FUNGSI TARA BANDU SEBAGAI BENTUK KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN (Penelitian di Sub Distrito Fatumean Distrito Cova-Lima RDTL)
Antonio Gusmao, Andreas Soeroso
2010 | Tesis | SosiologiPembangunan pertanian yang diimplementasikan di Timor-Leste pasca kemerdekaan menunjukkan kecenderungan mengadopsi teknologi tinggi, tanpa mempertimbangkan keselamatan manusia dan lingkungan di sekitarnya. Berdasarkan Konstitusi RDTL pasal 2 ayat 4 (artigu 2;4), penulis menawarkan nilai Tara Bandu sebagai kearifan lokal yang bisa diterapkan untuk mewujudkan pembangunan pertanian yang ramah lingkungan di Timor-Leste di masa mendatang. Penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimana fungsi Tara Bandu sebagai bentuk kearifan lokal dalam pembangunan pertanian berkelanjutan. Metode penelitian yang digunakan berupa deskriptif kualitatif dengan pendekatan eksploratif di mana peneliti menjadi instrumen utama. Penelitian dilakukan di wilayah Fatumean, dan kajian temuan lapangan menggunakan kerangka pemikiran kearifan lokal dan sistem pengetahuan lokal. Temuan lapangan menunjukkan bahwa Komunitas Fatumean memiliki falsafah knetek no ktaek, bahwa alam yang terdiri dari tanah, air, batu besar, pohon besar, mata air, gunung dan yang lainnya, memiliki tuan (na’in) sehingga bila manusia hendak memanfaatkannya harus melakukan sujud dan sembah (lou no sudur) dan meminta dan memohon (husu no seti). Dalam menegakkan falsafah tersebut dibutuhkan Badu atau Tara Bandu menetapkan larangan atau peraturan yang disertai sanksi atas pelanggaran terhadap falsafah knetek no ktaek. Terdapat pertentangan antara falsafah knetek no ktaek dengan sistem pertanian ladang berpindah yang cenderung merusak hutan dan habitatnya. Terdapat kearifan lokal berupa badu atau Tara Bandu (peraturan) tentang tempat yang cocok untuk berladang dan memiliki kebiasan bera (mengistirahatkan lahan untuk sementara waktu). Praktek pertanian berkelanjutan dilakukan melalui media fuik no bua sebagai sarana utama dalam melakukan sujud dan sembah (lou no sudur) dan meminta dan memohon (husu no seti) yang bermaksud membangun relasi harmonis antara manusia (ema), alam (rai klaran) dengan Tuhan (maromak). Inspirasi media fuik no bua ini terakumulasi dalam tradisi menanam di ladang yakni tiga biji jagung, satu biji kacang dalam satu lubang tanah dengan keyakinan bahwa interaksi antara biji jagung, biji kacang dan tanah dapat memberikan kehidupan pada benih yang ditanam. Pola hubungan sosial komunitas Fatumean berdasarkan hubungan darah (hussar binan), sumpah setia (moruk metan) dan perkawinan (Fetosawa Umamane). Sementara pola kerjasama (fo bas ba malu) yang terdiri dari kerja sama berdasarkan konsensus (hakawak) dan kerjasama yang dilakukan secara suka rela berdasarkan undangan (hatama ema). Kata kunci: Falsafah knetek no ktaek, Badu atau Tara Bandu, Pembangunan Pertanian berkelanjutan
Kata Kunci : Pertanian; kearifan lokal