Resistensi Atas Hegemoni Distribusi dan Ekshibisi Film (Studi Tentang Ruang-Ruang Alternatif Menonton Film di Yogyakarta)
AYUNINGTYAS, Hanum, Hanum Ayuningtyas
2007 | Skripsi | SosiologiBerawal dari keseragaman tema film dan krisis ruang menonton di Yogyakarta pasca terbakarnya dua bioskop 21, ruang alternatif menonton film hadir di tengah masyarakat yang saat itu tengah haus hiburan. Dengan mengusung gaya hidup alternatif, di mana menonton film itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya menonton di bioskop saja, ruang alternatif menonton film disadari atau tidak telah melakukan sebuah resistensi atas jalur distribusi dan ekshibisi film selama ini. Yang menjadi pertanyaan adalah apa dan bagaimana bentuk-bentuk resistensi dan di balik resistensi itu, apa saja kepentingan-kepentingan ruang alternatif tersebut? Penelitian diawali dengan studi pustaka, lalu observasi langsung, di mana penulis terlibat secara langsung mengikuti kegiatan yang diselenggarakan kedua ruang alternatif tersebut. Untuk mengumpulkan data, penulis melakukan wawancara mendalam dengan beberapa informan. Pemilihan informan dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu wawancara dengan pendiri sekaligus pengurus ruang alternatif tersebut, dan random sampling untuk mengetahui kecenderungan pengunjung atau penonton film. Lokasi penelitian dilakukan di dua tempat menonton film yang dianggap peneliti mengusung gaya hidup alternatif menonton film, yaitu Movie Box dan KINOKI di Yogyakarta. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa ruang alternatif hadir karena tiga faktor pendorong, yaitu tutupnya beberapa bioskop, penemuan teknologi digital, dan inisiatif dari penikmat film itu sendiri. Ketiganya berkaitan erat dengan praktek hegemoni jalur distribusi dan ekshibisi film yang dikuasai oleh pembesar kapital, terutama para produser-produser besar Hollywood. Resistensi itu sendiri diartikulaiskan melalui pemilihan film, akses menonton, dan komunitas yang menghidupi ruang itu. Film yang dipilih dan diputar adalah film-film berformat video, film-film dari komunitas-komunitas film di Yogyakarta yang filmnya tidak dapat diputar di bioskop, dan film-film di luar mainstream. Movie Box menawarkan sistem member dalam hal akses menonton, sementara KINOKI tidak memungut biaya untuk aktivitas menonton maupun memutar film-film di sana, dan karena itulah, ruang ruang alternatif itu justru hidup karena keberadaan komunitas di dalamnya yang terbentuk dengan sengaja maupun dengan sendirinya. Meskipun demikian, di satu sisi, ruang alternatif sebagai counter-hegemoni juga harus mempertahankan resistensi mereka supaya tetap eksis di masyarakat dan berhasil mengusung idealismenya. Hal itu dilakukan dengan mempertahankan dan memperbesar modal sosial yang mereka miliki, yaitu komunitas-komunitas. Selain itu, usaha coffeeshop dipilih sebagai modal ekonomi yang mendukung biaya operasional dan yang tidak kalah penting adalah modal kultural, berupa pola-pola budaya, di mana kedua ruang alternatif itu telah menciptakan subkultur baru dalam hal menonton film. Sebagai konsekuensinya, hal-hal yang bersifat alternatif pun sewaktu-waktu dapat menjadi mainstream dan counter-hegemoni pun tidak luput dari hegemoni yang membayanginya.
Kata Kunci : Film; Ekshibisi