Dinamika Konflik Dan Resistensi Warga Dengan Investor (Studi Konflik Lahan Sultan Ground di Pantai Watu Kodok, Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunungkidul)

ARNOLA SEPTA M, Drs. Suparjan, M.Si

2017 | Skripsi | S1 ILMU PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN (SOSIATRI)

Penelitian ini dilakukan di Dusun Kelor Kidul, Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunungkidul di mana terjadi konflik yang dilatari oleh adanya upaya penguasaan lahan atas Pantai Watu Kodok. Konflik berawal ketika pihak investor berniat membangun resort dan restoran di atas lahan pantai yang sebelumnya telah dimanfaatkan oleh warga. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kepentingan dibalik aktor yang berkonflik, dinamika konflik dan resistensi, serta makna konflik bagi masyarakat. Peneliti mengkerangkai penelitian menggunakan teori konflik dari tokoh Ralf Dahrendorf. Konflik diwarnai oleh berbagai macam kepentingan. Bagi pihak investor, penguasaan lahan Pantai Watu Kodok menjadi modal utama untuk membangun resort dan restoran demi akumulasi kapital. Untuk melancarkan pembangunan rsort dan restoran, pihak investor mengantongi surat Kekancingan sebagai dasar legal untuk memanfaatkan lahan Sultan Ground di pantai tersebut. Hal ini memposisikan pihak investor kuat secara legal. Dibalik konflik yang terjadi, pemerintah daerah memiliki agenda tersendiri yang bertujuan mengembangkan pariwisata dengan memanfaatkan adanya investor. Pemerintah sebagai pihak otoritas mengeluarkan berbagai regulasi untuk melancarkan kepentingannya. Disisi lain, warga yang telah lebih dahulu memanfaatkan dan mengembangkan lahan pantai, berusaha mempertahankan karena potensi pariwisata cukup menjanjikan secara ekonomi. Sebagai pihak subordinat, warga melakukan berbagai upaya perlawanan untuk tidak tergusur dan mempertahankan lahan pantai. Adanya perbedaan kepentingan serta posisi superordinat dan subordinat, membawa konflik pada sebuah dinamika yang cukup beragam. Konflik horisontal antar warga sempat mewarnai yang disebabkan oleh polarisasi antara warga pihak pro dan kontra investor, namun hal itu tidak berlangsung lama karena ada peran dari aktivis yang turut mempersatukan dan membantu warga. Konflik vertikal antara warga dengan pemerintah juga terjadi, karena pemerintah dinilai oleh warga lebih berpihak kepada investor. Konflik antara warga dengan pihak investor usai ketika investor beralih ke lahan kas desa. Meski telah usai, warga masih dibayangi oleh kekhawatiran karena lahan pantai statusnya masih dikuasai oleh pihak investor. Selain itu kekhawatiran juga dikarenakan adanya MOU antara pihak pemerintah dengan Keraton terkait penertiban lahan Sultan Ground. Konflik yang terjadi dimaknai sebagai proses diskursus. Selam konflik berlangsung, proses diskursus telah membawa perubahan sosial. Proses diskursus telah memberikan perubahan sosial, namun tidak selalu memberi dampak pada perubahan struktur, khususnya munculnya kelas sosial baru. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pihak subordinat yang tidak menginginkan terjadinya perubahan struktur, karena dalam proses diskursus selama konflik pihak subordinat mendapat pengaruh oleh otoritas kultural. Selain itu faktor-faktor pendukung perubahan struktur dalam konflik seperti intensitas, dan kekerasan selama konflik berlangsung dinilai kurang untuk mampu memicu terjadinya perubahan struktur sosial.

This research was conducted in Kelor Kidul Hamlet, Kemadang Village, District Tanjungsari, Gunungkidul District where conflict is caused by the existence of land control over Watu Kodok Beach. Conflict begins when the investors intend to build resorts and restaurants on the beach land that has been utilized by the residents. The purpose of this study is to know the conflict behind conflicting actors, the dynamics of conflict and resistance, and the meaning of conflict for society. Researchers using the conflict theory from Ralf Dahrendorf. Conflict is colored by various interests. For investors, the land ownership of Watu Kodok Beach became the main capital to build resorts and restaurants for the sake of capital accumulation. To launch the construction of the resort and restaurants, investors have the Kekancingan letters as a legal basis to take advantage of the land of Sultan Ground on the beach. This is positioned the investor is strong legally. Behind the conflict, local government has its own agenda aimed at developing tourism with utilizing the presence of investors. Government as the issuing authority make various regulations to smooth its interests. On the other hand, residents who have first utilize and develop beach land, strive maintain because the tourism potential is quite promising economically. As a subordinate part, residents make various resistance efforts to not displacing and defending the beach land. The existence of different interests and superordinate and subordinate position, bringing conflict to a diverse dynamics. Horizontal conflict among residents had caused by the polarization between the residents of the pros and cons of investors, but it did not last long because there was a role from activists who unite and help residents. Vertical conflict between residents and the government also occurs, because the government is assessed more side to investors. Conflict between residents with the investors is over when investors switched to the village funds. Although it is over, people are still worried because the beach land status is still controlled by the investors. In addition, the concern is also due to the MOU between the government with the Keraton related to land control of the Sultan Ground. The conflict is interpreted as a process of discourse. During the conflict, the process of discourse has brought about social change. The discourse process has provided social change, but it does not always have an impact on structural change, especially the emergence of new social classes. This is influenced by subordinates who do not want to change structures, because in the process of discourse during subordinate conflicts get influenced by cultural authorities. In addition, the factors supporting structural alterations in conflicts such as intensity and violence during the conflict were less able to trigger changes in social structure.

Kata Kunci : konflik kepentingan, konflik lahan, Dahrendorf, makna konflik, diskursus