Laporkan Masalah

SULIT-HADIRNYA DEMOS [KEWARGANEGARAAN] DI DALAM MASYARAKAT DOXIC PESANTREN: RELASI LORA-SANTRI DI ERA DEMOKRATISASI DI BANGKALAN

INSAN KAMIL, Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A.

2016 | Tesis | S2 Politik dan Pemerintahan

Observasi terhadap relasi lora (sebutan bagi kiai di Bangkalan) dengan santri-santrinya, menemukan pola yang khas. Mengingat beroperasinya pesantren sebagai suatu sub-kultur ataupun habitus, relasi lora-santri ini menghasilkan intensitas kewargaan yang sangat kuat, namun pada saat yang sama mengukuhkan dominasi lora atas para santrinya. Gagasan tentang demokrasi yang mengaruskan adanya kewargaan yang aktif dalam mengelola publik telah menggiring kita pada judgement bahwa dalam tingginya intensitas kewargaan ini tidak hadir demos atau kewargaan yang aktif (citizenship) ini. Studi ini bermaksud untuk mendudukkan kewarganegaraan dalam konteks ini. Pelacakan akan ada dan beroperasinya demos dalam dunia pesantren di Bangkalan ini dilakukan dengan meminjam tool of analysis yang dikembangkan Bourdieu, dimana habitus yang menstruktur perilaku terpola dalam suatu field pada bagian mana berbagai bentuk kapital, utamanya capital symbolic menghasilkan suatu dinamika yang, pada saat yang sama juga stabil (doxa). Dalam dinamika itu menggejala sebentuk politik ide (the politics of idea). Dengan menggunakan data yang dikelola dengan kaidah etnografis, dimana serangkaian observasi partisipatoris serta wawancara dengan santri dan lora [kiai di Bangkalan], studi ini menemukan hal-hal berikut ini. Pertama, modalitas simbolik yang mereka miliki menyeruak ke batas-batas tradisionalnya ke arena baru. Seiring dengan perubahan politik pada tingkat makro lora-lora bertransformasi dari habitus lamanya, pesantren, ke habitus baru: masyarakat politik dan negara melalui mekanisme demokrasi elektoral: Pilkada dan Pemilu. Yang dimaksudkan dengan masyarakat politik adalah partai politik dan kelompok-kelompok sipil yang terorganisasi (CSO). Sementara yang dimaksudkan negara adalah lembaga-lembaga formal negara seperti eksekutif dan legislatif. Transformasi habitus yang terjadi pada lora berlangsung dalam relasi klientelismenya dengan santri. Oleh sebab itu transformasi tidak memberikan efek-efek positif bagi hadir-tidaknya demos di dalam pesantren. Kedua, ide utama yang dihasilkan oleh studi ini adalah bahwa di dalam jagad mikro sosial [pesantren], tersedia tata nilai, ide, kepercayaan, norma dan tradisi yang distrukturkan oleh, dan menstruktur ulang persepsi, apresiasi dan aksi para anggotanya: lora dan santri. Pesantren dengan segala unsur pembentuknya telah mempolakan relasi klientelistik lora-santri. Di dalam konstruksi sosial yang kokoh tersebut kewarganegaraan sulit hadir. Ketiga, di dalam pesantren bekerja ideas dan doxa yang menginstalasi persepsi dan perilaku lora dan santri. Selain itu terdapat "simbol" yang selalu direpresentasi dan direproduksi untuk menjaga supremasi kultural dan legitimasi politik lora di hadapan santri, khususnya, dan masyarakat Bangkalan umumnya. Studi ini menghasilkan temuan tentang masyarakat doxic yang semakin mengokohkan bahwa kewarganegaraan sungguh-sungguh tidak hadir di pesantren bani Cholil. Keempat, yang menjadi temuan utama dari studi ini adalah bahwa lora dan santri berada dalam ruang antara kewargaan dan kewarganegaraan yang dipolakan dan distrukturkan oleh habitus pesantren. Di antara dua ruang tersebut hadir suatu bentuk kewargaan: mesos ctizenship, suatu bentuk citizenship yang berada di antara dua pendulum kewargaan pesantren dan kewarganegaraan formal dalam sub-nation Kabupaten Bangkalan. Kelima, dibalik bekerjanya pesantren sebagai locus of power dan relasi klientelistik terselip celah "sense of public" dan "public morality" yang dapat ditansformasi untuk memperkuat agenda demokratisasi di masa mendatang.

The Observation on the relation between lora (the term used to call kiai in Bangkalan) with his santri has found a distinctive pattern. Keeping in mind that Pesantren operates as a sub-culture or habitus, the relation between loras and their santris creates a strong intensity of citizenship while at the same strengthen the domination of the loras over their santris. The idea of democracy, necessitating a citizenship actively getting involved in public matter has prompted us to judge that within this intensity of citizenship there are no demos or active citizenship. This study is meant to put the perspective of citizenship within this context. The search for the presence of demos and its operationalization within the walls of Pesantren in Bangkalan was conducted using the tools of analysis developed by Bourdieu, in which the habitus shapes the pattern of behavior within a particular field and creates various forms of capital; especially the symbolic capital, which in turn creates a dynamics while also creates a stability (doxa). Within this dynamics there exists a politics of idea. Using data processed through the principles of etnography, with a series of participatory observation and interviews with santris and loras in Bangkalan, the study makes findings below. Firstly, the symbolic capital generated has expanded to break its traditional boundaries, and into new arenas. In the wake of political changes at the macro level, loras have transformed from their old habitus, Pesantren, into the new habitus: political community and the state. They do so through the mechanism of electoral democracy: general and local elections. The term "political community" refers to the political parties and civil society organizations (CSOs). The term "state" refers to formal state institutions such as the executive and legislative. The transformation of habitus that the loras underwent happens within their clientelistic relation with their santris. Thus, the transformation does not bring positive impact to the presence of demos within Pesantren. Secondly, the main idea produced by this study is that within the micro-cosmos of Pesantren there are values, ideas, beliefs, norms and tradition that are shape and in turn reshape the perception, appreciation and actions of the citizens of Pesantren. Pesantren and all its components have produced the clientelistic pattern of relation between loras and santris. Within this established social construct, the notion of state-citizenship or civics is hard to be found. Thirdly, within Pesantren work ideas and doxa, installing perception and behavior of loras and santris. Moreover, there are "symbols" that are perpetually represented and reproduced to safeguard the cultural supremacy and political legitimacy of loras before their santris, in particular, and the people of Bangkalan in general. This study finds the presence of a doxic community that further establishes that the notion of civics is not present within the Pesantren of bani Cholil. Fourthly, the main finding of this study is that loras and santris live in the space between citizenship and civics, shaped and structured by the habitus of Pesantren. Between these two spaces there exists a form of citizenship: mesos citizenship, a form of citizenship that exists between the Pesantren citizenship and the formal state citizenship within the sub-nation of Bangkalan. Fifthly, in the background of Pesantren operation as a locus of power and its clientelistic relation there is a gleam of "sense of public" and "public morality" that can be transformed so that they would help strengthen democratic agenda in the future.

Kata Kunci : Lora, Santri, Demos, Pesantren, Habitus, Politik Ide, Doxa, dan Modal Simbolik

  1. S2-2016-322532-abstract.pdf  
  2. S2-2016-322532-bibliography.pdf  
  3. S2-2016-322532-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2016-322532-title.pdf