Laporkan Masalah

GEREJA MASEHI INJIL di MINAHASA (GMIM) DALAM KONSTELASI POLITIK DI SULAWESI UTARA

Neni Kumayas, --

2010 | Tesis | Ilmu Politik

Sebagai organisasi keagamaan, Gereja Masehi Injl di Minahasa tidak pernah terlepas atau selalu berelasi dengan politik kemasyarakatan, berdirinya GMIM di Minahasa terdapat saling ketergantungan antara gereja dan Negara, sampai Gereja GMIM masuk ke era kemandirian, tetap berelasi dengan Negara. Relasi Gereja dan negara menyiratkan kepentingan keduanya, terutama kepentingan Gereja yang dapat disimpulkan menjadi dua corak kepentingan yakni pertama corak pembawa suara kenabian, kedua memperluas pengaruh kekuasaan Gereja. Corak-corak relasi ini terdapat terlihat jelas dalam sejarah perjalanan GMIM sampai sekarang, dalam periode-periode sejarah GMIM yakni era Perintisan, era pemapanan, dan era kontroversi. Era perintisan, ketika GMIM terlepas dari peran agama negara, tokoh-tokoh GMIM memperjelas aturan gereja bahwa GMIM adalah institusi independen tidak terlibat politik praktis, perannya lebih kepada memberikan aspirasi-aspirasi kepentingan rakyat, memberikan kontribusi pemikiran kritis, yang kesemuanya diyakini sebagai penyuara suara kenabian. Tokoh-tokoh GMIM yang memainkan peranan penting pada era ini adalah AZR Wenas dan RM Luntungan. Pada Era Pemapanan, GMIM memperkuat institusinya dengan membangun basis-basis pelayanan dalam segala bidang, seperti bidang social, bidang pendidikan, dan bidang kesehatan. Sepak terjang politik GMIM lebih menguat dalam strategi politik langsungnya, dimana banyak kader atau tokoh GMIM menempati posisi atau peran stratagis di dalam partai politik, eksekutif, legislatif Pada akhirnya GMIM mengeluarkan kebijakan untuk mengarahkan misi politik tersebut dengan mengumandangkan bahwa keterlibatan ke dalam politik praktis adalah misi gereja dalam pembaharuan negara yang positif sebagai salah satu panggilan gereja. Adapun untuk Era Kontroversi GMIM sendiri terus berusaha memperkuat jaringan pelayanan terlebih lagi jaringan kekuasaan (politik kepartaian) dengan memberikan kesempatan kepada semua warga GMIM untuk terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam rangka memperkuat kapasitas GMIM sendiri. Meskipun demikian sebagian dari kalangan GMIM tetap merasa risih dengan keterlibatan langsung tersebut, sehingga kebijakan ini meski terdapat pengaturan tambahan seperti memproteksi Pendeta yang masuk partai politik mendapat cuti mimbar. Keterlibatan Warga Gereja diantaranya Pendeta dan Pimpinanakar rumput GMIM mendapat banyak tanggapan. Tidak sedikit orang Kristen, diantaranya Pendeta tiba-tiba gandrung pada politik. Bahkan juga mencalonkan diri baik sebagai anggota legislatif maupun eksekutif, di tingkat lokal maupun nasional, sekalipun belum tentu memiliki pengalaman, pengetahuan dan kemampuan politik yang memadai. Hal itupun terjadi terhadap lembaga Gereja Masehi Injil Minahasa (GMIM) yang merupakan lembaga agama yang sifatnya mandiri, independent, dan netral dalam hal ini tidak memihak pada salah satu Partai Politik ataupun calon dari partai politik. Sebagaimana yang telah di tegaskan dalam tata Gereja atau aturan gereja bahwa GMIM tidak ikut dalam politik praktis. Keterlibatan Pendeta dari kalangan GMIM sendiri mengundang berbagai macam pendapat, bahkan kontroversi. Kalangan yang setuju, mengatakan bahwa berpolitik adalah bagian dari pelayanan dan Masuknya orang GMIM di antaranya Pendeta didalam domain politik memungkinkan Gereja menitipkan kepentingannya serta memungkinkan berlangsungnya kontrol terhadap aktivitas didalam lembaga pemerintahan. Dan yang tidak setuju, mengatakan bahwa GMIM harus murni untuk pelayanan,dan control publik bisa dilakukan dari luar dan tidak harus masuk dan terlibat dalam aktivitas tersebut. Dalam tata gereja ada acuannya ketika pendeta mengambil keputusan mengabdi di luar dalam hal ini dalam dunia politik praktis, mereka mendapat persetujuan majelis Jemaat. Ketika resmi menjadi calon anggota legislatif mereka harus mundur dan tidak diberikan kesempatan melakukan aktivitas kampanye didalam Gereja ataupun dalam ibadah. Dengan begitu ketatnya aturan yang ada, tetap ada saja Pendeta yang bisa lolos dari aturan tersebut dalam hal ini lewat lobi-lobi khusus dia bisa berkampanye. Telah jelas bahwa simbol atau nilai yang melekat pada Pendeta sebagai suatu modal sosial, menjadi sangat strategis dan kuat untuk dimanfaatkan elit gereja dalam hal ini pendeta yang terlibat dalam politik terutama politik praktis. Warga gereja menganggap pemimpin gereja sebagai wakil Tuhan Allah di dunia, sehingga pemimpin gereja sangat dituruti mereka. Sumber daya ini ditambah sumber daya personalnya sangat melengkapi kekuatan sepak terjang dalam dunia politik kemasyarakatan daripada