Perempuan di Ruang Publik (Relasi Gender di Warung Kopi Tradisional di Kabupaten Tulungagung)
SAIFUL RIZAL, Dr. Amalinda Savirani S.I.P., M.A.
2017 | Skripsi | S1 ILMU PEMERINTAHAN (POLITIK DAN PEMERINTAHAN)Berdasarkan konteks yang dijelaskan Habermas bahwa ruang publik tumbuh dan berkembang dikalangan borjuasi di lingkungan kafe dan salon yang notabene aksesibilitasnya hanya terjangkau bagi kalangan menengah ke atas. Maka konteks yang terjadi di kabupaten Tulungagung justru berasal dari warung kopi yang notabene pelanggan yang hadir berasal dari golongan kelas menengah ke bawah. Warung kopi hadir sebagai ruang publik yang aksesibilitasnya terjangkau oleh semua kalangan. Kebebasan menjadi prinsip yang diusung ketika memasuki warung kopi. Namun pemandangan yang lazim terlihat adalah hanya laki-laki yang hadir sebagai konsumen. Padahal sama sekali tidak ditemukan aturan legal-formal mengenai pelarangan perempuan untuk mengaksesnya. Warung kopi yang sejatinya merupakan usaha yang dimiliki individu, pasti mendambakan profit dengan bertambahnya jumlah pengunjung. Dengan menolak perempuan, maka secara otomatis profit yang diperoleh tidak akan bertambah dan berkembang, disisi lain �Penolakan� terhadap perempuan yang menjadi pertanyaan serius penulis. Ditengah arus iklim modernisasi yang terus menggempur kultrur tradisional, warung kopi tetap mampu bertahan dan tetap kokoh menegasikan perempuan untuk menjadi konsumen sekaligus publik di dalamnya. Hal ini membuat warung kopi lekat dengan maskulinitas didalamnya. Penelitian ini mengkaji mengenai kuasa dalam relasi gender di ruang publik dengan warung kopi sebagai obyek penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan desain penelitian Etnografi, Etnografi merupakan desain penelitian dimana tidak memisahkan jarak antara subyek peneliti dengan obyek yang diteliti. Hal ini bertujuan agar peneliti dapat merasakan kuasa yang hadir ditengah ruang publik. Obyek penelitian ini di khususkan pada dua warung kopi yakni warkop Waris dan Warkop Sumadi, meskipun demikian penulis juga menjadikan warkop lain serta kafe sebagai obyek guna memperkaya data untuk memperkaya analisa. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa budaya patriarki yang dianut masyrakat jawa sangat kental dan eksis di warung kopi. Reproduksi kultur ini tidak muncul begitu saja, melainkan hadir dari proses sejarah yang panjang dan menghegemoni warung kopi. Tanda-tanda kekuasan laki-laki telah tersebar diberbagai sudut warung kopi, sehingga perempuan tidak dapat memasuki ruang publik tersebut. Bagi perempuan yang berani mendobrak kuasa patriarki ini akan dikerdilkan melalui serangkaian sosial punishment. Hal inilah yang membuat wanita tidak memiliki modal kuasa untuk membongkar atau sekedar mempertanyakan keabsenan mereka diwarung kopi.
Based on the context described Habermas that public sphere growth and developed among the bourgeoisie in the cafe and salon, which only affordable accessibility to the upper middle class. Then, context is happening in Tulungagung district actually comes from traditional coffee shop and costumers who attend come from the lower middle class. The existence of coffee shop as public sphere that it accessibility is affordable by all people.Freedom is the principle that promote when entering the coffee shop. But the view prevalent, it is only men were present as consumers. Besides, there is absolutely no formal legal rules found on the prohibition of women to access it. Coffee shop, which in essence is a business owned by an individual, certainly crave profit by increasing the number of visitors. By rejecting women, then automatically the profit earned will not grow and develop, on the other hand "refusal" to women become seriously question the author. Amid the current climate that kept pounding modernization culture to traditional, coffee shops still able to survive and remain firmly negated the woman to be a consumer as well as the public in it. This makes the coffee shop attached to masculinity therein. This study examines the power in gender relations in the public space with a coffee shop as research objects. The method used is a qualitative research study design Ethnography, Ethnography is a research design which does not separate the distance between the subject of research with the object under study. It is intended that the researcher can feel the power that comes amid a public space. This study places in dedicated at two coffee shops that warkop Waris and Warkop Sumadi, though the author also makes other warkop and cafes as objects to enrich the data for an analysis. Results from the study showed that the patriarchal culture that embraced the community of Java is very thick and exist in a coffee shop. Reproduction of this culture does not appear out of nowhere, but rather comes from a long historical process and hegemonic coffee shop. Signs of male power have been scattered in whole parts of the coffee shop, so that women can not enter the public sphere. For women who dare to break the power of patriarchy will be dwarfed by a series of social punishment. This is what makes women do not have the power to dismantle capital or just a coffee diwarung questioning their absence.
Kata Kunci : Ruang Publik, Relasi Gender, Konstruksi sosial, Hegemoni