PERKEMBANGAN KOTA-KOTA KECIL DI KORIDOR YOGYAKARTA-SURAKARTA (SOLO)-SEMARANG (JOGLOSEMAR): KASUS DELANGGU, AMPEL, AMBARAWA, MUNTILAN
JAWOTO SIH SETYONO, Prof. Dr. Hadi Sabari Yunus, M.A.
2017 | Disertasi | S3 Ilmu GeografiSaat ini lebih dari setengah penduduk dunia bertempat tinggal di perkotaan, baik kota besar maupun kecil. Setengah dari penduduk perkotaan itu bertempat tinggal di kotakota kecil. Di Indonesia data 2010 menunjukkan jumlah penduduk perkotaan yang bertempat tinggal di kota-kota kecil dengan ukuran kurang dari 300.000 jiwa adalah sebanyak 68% dari jumlah populasi perkotaan secara keseluruhan. Pentingnya kota kecil dalam perkembangan wilayah sudah banyak disebutkan dalam literatur. Kota-kota kecil dipandang mempunyai peran penting dalam menjembatani wilayah perdesaan dengan kota-kota besar dalam kerangka hubungan desa-kota yang saling menguntungkan dan berkelanjutan. Pada kenyataannya, kota-kota kecil cenderung berkembang sangat lambat bahkan mengalami stagnasi perkembangan. Perkembangan kota kecil yang lambat itu terjadi juga pada kota-kota kecil di koridor Yogyakarta-Surakarta (Solo)-Semarang atau yang dikenal dengan Joglosemar, meskipun wilayah ini termasuk pusat pertumbuhan penting di Jawa. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota-kota kecil di koridor Joglosemar sebagai bagian dari sistem perkotaan wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istiwewa Yogyakarta (DIY). Penelitian mengadopsi dua teori pokok sebagai landasan teori (theoretical foundation). Kedua teori ini diambil dari pemikiran Dennis Rondinelli yang menjadi karya penting (seminal works) dalam kajian kota kecil. Teori pertama adalah teori dinamika perkembangan kota kedua. Teori kedua adalah teori fungsi kota kecil. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus. Penelitian ini tergolong metode studi kasus yang bersifat disciplined configurative, yakni menggunakan teori untuk menjelaskan kasus yang dipilih. Cara penelitian mencakup telaah pustaka, penggunaan data sekunder dan analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif berbasis peta. Analisis yang dilakukan pada dasarnya adalah perbandingan antar kasus. Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan. Dalam konteks perkembangan Jawa Tengah dan DIY dapat disimpulkan bahwa perkembangan kota-kota kecil di Joglosemar: (1) terjadi dalam kondisi perekonomian wilayah yang tumbuh dengan laju 4% per tahun dan pendapatan per kapita 13.4 juta rupiah per tahun; (2) terjadi dalam proses transisi perkotaan yang ditandai dengan pertumbuhan penduduk perkotaan sebesar 2,74% per tahun; dan (3) berada dalam sistem perkotaan wilayah yang cenderung seimbang yang ditandai dengan distribusi rank-size normal. Perkembangan awal Delanggu, Ampel, Ambarawa, dan Muntilan dipengaruhi faktor kedekatan jarak dengan kota besar terdekatnya, yaitu 10 km. Perkembangan jaringan transportasi di empat kota memberikan kontribusi pada perkembangan kota kecil pada tahap selanjutnya. Perkembangan Delanggu, Ampel, Ambarawa, Muntilan pada saat ini ditandai dengan beberapa hal, yakni: kecenderungan stagnasi pertumbuhan penduduk, yakni di bawah 1% per tahun, struktur perekonomian ditandai dengan dominasi sektor tersier dengan kontribusi rata-rata 50%, dan kawasan terbangun meningkat dengan pertambahan luas 1- 2% per tahun. Keempat kota kecil cenderung menguat dalam fungsinya sebagai pusat pelayanan, yang ditandai besaran nilai kuosien lokasi lebih dari 1 pada 3-5 sektor. Ampel cenderung bergeser menjadi pusat kegiatan industri karena menyumbang 9% dari total PDRD sektor industri kabupaten sementara ketiga kota lain cenderung tetap berfungsi sebagai pusat pelayanan.
Today more than half of the world's population lives in urban areas, both in large and small cities. Half of the urban population resides in small towns. In Indonesia 2010 data shows the number of urban residents who reside in small towns of less than 300,000 are 68% of the total urban population. The importance of small towns in regional development has already been mentioned in the literature. Small towns are considered having an important role in bridging rural areas with large cities within the framework of sustainable and reciprocal rural-urban relationships. In fact, small towns tend to develop very slowly even to experience stagnation. The slow development of the small town also occurred in small towns in the Yogyakarta-Surakarta (Solo)-Semarang corridor – known as Joglosemar – although this region is an important growth center in Java. This study aims to analyse the development of small towns in Joglosemar corridor as part of the urban system of Central Java and Yogyakarta Special Region (DIY). The study adopted two basic theories as theoretical foundation. Both theories are taken from Dennis Rondinelli's thought which is a seminal work in the study of small towns. The first theory is the theory of the dynamics of secondary city development. The second theory is the theory of small town functions. This study uses a disciplined configurative case study approach, that is using theory to explain selected case. The methods of research include literature review, secondary data analysis and descriptive quantitative and qualitative analysis based on maps. The analysis is basically a comparison between cases. This research found several conclusions. In the context of the development of Central Java and DIY it can be concluded that the development of small towns in Joglosemar: (1) occurs in regional economic conditions that grow at a rate of 4% per year and per capita income of 13.4 million rupiah per year; (2) occurs in the urban transition process in the region characterized by a growth of 2.74% per annum in urban population; and (3) are in a regionally balanced regional urban system characterized by a normal ranksize distribution. The initial development of Delanggu, Ampel, Ambarawa, and Muntilan is influenced by the proximity factor with the nearest big city, within a 10-km radius. Moreover, the development of the transport network in four cities contributed to the development of the small town at a later stage. The development of Delanggu, Ampel, Ambarawa, Muntilan is currently characterized by several factors, namely: the stagnation trend of population growth, i.e. below 1% per year, the economic structure is marked by tertiary sector dominance with an average contribution of 50%, and expansion of built area with an annual increase of 1-2% per year. The four small towns tend to strengthen their functions as service centers, which marked by location quotient values of more than 1 in 3-5 different sectors. Ampel tends to develop into an industrial center because it accounts for 9% of total industrial sector in its respective district economy while the other three cities tend to remain as service centers.
Kata Kunci : kota kecil, sistem perkotaan wilayah, faktor perkembangan kota,small town, regional urban system, development factors