Laporkan Masalah

Anut Grubyuk: Ramai-Ramai Petani Gunungkidul Menghadapi Proyek Penanaman Jarak Pagar

GUNAWAN, Prof. Dr. P.M. Laksono

2017 | Disertasi | S3 Antropologi

Disertasi ini berangkat dari wacana pengembangan jarak pagar sebagai sumber biofuel. Wacana itu meluas hingga menjadi salah satu strategi kebijakan nasional untuk mengatasi krisis energi, kerusakan lingkungan, dan kemiskinan. Penanaman jarak pagar dilakukan di berbagai provinsi, dan kabupaten, salah satunya di Gunungkidul. Di sana petani dimobilisasi oleh pemerintah dan perusahaan untuk menyisipkan jarak pagar di lahan mereka. Padahal lahan mereka sangatlah terbatas. Pada sisi lain, petani sebelumnya mengenal jarak pagar sebagai tanaman liar, tidak termasuk sebagai tanaman yang diharapkan hasilnya. Studi ini ingin menjawab pertanyaan kunci, bagaimana petani menghadapi proyek penanaman jarak pagar itu. Pembahasan diarahkan untuk melihat hubungan-hubungan sosial yang dibangun petani ketika menghadapi proyek jarak pagar. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dilakukan studi etnografi untuk menemu-kenali, mengidentifikasi, dan menafsir perilaku, gagasan, dan pandangan para petani dalam seting relasi sosial sehari-hari. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengamatan terlibat (participant observation), wawancara mendalam, serta penelusuran kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika proyek jarak pagar berlangsung di Gunungkidul para petani mengalami situasi yang aneh. Mereka harus menanam jarak pagar padahal mereka mengenal jarak pagar sebagai tanaman liar. Dalam situasi aneh itu petani bertindak anut grubyuk. Melakukan sesuatu karena mengikuti yang dilakukan oleh orang lain. Alih-alih menyelesaikan persoalan kemiskinan, proyek jarak pagar justru menjerumuskan petani pada dimensi krisis lain yaitu hilangnya nalar kritis masyarakat dalam menghadapi persoalan sehari-hari. Ketika sumberdaya terbatas, sementara kebutuhan harus terpenuhi, maka negosiasi berlangsung dalam bentuk akal-akalan. Pengembangan jarak pagar menjadi sekedar proyek untuk mendapatkan keuntungan sesaat. Ketika proyek jarak pagar gagal, mereka tetap ingin menunjukkan bahwa proyek itu berjalan dengan baik agar mendatangkan proyek berikutnya. Secara praktis studi ini menjadi pijakan kritis untuk memikirkan kembali bentuk-bentuk mobilisasi pembangunan dengan melihat transformasi sosial yang berlangsung di arus bawah. Niat dan cita-cita baik dari mobilisasi oleh negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya tidak dengan serta-merta bisa dijalankan dengan baik dan berhasil mencapai pada kemandirian tetapi justru menjerumuskan masyarakat menjadi kecanduan proyek.

This dissertation departs from the discourse of the development of jatropha as a biofuel source. The discourse was hyped to become one of the national strategies to solve energy crisis, environmental degradation, and poverty. Jatropha had planted in vast provinces and districts, one of them were in Gunungkidul. The farmers were mobilized by governments and companies to plant jatropha by inserting the plant on their land. Even though the land is very limited there. On the other hand, in farmers� head, Jatropha is a wild plant. Planting jatropha is not common. This study will answer the key question, how did the farmers face the jatropha project? The discussion focused on the social relation constructed by farmer in facing the project. To answer these questions, ethnographic research were conducted to identify and interpret the behavior, ideas, and way of views of the farmers in daily settings of social relations. The data were collected by participant observation, in-depth interviews, and literature trace. The study found that when the project operated in Gunungkidul, the farmers felt in a strange situation. They should plant Jatropha even though it is a wild plant. In the strange situation the farmer were acted anut grubyuk. They did something just to follows what other people done. Instead of solving the poverty problems, farmer trapped in another crisis. Their critical thinking was lost to deal collective problems. When resources are scarce, while there is a need, the negotiation is a deceptive. Project becomes a way to find a profit. When jatropha project failed, they still want to show off that the project run well and so does another future project. Practically, this study is a critical ground to rethinking mobilization in development through social transformation in grassroots level. The goodwill by mobilization to improve the welfare was not achieved to self-reliance but has trapped people to be addicted in the project.

Kata Kunci : mobilization, transformation, biofuel, jatropha curcas, gunungkidul

  1. S3-2017-308978-abstract.pdf  
  2. S3-2017-308978-bibliography.pdf  
  3. S3-2017-308978-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2017-308978-title.pdf