Legitimasi Kebijakan Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak(BBM) (Studi kasus terhadap pemerintahan Megawati – Hamzah Haz)
NUGRAHA, Yudhistira Adhi, Yudistira Adhi Nugraha
2006 | Skripsi | Politik dan Pemerintahan (dh. Ilmu Pemerintahan)BBM (black gold) merupakan primadonanya sumber energi dunia karena penggunaannya yang praktis dan relatif lebih murah. Di Indonesia, BBM tak dapat digantikan fungsinya oleh sumber energi lain. Hampir seluruh kebutuhan masyarakat dan negara baik untuk keperluan industri, jasa, transportasi dan pembangkit listrik pasti memanfaatkan BBM. Dinaikkannya harga BBM pada 3 Januari 2003 oleh Presiden Megawati dan Wakil Presiden Hamzah Haz, menimbulkan gejolak sosial yang cukup besar. Langkah pemerintah tersebut mendapat dukungan dari sebagian besar menteri dalam rapat kabinet Gotong Royong dan anggota DPR di akhir 2002 karena telah sesuai dengan PROPENAS 2004, UU Migas No.22 tahun 2001 dan saran IMF melalui Structural Adjustment Programs (SAP). Tujuan yang akan dicapai dari langkah kebijakan tersebut adalah pengurangan defisit APBN, penyehatan APBN, effisiensi dan restrukturisasi energi. Megawati Soekarno Putri dianggap bertanggung jawab atas hal tersebut karena merupakan aktor politik yang terlibat secara signifikan dalam proses awal liberalisasi sektor migas di Indonesia. Saat itu, Megawati yang masih menjabat Wakil Presiden RI mendampingi Gus Dur (Presiden RI) ikut menetapkan Rancangan Undang Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menjadi Undang Undang Migas. Selain itu, Megawati juga merupakan Presiden RI pertama yang menaikkan harga BBM secara resmi pasca restrukturisasi migas di Indonesia. Sebelumnya, kenaikan harga BBM yang akan dilakukan oleh Presiden Gus Dur pada 1 April 2000 ditunda dalam batas waktu yang tak ditentukan karena desakan dari pihak-pihak tertentu. Hal itulah yang menyebabkan pemerintahan Megawati-Hamzah Haz menjadi penting untuk dikaji secara politis maupun legalitas, terkait kenaikan harga BBM di Indonesia. Secara politis, Megawati terlibat dalam proses awal liberalisasi migas di Indonesia. Dan secara legalitas, Megawati mendukung liberalisasi tersebut dengan mengeluarkan Kepres No. 90/2003 tentang kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak), tarif dasar listrik (TDL), dan telefon pada 3 Januari 2003. Semangat (spirit) demokrasi begitu dominan dalam mengukur legitimasi kebijakan publik. Oleh karena itu judgement (penilaian) terhadap legitimasi kebijakan tersebut dengan berdasar pada dua analisa, yaitu analisa legitimasi secara substantif dan secara prosedural. Dua model analisa tersebut berpijak pada dua jenis penelaahan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu penelaahan secara teknokratis terhadap isi kebijakan dan penelaahan secara politis terhadap proses kebijakan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif deskriptif analitis. Penelitian ini menggunakan metode-metode pengumpulan dan analisis data yang non kuantitatif, serta bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan-hubungan sosial (social relations) dan menggambarkan realitas sosial. Dari penelitian yang dilakukan, ternyata formulasi kebijakan publik di Indonesia jika dilihat secara substantif bukanlah berdasar idealisme para aktor di baliknya, segi etis maupun nilai demokrasi yang humanis. Akan tetapi lebih merupakan hasil kompromi politik dari berbagai kepentingan. Dari konfigurasi basis legitimasi politik terhadap kebijakan tersebut ditemukan bahwa dukungan politik yang diperoleh hanya berasal dari entitas politik dalam tubuh parlemen. Banyak entitas sosial dan politik di luar parlemen menolak kebijakan tersebut yang beberapa di antaranya ditunjukkan melalui aksi demonstrasi. Namun dari segi prosedural menunjukkan sebaliknya, langkah kebijakan yang dilakukan pemerintah sudah sangat sesuai dengan mekanisme politik yang konstitusional dan memiliki pijakan hukum yang kuat. Dengan demikian kebijakan kenaikan harga BBM dapat dikatakan sebagai produk politik yang kualitasnya rendah, karena tak disokong oleh basis legitimasi politik secara sempurna. Pada akhirnya, penelitian ini pun belum bisa melakukan judgement politik bahwa kebijakan ini tidak legitimate. Karena jelas tergambar secara komprehensif bahwa masing-masing pihak baik pemerintah dan parlemen serta rakyat (publik) memiliki cara pandang yang berbeda. Hanya saja tak ada komunikasi politik yang baik untuk bisa mempertemukan logika teknik ekonomi pemerintah dalam melihat persoalan publik dan apa yang menjadi kepentingan atau kebutuhan rakyat pada tingkat basis. Pada masa yang akan datang hendaknya nilai-nilai demokrasi yang humanis juga diimplementasikan dalam setiap proses politik yang legal formal agar institusionalisasi kedewasaan berargumentasi dalam kebijakan tumbuh, partisipasi masyarakat terakomodasi, dan legitimasi politik akan pemerintahan yang mampu merespons kebutuhan dan keinginan masyarakat tidak luntur. Sehingga demokratisasi kebijakan publik di Indonesia mampu meminimalisir paradoksal nilai birokrasi yang cenderung elitis dan oligarkis.
Kata Kunci : Kebijakan: Bahan Bakar Minyak