Advokasi Kebijakan Kenaikan Retribusi Puskesmas: Peran JANGKEP dan Forum LSMDIY (Studi Kasus Advokasi LSM JANGKEP (Jaringan kajian dan Advokasi Kebijakan Publik)
EDI, Ashari Cahyo, Ashari Cahyo Edi
2008 | Skripsi | Politik dan Pemerintahan (dh. Ilmu Pemerintahan)Meskipun tujuan mendasar proses pembuatan kebijakan publik adalah untuk menerjemahkan/mengakomodasi kepentingan publik, faktanya seringkali publik sendiri tidak banyak terlibat dan dilibatkan didalamnya. Dalam konteks politik yang belum familiar dengan proses-proses deliberasi, akses publik dalam ruang-ruang kebijakan publik cenderung terbatas. Birokrasi berperan dominan. Pada kondisi inilah, advokasi kebijakan menemukan titik pentingnya. Beranjak dari permasalahan tersebut, skripsi ini mencoba membidik bagaimana masyarakat sipil melakukan advokasi kebijakan publik. Sektor kesehatan adalah bagian yang coba dibidik, karena justru sektor inilah yang dianggap sebagai salah satu sektor yang paling bersentuhan dengan hak dasar masyarakat.Penelitian memotret advokasi kebijakan oleh Jaringan Kajian dan Advokasi Kebijakan Publik (JANGKEP) dan Forum LSM DIY terhadap kebijakan kenaikan retribusi Puskesmas Pemerintah Kota Yogyakarta. Penelitian menemukan bahwa logika dari strategi advokasi JANGKEP dan Forum LSM DIY lebih banyak dikerangkai oleh fitur-fitur politik daripada teknokratik. Artinya,representasi yang menjadi pijakan legitimasi memperoleh porsi perhatian lebih besar dibandingkan kontribusi substantif-teknokratis yang pada dasarnya sangat mungkin diberikan. Padahal, untuk menjadi efektif, strategi advokasi memerlukan keduanya: legitimasi (representasi publik yang diwakili) dan kredibilitas (kemampuan teknokratis agar mampu memberikan solusi alternatif). Melalui polling dan FGD, JANGKEP dan Forum LSM DIY membangun legitimasi untuk tujuan informasi dan edukasi kepada publik mengenai hak-hak dasar kesehatan. Proses advokasi ini dibangun setelah proses analisis Raperda dan anggaran kesehatan sebagai strategi penyusunan evidence-based advocacy. Sayangnya, proses advokasi seperti terhenti di sini. Strategi advokasi dengan pendekatan teknokratis di mana kedua jaringan LSM mestinya mampu memberikan alternatif solusi, misalnya berupa tawaran ide realokasi anggaran atau desain kebijakan kesehatan yang lebih kompatibel bagi tiap lapisan masyarakat, tidak terjadi. Kedua jaringan LSM juga seperti tidak menemukan sense strategi advokasi macam apa yang akan dibangun di tiap fase pembuatan kebijakan. Sedangkan strategi advokasi mesti disusun dengan pendekatan berbeda ketika masuk di agenda setting,formulasi, implementasi atau evaluasi kebijakan. Terakhir, kedua jaringan juga lemah dalam hal network dengan pihak-pihak pembuat kebijakan. Padahal ini penting untuk memperoleh dukungan atas isu yang diadvokasinya. Kelemahan-kelemahan tersebut sangat mempengaruhi kurangnya tingkat efektivitas peran advokasi yang dilakukan kedua jaringan LSM. Dari sini bisa disimpulkan bahwa advokasi pada dasarnya bukan hanya merupakan kerja-kerja politik. Supaya efektif, ia membutuhkan kemampuan dan pemahaman teknokratik supaya ia mampu memberikan alternatif jalan keluar. Untuk itu, ia mesti didukung dengan kuatnya sense pilihan pendekatan yang tepat untuk masuk di tiap tahap pembuatan kebijakan. Penguatan jaringan, yang didukung dengan kecermatan pemetaan aktor-aktor pembuat kebijakan, juga tidak kalah penting untuk membangun dukungan.
Kata Kunci : Kebijkan Publik