Laporkan Masalah

Membaca Arus Balik: Memikirkan Transisi, Politik, dan Ada bersama Prameodya dan Heidegger

JACOBSON, JEFFREY, Prof. Dr. Faruk, S.U.

2017 | Tesis | S2 Ilmu Sastra

Tesis ini merupakan upaya memikirkan politik di Nusantara abad ke-16 bersama dengan Pramoedya Anta Toer melalui novelnya Arus Balik. Sebelumnya, penulis menyiapkan medan supaya suatu pendekatan yang 'bukan-ilmiah' terhadap pembacaan teks sastra dapat dilakukan: hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer, yang di sini dipahami sebagai suatu perkembangan atau 'aplikasi' atas wawasan fenomenologis Martin Heidegger dalam Being and Time. Mengikuti gagasan ini, pertimbanganpertimbangan 'metodologis' harus mendahului yang 'teoretis'. Lalu, penulis mengangkat keadaan epokal manusia secara umum. Ini adalah orientasi 'teoretis' tesis, yang mengandalkan pemikiran Heidegger akhir sebagaimana ditafsir oleh Reiner Schürmann. Pramoedya muncul sebagai penyair dalam arti Heideggerian, yaitu, sebagai seseorang yang menanggapi keadaan epokhal kita dengan mengartikulasikan keberdiaman Indonesia melalui pengaryaannya dalam bahasa. Memahami politik dalam karya-karya Pramoedya berarti memahami kebangsaan Indonesia sebagaimana tersingkap melalui dan di dalam bahasa Indonesia. Dunia Arus Balik bercirikan dua kecenderungan besar. Pertama, bahasa keagamaan yang merasuki disertai oleh ketiadaan dari suatu pendasaran prinsipiil untuk bahasa tersebut: tokoh-tokoh mengatasnamakan Allah dan para dewa sebagai pembenaran kosong atas segala tindakan mereka. Motivasi-motivasi 'religius' nampak secara yang begitu tak bisa dibedakan dengan motivasi 'sekuler' sehingga suatu pemetaan atas keadaan keagamaan di novel sekaligus memetakan politiknya. Novel sendiri tidak berpihak dalam konflik antar-agama tetapi memperlihatkan aspek-aspek yang baik maupun buruk dari berbagai bentuk dari ketiga agama yang direpresentasikan. Sementara novel berurusan secara primer dengan agama 'di bawah reduksi', suatu ruang tetap disimpan untuk transendensi melalui agama, khususnya dalam kasus Paulus. Kedua, wibawa mutlak para raja atas kawulanya, yang juga sering dibenarkan secara religius, sedang meroboh, semakin hari semakin diganti oleh akal-budi individu dan kolektif. Kenaikan akal-budi sebagai prinsip baru bertepatan dengan penceritaan novel secara lebih luas tentang awal dari modernitas Indonesia. Empat tokoh diangkat sebagai teladan atas transisi menuju modernitas ini; masing-masing mengejawantahkan aspek yang lain. Akhirnya, kita melihat dua pembacaan alternatif atas citra utama novel, arus. Arus dari judul novel adalah metafora untuk ada sendiri, yang kita pahami secara berbeda menurut versi modern Galeng dan versi pascamodern Paulus. Pemahaman Galeng mengutamakan manipulasi supaya mencapai suatu tujuan tertentu, sementara pemahaman Paulus mengutamakan adanya dari arus sendiri, yaitu, pengehadiran (Anwesen, presencing) sendiri terlepas dari hal apapun yang masuk ke dalam kehadiran (Anwesenheit, presence).

This thesis attempts to think the political in 16th-century Nusantara along with Pramoedya Ananta Toer through his novel, Arus Balik. Before this thinking can occur, the writer prepares the ground for an 'unscientific' approach to the reading of literary texts, deeply informed by the philosophical hermeneutics of Hans-Georg Gadamer, understood here as a development or 'application' of Martin Heidegger's phenomenological insight into humans' interpretative situation in Being and Time. 'Methodological' considerations thus precede 'theoretical' ones. The writer then moves to humanity's epochal situation in general insofar as it bears on our reading of Arus Balik. This is the 'theoretical' orientation of the thesis, which relies on the later Heidegger as interpreted by Reiner Schürmann. Pramoedya appears as a poet in the Heideggerian sense, that is, as one who responds to our epochal situation by articulating Indonesian dwelling through his Sprachwerk, his work in language. To understand the political in the works of Pramoedya is to understand Indonesian nationhood as disclosed through and within the Indonesian language. The world of Arus Balik is characterized by two broad trends. First, pervasive public religious language is accompanied by a lack of principial grounding for that language: characters invoke the name of God or gods as an empty justification for any and all actions. 'Religious' motivations appear no differently than 'secular' ones to such an extent that a mapping of the religious situation of the novel also maps its politics. The novel does not take sides in religious conflicts but rather shows both positive and negative aspects of the various forms of the three religions represented. At the same time as it deals with religion primarily 'under reduction', however, the novel also reserves a space for religious transcendence, specifically in the case of the character Paulus. Second, the absolute authority of kings over their subjects, itself often religiously justified, is in decline, replaced more and more by the judgment of individual, and occasionally collective, reason. The rise of reason as new principle coincides with the novel's telling more broadly of the beginning of Indonesian modernity. Four characters are read as exemplary of this transition to modernity, each in their own way: Finally, we look to Galeng and Paulus' offering of two alternative readings of the central image of the novel, the arus or current. The current of the novel's title is a metaphor for being itself, which we understand differently according to the modern and postmodern versions of Galeng and Paulus, respectively. Specifically, Galeng's understanding of the arus focuses on its manipulation in order to achieve a specific outcome, while Paulus' focuses on the fact of the arus' being at all, on presencing (Anwesen) itself.

Kata Kunci : Arus Balik, Pramoedya, Gadamer, Heidegger, hermeneutics, dwelling, [post]modernity, arus, presence/presencing, epochal transition