Sewa Tanah di Porbolinggo, 1810-1942: Kebijakan, Implementasi dan Reaksi
NUGROHO BAYU W., Dr. Nur Aini Setiawati, M.Hum.
2017 | Tesis | S2 Ilmu SejarahTesis ini memfokuskan pembahasan mengenai kebijakan sewa tanah di wilayah Probolinggo Jawa Timur pada tahun 1810-1942. Sumber penelitian yang menjadi rujukan dalam penelitian ini terdiri atas sejumlah arsip dan referensi yang didapatkan di Arsip Nasional Repubulik Indonesia (ANRI), dan Badan Arsip Jawa Timur; Surat kabar dan referensi yang didapatkan dari Perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM, Perpustakaan Pusat (UPT) UGM, Perpustakaan PSSAT UGM, Perpustakaan PSPK, Perpustakaan Grahatama Pustaka Provinsi DIY, Museum Probolinggo, dan memori kolektif penduduk Probolinggo yang berprofesi menjadi petani. Sewa tanah adalah bentuk transaksi di antara pemilik dan penyewa tanah, untuk memanfaatkan tanah dalam jangka waktu tertentu yang diatur dalam bentuk perjanjian kontrak. Di wilayah Probolinggo, praktik sewa tanah terjadi dalam dua jenis yang berlangsung dalam waktiu yang sama, dan disertai dengan sistem yang komplek. Bentuk pertama dari praktek sewa tanah di Probolinggi diawali dengan asumsi bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik sah tanah yang ada, elit pribumi yang diwakili oleh bupati hingga kepala desa hanya bertindak sebagai penyewa tanah pemerintah, dan tugas mereka mengatur mekanisme distribusi tanah di antara para penduduk, sehingga tanah yasan yang semula dominan di antara penduduk berkembang menjadi tanah komunal (tanah pikulan), sebagai konsekuensi dari munculnya lembaga desa. Bentuk kedua dalam penyewaan tanah yang terjadi di wilayah Probolinggo muncul melalui kontrak sejumlah pengusaha swasta, yang melalukan sewa untuk berbagai kegiatan usaha seperti tambak, industri gula, dan perkebunan kopi. Dalam bentuk kedua ini para pengusaha swasta menggunakan peranan elit pribumi dalam bentuk kontrak. Bentuk ketiga dalam persewaan tanah di Probolinggo terjadi di antara sesama penduduk yang memiliki akses tanah dan terjadi persewaan tanah di antara mereka, yang biasanya melibatkan penduduk kaya dan mempunyai kedudukan. Impelementasi praktek tersebut kemudian dapat dilihat dalam bentuk perluasan persawahan dan tegalan; pembukaan lahan perkebunan tebu dan kopi; perluasan jaringan pengangkutan dan tranportasi hasil perkebunan melalui jalur kereta uap, jalan raya, dan pergudangan; penyewaan tanah penduduk desa oleh orang kaya untuk penggunaan usaha penggilingan padi, badan usaha, perhotelam, dsb. Setelah penerapan kebijakan tersebut, terdapat sejumlah reaksi dari penduduk Probolinggo yang dapat dikelempokkan menjadi tiga jenis yaitu: Pemaksaan (1746-1830); Adaptasi (1830-1910); dan pembatasan (1910-1942). Penelitian ini berhasil mengungkap bahwa kesuburan lahan, letak geografis, akses transportasi, dan kebijakan pemerintah, membuat praktik ini berhasil dilaksankan.
This thesis focused on the examination of land-rent policy in Probolinggo, East Java in 1810-1942. The prime and secondary sources employed to carry out this research are collected from the National Archive of Indonesia, Archive Department of East Java, National Library of Indonesia, Library of the Faculty of Cultural Sciences UGM, UGM Library, Library of the Center for Southeast Asian Social Studies UGM, Library of the Center for Rural and Regional Study, Grhatama Pustaka Library of Yogyakarta, Probolinggo Museum, and the collective memory of Probolinggo�s peasant community. Land-rent is a form of transaction between land owner and tenant in land utilization in a certain period, arranged in a contract. In Probolinggo, there are three types of land-rent that taken place in the same period and followed by a complex system. The first type begins with an assumption that Colonial Government was the rightful land owner while the local elites represented by the local regent and headman were the land tenant and their duty was to manage the mechanism of land distribution for the local people. Because of this system, tanah yasan that was once popular among the locals developed into tanah pikulan (communal land) as a consequence of the emergence of village institution. The second type emerged from a contract by entrepreneurs who rented the land for various business such as fish pond, sugar industry, and coffee plantation. Within this mechanism, the entrepreneurs were supported by the local elites to establish their contract. The third type happened between local people who gained access to land and this mechanism usually involved the riches who had high social status. Implementation of the land-rent mechanism mentioned above could be seen from the expansion of rice fields and dry land; the opening of coffee and sugar plantation; extension of transportation network and crops transportation through the route of steam trains, road, and warehousing; land-rent by the rich for rice hulling, hotels, and other business. There were reaction to this implementation which can be categorized into three types, i.e., Coercion (1746-1830), Adaptation (1830-1910), and Restriction (1910-1942). This research has revealed that soil fertility, geographical position, transportation access, and government policies were the principal factors of the success of the land-rent practice in Probolinggo.
Kata Kunci : Land-rent, Probolinggo, Implementation, Reaction