ADAPTASI MAHASISWA PAPUA DI YOGYAKARTA
MAULIDA MASYITOH, Dr. Setiadi, M.Si
2017 | Tesis | S2 ILMU ANTROPOLOGIMeski menyandang gelar city of tolerance kenyataanya mahasiswa Papua sebagai pendatang terbiasa menjadi korban streotip negative di Yogyakarta ini. Dampaknya tindakan rasis dan diskriminasi biasa mereka terima sehari-hari seperti sulit mendapatkan kos, sewa motor dan mobil, memesan taksi atau ojek, mendapatkan kata-kata yang merendahkan, pandangan tidak manusiawi, dikucilkan dari pergaulan dan lain sebagainya. Jika dibiarkan terus menerus tidak menutup kemungkinan gesekan akan memicu konflik yang lebih besar. Menjadi pendatang menuntut mereka harus dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat lokal. Mereka harus bisa beradaptasi baik dengan lingkungan fisik, sosial maupun kultural agar dapat diterima dengan baik. Kultur Papua yang tegas bertemu dengan kultur Jawa yang penuh olah rasa nan rumit. Membuat mahasiswa Papua ini harus bekerja lebih keras agar motivasi mereka datang ke Yogya dapat tercapai sekaligus dapat hidup berdampingan dengan masyarakat. Selama ini studi tentang Papua di Yogya lebih banyak melihat dari sudut pandang masyarakat asli melihat pendatang. Maka studi ini ingin mengkaji mahasiswa Papua sebagai pendatang di Yogyakarta dari sudut pandang mereka sendiri mulai dari motivasi atau faktor-faktor yang mendorong mahasiswa Papua memilih kuliah di Yogyakarta, dan bagaimana mereka beradaptasi dengan lingkungan di Yogyakarta, serta apa saja hambatannya. Tesis ini merupakan studi kualitatif yang saya lakukan di Kampung Babarsari kurang lebih satu tahun yaitu 2015 sampai 2016. Pengumpulan data di lapangan saya lakukan dengan wawancara mendalam, observasi partisipan, dan dokumentasi, dengan jumlah informan 6 orang. Dari penelitian ini akhirnya dapat disimpulkan. Pertama, motivasi mahasiswa Papua kuliah di Yogyakarta diantaranya dipengaruhi oleh pull factor dan push factor. Baik berupa faktor sosial, ekonomi maupun politik. Faktor utama yang mempengaruhi adalah faktor ekonomi yaitu untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik setelah lulus karena persaingan kerja di Papua yang semakin ketat. Kedua, sebagian besar mahasiswa asli Papua adalah mahasiswa dengan masa studi yang lama. Satu dari mereka yang berhasil menyelesaikan studi tepat waktu adalah mereka yang memiliki pergaulan luas, bersikap terbuka dan adaptif dengan nilai kultur Yogya. Adaptasi mahasiswa Papua masih terbatas pada lingkungan ingroup atau sesama Papua. Mereka membangun kenyamanan tinggal di Yogya dengan mereproduksi identitas daerah asal mereka seperti memakai tas noken, mengunyah sirih pinang, membuat MOP dan bakar batu, serta melestarikan bahasa Papua. Ketiga, hambatan adaptasi mahasiswa Papua di Yogyakarta ternyata disebabkan oleh: budaya komunal, kebiasaan minum minuman keras, boros, dan bahasa. Temuan lainnya adalah bahwa kondisi Politik Papua berpengaruh terhadap aktivitas mahasiswa Papua di Yogyakarta.
Although named the city of tolerance, the fact that students are used to Papua as immigrants become victims of negative stereotypes in Yogyakarta.The impact of racism and discrimination that they gets every day, such as; hard to get boarding houses, rent a motorbike or car, order a taxi or taxibike, get bullying, bad image, alienated from the association, etc. If leaving this problems it will create a larger conflictin the future. Becoming migrants requires them to adapt to the local community. They must be able to adapt well to the physical, social and cultural environment in order to be well received. Papuan culture is heavily dominated by a complex Javanese garnish culture. In order for these Papuan students to work harder so that their motivation to come to Yogya can be achieved and can live togather with the community. So far, Papuan studies in Yogya have seen more from the perspective of indigenous peoples who see migrants. So this study wants to study Papuan students as immigrants in Yogyakarta from their own perspective, measured by motivations or factors that encourage Papuan students to study in Yogyakarta, and how they adapt to the Yogyakarta environment, and what are the obstacles. This thesis is a qualitative research conducted in Babarsari Village from about one year from 2015 up to 2016. Field data collection was conducted with in-depth interviews, participant observation, and documentation, with 6 informants. The conclusions of this study are; First, the motivation of Papuan students in Yogyakarta is influenced by interest factor and stimulus factor; Social, economic or political. The main factor affecting is the economic factor that is getting a better job after graduation because of the high work competition in Papua. Secondly, most of the original Papuan students are students with long study periods. One of those who successfully completed the study on time is those who have good relations with everyone, be open and adaptive to the cultural values of Yogya. Adaptation of Papuan students is still limited on ingroup space or with Papuans only. They build a sense of comfort to live in Yogya by reproducing the identity of their home areas such as wearing noken bags, chewing betel, making MOP and burning stones, and maintaining the language of Papua. Third, the barriers to adaptation of Papuan students in Yogyakarta are caused by: communal culture, drinking habits, wastefulness, and language. The other, i found that Papuan politic related with activity of Papuan student in Yogyakarta.
Kata Kunci : mahasiswa Papua, pendatang, stereotip, adaptasi/papuan students, migrants, stereotype, adaptation