EFEKTIVITAS VAKSIN INFECTIOUS CORYZA TETRAVALEN PADA AYAM PETELUR YANG DITANTANG Avibacterium paragallinarum SEROTIPE C-2 (MODESTO) TERHADAP GEJALA KLINIS DAN PERUBAHAN PATOLOGIS SERTA TIMBULNYA RESPON KEKEBALAN

ELFIRST T. C. WELKIS, Prof. Dr. drh. A. E. T. H. Wahyuni, M.Si.; Prof. drh. Charles Rangga Tabbu, P.hD.

2017 | Tesis | S2 Sain Veteriner

Infectious coryza (IC) adalah penyakit saluran pernapasan bagian atas unggas dan disebabkan oleh Avibacterium paragallinarum. Penyakit ini memberikan kerugian ekonomi pada industri perunggasan terutama peternakan ayam petelur karena penurunan produksi telur dengan presentase 10-40%. Pengelolaan peternakan yang baik diperlukan dan vaksinasi adalah salah satu cara untuk mencegah kerugian ini karena adanya IC. Berdasarkan serotipe, vaksin IC yang beredar di Indonesia terdiri dari tiga varian, yaitu bivalen, trivalen dan tetravalen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas vaksin tetravalen serotipe A, B, C2 dan C3 pada ayam petelur.Hewan coba adalah ayam petelur dan sampel berupa serum, diambil dari dua kelompok ayam petelur yaitu kelompok tanpa vaksinasi (kelompok A) dan kelompok vaksinasi (kelompok B), masing-masing 5 ekor ayam coba. Sampel serum diambil empat kali: 2 hari sebelum vaksin, 2 minggu setelah vaksin, 2 minggu setelah booster, dan sesaat sebelum nekropsi. Selanjutnya, serum ditentukan titer antibodi dengan uji hemaglutinasi dan uji hambatan hemaglutinasi (HA / HH). Ayam coba dikedua kelompok kemudian ditantang A. paragallinarum serotipe C (Modesto) 2 minggu setelah booster dan diamati ada/tidaknya gejala klinis selama 14 hari. Data gejala klinis dicatat dan diskoring lalu dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis untuk melihat perbandingan skor gejala per hari dan uji Mann-Whitney untuk membandingkan gejala klinis setiap ayam coba. Langkah selanjutnya adalah nekropsi dilanjutkan isolasi dan identifikasi kembali dugaan A. paragallinarum dari sampel swab eksudat. Organ saluran pernapasan bagian atas dikoleksi serta diamati perubahan makroskopik dan mikroskopik. Hasil uji HH menunjukkan bahwa terdapat satu sampel positif dengan nilai titer 40 HH unit pada kelompok ayam coba yang divaksin tahap pertama, dan satu sampel positif dengan nilai titer 5 HH unit pada kelompok tanpa divaksin, yang dikoleksi sesaat sebelum nekropsi. Setelah uji coba, kelompok ayam coba tanpa vaksinasi menunjukkan morbiditas 80%, sementara kelompok vaksinasi 100% tidak menunjukkan gejala klinis. Hasil pengamatan gejala klinis menunjukkan rata-rata gejala muncul pada hari ke-4 dan puncaknya pada hari ke-7 dan 8 dengan perkembangan gejala klinis ayam coba bervariasi. Perubahan makroskopik seperti peradangan membran hidung, adanya eksudat mukopurulen, dan edema di daerah fasial. Perubahan mikroskopik adalah infiltrasi limfosit di daerah cavum nasi dan adanya degenerasi hidrofik pada daerah fasial. Kesimpulannya adalah berdasarkan hasil uji serologis yang didukung hasil uji tantang, maka vaksin tetravalen yang digunakan dalam penelitian ini mampu melindungi ayam petelur dari infeksi IC secara efektif.

Infectious coryza (IC) is a disease of the upper respiratory tract of poultry and caused by Avibacterium paragallinarum. This disease causes economic loss in the poultry industry especially layer farms due to decreasing the egg production with precentage 10-40%. Good farm management is needed and vaccination management is one of some ways to prevent this loss because of IC. Based on serotype, the IC vaccine circulating in Indonesia consists of three variants, namely bivalent, trivalent, and tetravalent. The variety of vaccines does not support the cross immunity of each serotype A. paragallinarum. The aim of this study was to evaluate the effectiveness of serotype A, B, C-2 and C-3 tetravalent vaccines in the layer. Animal experiment is layer and samples are serum, were taken from two groups layers where consist of group without vaccine (group A) and group with vaccine (group B), 5 layers each. The serum were taken four times: 2 days before vaccine, 2 weeks after vaccine, 2 weeks after booster, and before necropsy. Then serum were determined the antibody titre using hemagglutination test and hemagglutination resistance test (HA / HI). Moreover, the layers of both groups were challenged by A. paragallinarum, serotype C (Modesto) then observed the symptoms for 14 days. Clinical symptoms data were recorded and scored to analyze using the Kruskal-Wallis test to see the comparison of scores per day. The Mann-Whitney test to compare the clinical symptoms of each layer. The next step was reisolation and identification of A. paragallinarum from the exudate swab sample. The upper respiratory organs were taken either for gross pathology or histopathology. The HH test results showed that one positive sample with a 40 HH titer value in the vaccinated layer group in the first stage of vaccination, and one positive sample with a 5 HH titer value in the nonvaccinated group of vaccines taken shortly before necropsy. After the challenge test, the unvaccinated layer group showed 80% morbidity while 100% vaccine group showed no clinical symptoms. The sign results showed that symptoms appeared on average on the 4th day and peak on days 7 and 8. The development of clinical symptoms of each layer was vary, indicating the sensitivity of the layer to the IC is different from each other. Macroscopic changes such as nasal membrane inflammation, presence of mucopurulent, and edema in the facial area were appeared. Microscopically changes were infiltration of lymphocytes in the nasal cavum nasal region and the presence of hydrophic degeneration on the facial region. The conclusion is based on antibody titre result and followed with challenge test result, tetravalent vaccines effectively protect the layer from IC infection.

Kata Kunci : vaksin tetravalen, Avibacterium paragallinarum serotipe C-2 (Modesto), titer antibodi, uji tantang