Kegagalan Implementasi Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation atau REDD+) di Kalimantan Tengah

NANIK LESTARI, Dr. Ely Susanto, MBA

2017 | Tesis | S2 Manajemen dan Kebijakan Publik

Deforestasi menjadi salah satu isu penting penyebab utama perubahan iklim. Sekitar 12 persen dari total emisi gas rumah kaca disebabkan oleh konversi hutan untuk penggunaan lahan lainnya (FAO, 2010). Selain itu, sekitar 13 juta hektar hutan hilang setiap tahun di negara-negara tropis (FAO, 2010). Barbier (1993) menjelaskan bahwa deforestasi di Asia Tenggara lebih serius daripada di Amazonia dan Afrika Tengah. Hal tersebut disebabkan oleh pembukaan hutan untuk kegiatan ekonomi seperti pertanian dan produksi kayu. Indonesia merupakan salah satu negara ASEAN yang memberikan kontribusi terbesar deforestasi(FAO, 2010). Untuk mengatasi masalah ini, Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Norwegia untuk melaksanakan Program REDD + (Reducing Emission from Deforestation and forest Degradation) (Fischer, et al., 2016). Program ini dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia sebagai lokasi percontohan, salah satunya adalah di Kalimantan Tengah. Meskipun, banyak sumber daya yang dihabiskan untuk mendukung keberhasilan program di Kalimantan Tengah, tampaknya bahwa program ini tidak berhasil memecahkan masalah. Data menunjukkan bahwa Provinsi Kalimantan Tengah menderita degradasi tinggi dan deforestasi (Suwarna et al., 2015). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki penyebab kegagalan dalam melaksanakan program REDD + di Kalimantan Tengah dengan menggunakan model implementasi bottom up. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Informan dalam penelitian ini adalah pemerintah dan agen non-pemerintah yang terlibat dalam pelaksanaan REDD + di Kalimantan Tengah, seperti Lembaga Dayak Panarung, Save Our Borneo, AMAN Kalimantan Tengah, dan Walhi. Data dikumpulkan dengan wawancara dan studi dokumen. Studi ini menemukan bahwa ada dua masalah utama yang menyebabkan kegagalan implementasi REDD+. Masalah pertama adalah masyarakat berpikir bahwa program REDD+ adalah sebuah proyek yang hanya menguntungkan kelompok tertentu. Manfaat dalam istilah ini dapat samakan dengan "uang". Sebagai sebuah proyek, program REDD+ tidak jauh berbeda dari proyek-proyek sebelumnya sehingga masyarakat setempat tidak sepenuhnya mendukung. Selain itu, situasi ini telah menghasilkan kepercayaan rendah kepada pemerintah. Selanjutnya, terjadi praktek implementasi yang tidak sesuai, Street Level Bureaucrat sengaja membelokkan kegiatan dari tujuan kebijakan. Terakhir, adanya praktek rent seeking perijinan dan administratif, pendanaan tanpa pemberdayaan, dan perubahan komitmen pemerintah sebagai perubahan rezim adalah bentuk masalah yang menyebabkan pelaksanaan REDD +gagal.

Deforestation becomes a crucial issue in the context of climate change as it is one of main causes of climate change. About 12 percent of total greenhouse gas emissions are caused by converting forests to other land use (FAO, 2010). Moreover, about 13 million hectares of forest are lost every year in most tropical countries (FAO, 2010). Barbier (1993) explains that deforestation in Southeast Asia is more serious than in Amazonia and Central Africa due to forest clearing is done for economic activities such as agriculture and timber production. Of ASEAN countries Indonesia contributes to the biggest number (FAO, 2010). To solve this issue, Indonesia cooperates with the Government of Norway to implement the REDD+ Program (Reducing Emission from Degradation and Deforestation) (Fischer, et all., 2016). The program is implemented in several regions in Indonesia as pilot projects. One of them is in Central Kalimantan. Although, many resources are spent to support the success of the program in Central Kalimantan, it seems that the program does not successfully solve the problem. Data indicate that Central Kalimantan Province suffers high degradation and deforestation (Suwarna et al., 2015). Therefore, this study aims to investigate the causes of failure in implementing the REDD+ program in Central Kalimantan by using the bottom up implementation model . This study applied a qualitative method. The informants in this study were government and non-government agents involved in the REDD+ implementation in Central Kalimantan, such Lembaga Dayak Panarung, Save Our Borneo, AMAN Kalimantan Tengah, and Walhi. Data will be collected by using interview and observation. Collected data from interview and observation were supported by secondary data. This study found that there were two major problems causing failure of REDD+ implementation. The first problem was the community thought that the REDD+ program was a project that only benefited to certain groups. Benefit in this term can be sinonimous with ������¢���¯���¿���½���¯���¿���½money������¢���¯���¿���½���¯���¿���½. As a project, The REDD+ program was not much different from previous projects so that the local community did not fully support. Moreover, this situation has produced the lower trust to government. This lower trust to government from the community hampered the implementation of deforestation and forest degradation prevention program. Furthermore, the practice of rent seeking behavior by bureaucracy, funding without empowerment, and the change of government commitment as the regime changes were the second major problem causing failure of REDD+ implementation.

Kata Kunci : Implementasi Kegagalan, REDD +, Kalimantan Tengah