari segi orientasi kekuasaan yang melulu mengarah pada kepentingan Raja dan aristokrat, dari cara mereka mendapatkan legitimasi, serta dari cara mereka melihat masyarakat.
Kata Kunci : Negara; Borjuasi; Eropa