Latang Belakang Konflik Vietnam - Kamboja 1978-1991
SUTRISNA, Mayang, Mayang Sutrisna
1996 | Skripsi | Ilmu Hubungan InternasionalIndonesia sebagai negara multikultural meniscayakan ruang koeksistensi (space of co-existence) yang memberikan rekognisi bagi berbagai identitas pembentuk multikulturalitasnya. Faktanya dalam banyak kebijakan negara sejak pemerintahan kolonial hingga pemerintahan Orde Baru menonjol politik monokultural, demi semata-mata stabilitas dan integrasi sosial. Kebijakan dengan kecenderungan pada politik monokulturalisme selain mempersempit ruang koeksistensi antar elemen multikultural menambah potensi alamiah konflik dengan bobot politis, apalagi kebijakan monokultural tersebut diinstrumentasi dengan sentralisme dan otoritarianisme. Perpaduan antara kebijakan monokultural yang mengandung misrekognisi dengan ketidakmampuan negara mengawal kebijakan tersebut merupakan variabel penting dalam berbagai konflik multikultural atau multietnik, seperti di Kalimantan yang telah terjadi puluhan kali, termasuk di Sampit yang menjadi locus sekaligus objek penelitian ini. Dari latar tersebut dapat ditesiskan bahwa kebijakan publik yang memuat politik rekognisi dapat menjadi solusi fundamental dan komprehensif bagi penyelesaian konflik antar etnis di Kalimantan, khususnya Sampit Kotawaringin Timur. Tesis tersebut dapat diurai ke dalam beberapa pertanyan penelitian. 1) Bagaimana konstruksi prinsip-prinsip politik rekognisi di dalam Perda tersebut? 2) Bagaimana relasi antara Perda Kotim tentang Penanganan Penduduk Dampak Konflik dengan upaya penyelesaian konflik? 3) Bagaimana implementasi Perda tersebut dalam mengatasi konflik antar etnik dan mempreservasi suasana damai? Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus, dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisme, lembaga atau gejala tertentu melalui suatu pengamatan untuk menghasilkan data deskriptif, yaitu data yang berupa kata-kata tertulis ataupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip rekognisi telah terkonstruksi dalam Perda Kotim No. 5 tahun 2004, dimana setiap pihak yang bertikai diakui hak-hak dan kedudukannya. Etnik Madura sebagai etnis minoritas dan kurang diuntungkan diakui haknya sebagai warganegara untuk kembali ke Sampit dan tinggal di sana sepanjang menaati hukum yang berlaku dan bersedia ikut menjunjung falsafah belom bahadat atau “dimana bumi dipijak disana langit dijunjung”. Etnik Dayak diakui sebagai etnis asli yang memiliki tatanan sosial dan kemasyarakatan serta adat-istiadat yang berlaku dan terpelihara, dan mewajibkan setiap orang yang datang untuk menghormati dan menjunjung adat-istiadat tersebut sepanjang menyangkut masalah sosial kemasyarakatan dan bukan ritual keagamaan. Perda mampu menyelesaikan konflik dan mencegah konflik laten menjadi konflik berikutnya, karena sesungguhnya persoalan besar Perda ini telah selesai pada saat masing-masing etnis yang berkonflik telah mencapai tahap konsensus untuk berdamai yang kemudian diformalkan dalam formulasi kebijakan sedangkan implementasinya sudah menjadi persoalan yang relatif mudah. Penyusunan Perda ini dengan demikian unik, bersifat bottom-up mengadopsi hasil konsensus yang telah diperoleh dengan proses yang sangat partisipatif dari warga masyarakat, memberi ruang dialog dan saluran aspirasi pihak-pihak yang bertikai, melalui proses beberapa musyawarah internal etnik dan antar etnik (Dayak dan Madura) sebagai pihak yang berkonflik. Pemberlakuannya memberikan kepastian yuridis formal berupa jaminan perlindungan kepada setiap pihak yang berkonflik untuk perdamaian. Pengaturanpengaturan yang termuat di dalamnya telah sesuai dengan tuntutan untuk menyelesaikan sisa-sisa masalah yang timbul setelah kerusuhan berdarah tahun 2001. Hal itu mendorong pihak-pihak yang berada dalam pengungsian untuk berani pulang ke Sampit untuk hidup berdampingan kembali sebagaimana sebelum terjadi konflik. Implementasi Perda berjalan baik dan secara gradual mampu mengharmonisasi warga masyarakat multikulutral serta selanjutnya mampu mempreservasi suasana perdamaian. Konflik etnik di Sampit relatif selesai secara komprehensif tanpa meninggalkan persoalan besar, yang membedakannya dengan penanganan konflik horizontal lainnya, seperti di Sambas dan Poso. Dari temuan penelitian ini dapat dirumuskan beberapa proposisi penting: 1) Paradigma lama old publik administration yang menyatakan bahwa proses formulasi kebijakan bersifat top down dilakukan oleh pemerintah (legislatif dan eksekutif) yang di level pemerintah daerah DPRD dengan Bupati / Walikota, implementasi kebijakan sebagai turunan konsep birokrasi yang bersifat top down pula tergugurkan oleh hasil penelitian. Titik krusial siklus kebijakan dalam penyelesaian konflik etnik Sampit justru terletak pada tahap pencapaian konsensus untuk perdamaian dari masing-masing etnis yang berkonflik yang kemudian diformulasikan dalam kebijakan/Perda. Proses formulasi bersifat bottom-up dari masyarakat sedangkan implementasi yang merupakan proses bekerjanya pemformalan dan pengawalan hasil konsensus untuk diwujudkan sebagai Perda justru berada pada mesin birokrasi. Hal yang demikian menunjukkan proses formulasi kebijakan yang lebih sesuai dengan teori demokrasi modern dan tuntutan pergeseran paradigma dari government menuju governance. Kebijakan yang sifatnya bottom-up dan partisipatif sejak tahap formulasi juga terbukti efektif pada tahap implementasi. Maka dalam tahapan kebijakan, proses formulasi kebijakan merupakan ”hulu” yang sangat menentukan ”hilir”. 2) Intervensi kebijakan Pemerintah Pusat dalam menyelesaikan konflik antar etnik dan konflik multikultural lainnya tidak berkorelasi positif dengan penyelesaian konflik tersebut. Prakarsa dan porsi Pemerintah Daerah yang besar seperti di Kotim terbukti menunjukkan penyelesaian konflik yang lebih permanen, paling tidak bila dibandingkan dengan konflik serupa di Sambas, Ambon, dan Poso.3) Politik monokultural sekalipun ditopang dengan kekuasaan yang besar tidak akan berhasil menyatukan masyarakat yang multikultural, baik dari sisi etnis, keyakinan, praktek keyakinan, dan gaya hidup, bahkan memendam potensi konflik yang dapat menjadi konflik terbuka dan bersenjata. 4) Dalam masyarakat multikultural, politik rekognisi merupakan instrumen utama untuk menjamin terwujudnya ruang ekspresi setiap identitas baik besar maupun kecil. 5) Politik rekognisi harus diwujudkan dalam suatu kebijakan publik (pemerintah atau negara), sehingga setiap pihak mendapatkan jaminan kepastian hukum. 6) Dalam penyusunan suatu kebijakan publik yang menyangkut hubungan antar kelompok dalam masyarakat multikultural diperlukan partisipasi dari setiap kelompok agar produk kebijakan dapat dipahami dan diterima oleh semua kelompok. Keyword: Multikultural, konflik, politik rekognisi, kebijakan publik, Sampit, Dayak, Madura
Kata Kunci : Militer, Vietnam, Kamboja