PASANG SURUT KUASA BANGSAWAN DALAM PROSES DEMOKRATISASI DI KABUPATEN BONE

ERNAWATI, Dr. Haryanto, M.A.

2017 | Tesis | S2 Politik dan Pemerintahan

Fokus kajian bangsawan di Bone menjadi penting karena ada beberapa alasan. Pertama, secara kronologis bangsawan di Bone menguasai jabatan strategis baik pada masa kerajaan, Orde Lama, Orde Baru, maupun Reformasi. Pada masa Reformasi, dominasi bangsawan dapat dilihat pada eksekutif baik dari calon kepala daerah yang bermunculan maupun yang terpilih dalam kontestasi adalah mereka yang berasal dari bangsawan sehingga menjadikan mereka sebagai the only politic actor di Pilkada. Di tengah penguatan demokrasi dimana daerah yang keturunan bangsawan bukan lagi kriteria utama kepemimpinan, ada fenomena yang dialami di dua lembaga politik di Bone, yakni bangsawan menguat luar biasa di eksekutif namun merosot sangat tajam di legislatif. Berangkat dari fenomena ini penelitian ini akan menjawab pertanyaan: Pertama, bagaimana dan apa penyebab menguatnya kuasa bangsawan di eksekutif? Kedua, bagaimana dan apa penyebab merosotnya kuasa bangsawan di legislatif? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kajian ini akan menggunakan teori Charles F.Andrain terutama tentang sumber daya aktor dan pendayagunaannya secara efektif. Teori ini akan membantu dalam menemukan jawaban hal-hal yang membuat bangsawan menguat dan melemah. Adapun temuan lapangan yang diperoleh dari penelitian ini: Pertama, Bangsawan menguat di eksekutif yang ditandai dengan semua calon kepala daerah memang berstatus bangsawan berdasarkan Pilkada Bone (2008 dan 2013), artinya pasti yang selalu terpilih adalah aktor bangsawan. Penyebab menguatnya bangsawan di eksekutif disebabkan efektivitas pendayagunaan sumber daya personal (kharismatik dan jaringan massa) daripada sumber daya ekonomi. Hal ini juga diperkuat dengan faktor socio-historis dari setiap calon bahwa jabatan eksekutif lebih tinggi kedudukannya daripada legislatif, juga faktor socio politik (persaingan antar bangsawan, kekuatan Golkar, dan partai selain Golkar). Faktor socio historis dan faktor socio politic ini erat kaitannya dengan sumber daya politik berupa sumber daya personal, karena persepsi calon adalah posisi eksekutif jauh lebih kharismatik dari pada jabatan legislatif. Lalu pada faktor socio politik, partai dominan selalu mendukung aktor bangsawan, karena bangsawan mampu melakukan penjaringan massa baik di lingkup partai maupun di lingkup pemilih. Kedua, bangsawan merosot di legislatif terlihat dengan semakin berkurangnya anggota legislatif berstatus bangsawan yang terpilih dari dua periode hasil pemilihan legislatif (2009 dan 2014), dari 21 orang berstatus bangsawan, menurun tinggal 16 orang. Penyebab merosotnya bangsawan di legislatif, yaitu: sumber daya personal tidak begitu menguat di Pilleg sebagaimana Pilkada. Dengan merosotnya bangsawan di legislatif, di situlah aktor non-bangsawan dapat mengefektifkan sumber daya ekonomi, sehingga dapat mendominasi jabatan legislatif.

The focus of the study in Bone nobility is important because there are several reasons. The first, chronologically nobility in Bone mastering strategic positions both in the kingdom, the Old Order, New Order, and Reform. During the Reformation, aristocratic dominance can be seen in both the executive of prospective regional heads popping up as well as those selected in contestation are those that come from the nobility that makes them as the only actor in the local elections. In the midst of strengthening democracy in which area of the royal line is no longer the main criteria of leadership, there is a phenomenon experienced in the two political institutions in Bone, which gained extraordinary nobility in the executive but very sharp slump in the legislature. Departing from this phenomenon this study will answer the question: First, how and what the cause of strengthening the power of the nobility in the executive? Second, how and what caused the decline of the power of the nobility in the legislature? To answer these questions, this study will use the theories of Charles F.Andrain primarily on actors and pendayagunaannya resources effectively. This theory will help in finding the answers to the things that make royalty gains and losses. The field findings obtained from this study: First, Duke rose in the executive characterized by all prospective head region is the status of royalty based elections Bone (2008 and 2013), means must always elect is actor royalty. The cause of the strengthening of the nobility in the executive due to the effectiveness of human resources for personal (charismatic and tissue mass) rather than economic resources. It also strengthened the socio-historical factors of each candidate that the executive positions of higher social status than the legislature, as well as socio political factors (competition among the nobility, strength of Golkar, and parties other than Golkar). Factors socio historical and socio politic factor is closely related to political resources in the form of personal resources, because the perception of potential is far more charismatic executive positions of the legislative office. Then the socio political factors, the dominant party always supporting actor nobility, because the nobility were able to do the crawl masses both in the scope of the party and in the scope of the voters. Secondly, royalty slump in legislative visible with the reduction legislators elected nobility status of the two periods results of legislative elections (2009 and 2014), 21 of the status of nobility, have fallen to 16 people. The cause of the decline of the nobility in the legislature, namely: personal resources are not so strong in Pilleg as elections. With the decline of the nobility in the legislature, that's where the non-aristocratic actor can streamline economic resources, so as to dominate the legislative.

Kata Kunci : bangsawan,sumber daya aktor,pendayagunaan sumber daya