elit politik berlatar elit gereja. Keterlibatan Gereja Masehi Injil Minahasa (GMIM) lewat keterlibatan Pendeta ke dalam Politik Kepartaian baik menjadi anggota partai, pengurus atau calon dari partai, serta praktek-praktek intervensi yang dilakukan, memperkuat tanggapan bahwa GMIM sekarang tidak mandiri, independent dan netral lagi atau dengan kata lain tidak konsisten lagi dengan yang dilakukan. Didapati kepentingan GMIM dalam relasi politik atau sepak terjang Politiknya, yaitu untuk menyuarakan suara kenabian sesuai dengan visi pelayanan yang diyakininya bahwa Gereja harus menjadi agen perubahan terhadap negara dan bangsa. Kemudian kepentingan dalam rangka memerkuat atau memperluas jaringan kekuasaan yang kemudian akan memberi keuntungan kepada institusi Gereja dalam aktifitas pelayanannya. Misi kepentingan Gereja ini bersifat ideologis yang dipahami bahwa Gereja harus melakukan pembaharuan positif terhadap bangsa dan Negara. Sejarah perjalanan Institusi GMIM tersirat juga kepentingan akan pengaruh atau kekuasaannya dalam sepakterjang di wilayah politik, yang kekuasaannya ini akan memberikan keuntungan balik kepada GMIM, Pimpinan dan jemaatnya. Memperluas atau memperkuat pengaruh kekuasaan secara serta merta institusi GMIM melalui tokoh-tokohnya terjun langsung kedunia politik terutama ke dalam partai politik atau mengambil peran dalam lembaga Legislatif dan Ekseskutif. Dalam rangka memperjuangkan kepentingan tersebut, GMIM memiliki strategi, diantaranya yaitu Startegi parstisipasi yaitu Strategi politik Gereja Masehi Injil Minahasa (GMIM) yang tercermin dari kebijakan yang dikeluarkan lembaga GMIM dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anggota-anggotanya baik itu Elit dalam hal ini Pendeta GMIM sampai Jemaat untuk berpartisipasi dalam politik kepartaian sebagai bagian dari partisipasi dan sumbangsih GMIM terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya di daerah Sulawesi Utara. Banyak aktor atau elit GMIM yang sudah menempati posisi-posisi strategis dalam kepartaian, legislative, maupun eksekutif. Dalam perjalanan sejarah kiprah GMIM menunjukan peran atau keterlibatan yang sangat besar dari kader GMIM terhadap posisi-posisi tersebut. Besarnya massa warga GMIM menjadi kekuatan untuk memaksakan kadernya menempati posisi-posisi stratagis tersebut. Misalnya penggalangan massa untuk memilih calon legislatif dan eksekutif, terkadang memanfaatkan nama besar GMIM dengan memobilisasi massa, mengatasnamakan lembaga, mengangkat simbol-simbol GMIM sehingga aktor yang diperjuangkannya akan mendapat dukungan suara Warga Gerejanya. Seruan yang benyak didengungkan pada saat pemilihan kepala daerah yang lalu tahun 2005 yakni ―GMIM pilih GMIM‖, seruan ini sangat kuat pengaruhnya menggalang suara warga GMIM. Strategi yang kedua yaitu partisipasi di luar sistem pemerintahan, strategi ini dilakukan oleh GMIM untuk tetap berpartisipasi dalam kiprahnya di dunia politik kemasyarakatan. Sebagaimana yang telah diangkat bagian sebelumnya, bahwa langkah partisipasi politik GMIM, dilakukan pula di luar system pemerintahan secara formal, dalam arti tidak melibatkan diri langsung ke partai politik, masuk daftar legislatif atau menduduki jabatan pemerintahan. Strategi ini dilakukan melalui keterlibatan aktor berlatar GMIM atau diperankan langsung oleh institusi GMIM sendiri dalam memberi kontribusi pemikiran, melakukan advokasi kebijakan publik, penggalangan massa, lobi kebijakan, dan sebagainya. Nampaknya Organisasi-organisasi sosial bentukan sinode GMIM seperti Yayasan AZR Wenas, Perguruan Tinggi UKIT atau Universitas Kristen Tomohon, Yayasan Kesehatan, Yayasan Sosial serta organisasi lainnya menjadi wadah penyaluran aspirasi GMIM untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah. Organ-organ ini sebagai salah satu strategi taktis, membangun jaringan keluar yang meningkatkan kekuatan pergerakannya. Jaringan keluar yang dibangunnya seperti bekerjasama dengan lembaga eksternal sejenis, misalnya perguruan tinggi negeri atau swasta lainnya, kerjasama tersebut menjadikan kuatnya posisi tawar atau bargaining position dari GMIM. Memperkuat kuantitas dan kualitas Partisipasi Politik GMIM, maka sinode membentuk Kelompok Kerja (POKJA) Pendidikan Politik Warga Gereja. Pokja ini melakukan penyadaran-penyadaran partisipasi Politik Jemaat GMIM dengan upaya meningkatkan kapasitas warga Gereja terhadap partisipasi politik tersebut. Penyadaran itu sebagai upaya memberikan pemahaman positif atas kiprah politik GMIM, yang mana melawan presepsi yang berada di benak sebagaian besar warga Gereja bahwa politik adalah kotor, dalam arti terjun ke dunia politik akan menjadi orang yang tidak bersih.

Kata Kunci : Politik;Gereja


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.