LHA BIASANE ORA PAPA, KOQ IKI MALAH HAMIL (BIASANYA TIDAK APA-APA, TERNYATA JADI HAMIL): SEKSUALITAS REMAJA DALAM KRISIS AKULTURASI DI KOMUNITAS DAN SEKOLAH
KIKI KOESUMA KRISTI, Prof. Dr. P.M. Laksono, M.A.
2016 | Tesis | S2 ILMU ANTROPOLOGIAkulturasi terjadi antara komunitas kebangsaan Indonesia dengan komunitas-komunitas yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akulturasi pada hakekatnya merupakan pertemuan dua unsur kebudayaan dari dua komunitas yang berbeda, kemudian akan menghasilkan unsur kebudayaan baru yang lebih baik dan lebih maju tanpa ada rasa terkejut di salah satu pihak. Untuk mengatasi keterkejutan di dalam komunitas akibat adanya unsur kebudayaan baru yang masuk, maka salah satu cara dari negara sebagai penggerak komunitas kebangsaan adalah menyelenggarakan sistem pengajaran. Dengan sistem pengajaran yang ada diharapkan komunitas mendapatkan pengetahuan baru yang nantinya bisa mendukung perkembangan komunitas serta mendukung perkembangan bangsa. Pada prakteknya, sistem pengajaran yang diselenggarakan melalui sekolah justru mengambil alih peran komunitas dalam melakukan reproduksi kebudayaan. Sekolah melakukan penetrasi ke dalam komunitas dan menempatkan diri sebagai sumber dari segala pengetahuan ada. Sekolah abai bahwa di komunitas juga ada pengetahuan-pengetahuan yang juga perlu diajarkan agar kebudayaan komunitas itu tetap ada dan berkembang. Komunitas juga sudah terlanjur menyerahkan apa yang menjadi kewajibannya dalam bereproduksi kebudayaan kepada sekolah. Salah satu contohnya adalah seksualitas. Anak dan remaja hidup dengan organ seksual mereka. Organ seksual juga butuh pengetahuan dan pemahaman bagaimana cara menggunakannya. Di sekolah anak dan remaja mendapatkan pengetahuan tentang sistem reproduksi dan juga nilai moral dalam kehidupan seksualnya. Dalam keseharian di komunitas anak dan remaja mendapatkan pengetahuan dan pengalaman tentang bagaimana mereka menjalani kehidupan seksualnya. Pengetahuan dan pengalaman di komunitas inilah yang dijadikan pedoman bagi anak dan remaja dalam menjalankan kehidupan seksualnya. Sementara pengetahuan dari sekolah dijadikan patokan moral. Melalui penelitian dengan pengamatan dan wawancara mendalam yang dilakukan di sebuah komunitas kampung di pinggir salah satu sungai di Kota Yogyakarta selama 6 bulan dari bulan Oktober 2014 hingga Maret 2015, ditemukan bahwa terdapat ruang kosong di mana moral yang didapat dari sekolah hanya dihafalkan dan tidak dipraktekan dalam keseharian. Anak dan remaja tetap melakukan apa yang mereka dapat dari komunitasnya. Ketika terjadi kegagalan pemahaman, seperti kasus kehamilan di luar nikah, yang terjadi justru kebingungan. Anak dan remaja bingung karena secara moral menilainya sebagai sesuatu yang buruk, sementara mereka memahami dan melakukan hubungan seks dalam masa pacaran adalah bagian dari gerak komunitas. Komunitas juga menempatkan nilai dari pendidikan sekolah sebagai sesuatu yang lebih tinggi daripada nilai-nilai yang ada di komunitas. Namun nilai-nilai dari pendidikan sekolah tadi tidak dijalankan dan nilai yang ada di dalam komunitas menjadi resisten. Munculnya resistensi dan hirarki nilai ini karena komunitas hanya berpura-pura menerima nilai dari pendidikan sekolah. Terjadilah krisis akulturasi karena muncul resistensi dan hirarki nilai di dalam keseharian komunitas, bukan persenyawaan unsur kebudayaan. Dalam krisis akulturasi ini anak dan remaja, juga komunitas, seakan dibawa dalam situasi tidak berdaya dalam menghadapi hidup kesehariannya. Mereka tidak menjadi mandiri. Proses reproduksi kebudayaan di komunitas tidak berjalan karena apa yang dilakukan komunitas adalah pengulangan yang bersifat ritualistik tanpa memunculkan nilai baru. Sistem pengajaran melalui sekolah gagal menjadi peredam kejut pertemuan dua unsur kebudayaan yang seharusnya menghasilkan unsur kebudayaan kebangsaan yang lebih baik dan lebih maju.
Acculturation happens between Indonesia as nation community and the communities in Indonesia territory. The essence, acculturation is the meeting of two cultural elements from two different communities, than become new, better, and advance cultural element without shock in one of them. To avoid shock-culture in community because now there is a new cultural element, states as nation community activator organize an education system. Their hope that the education system can provide community with new knowledge that can support their development and support nation development. Practically, education systems that organize by school instead take over community role to do their cultural reproduction. School does deep penetration and role as main sources of all knowledge. School ignore that in community also had many knowledge that need to be learned for their existence and their development. Community already gives up their role in cultural reproduction to school. One example is about sexuality. Kids and adolescent live with their sexual organs. They need knowledge and understanding how to use it. In school, they learn about reproduction system and moral value in their sexual live. In their daily community, they got knowledge and experiences about how their sexual live. Knowledge and experiences in their community becomes their guide to life their sexual live. Certain, knowledge from school became guide on moral. After 6 months research with methods deep observation and interview in a riverbank kampong community in Yogyakarta, from October 2014 until March 2015, it can be founded that there are empty spaces where moral from school education only just to be memorized but not for daily practice. Kids and adolescent do what they learn from community. When there is misunderstanding as pregnant before marriage, they got confused. They confused because as moral value it is bad, certain they understand and do sex before marriage are part of their community Community takes values from school education in higher level than their own values. But, values from school education are not applied and community values become resistant. The hierarchy and resistant of values happened because community pretend accept values from school education. Acculturation now in a crisis situation and there is no coalescence of cultural element. In acculturation crisis, kid, adolescent, and community trap in incapable situation for life their daily live. They are not autonomous. Cultural reproduction processes are not happen because community just repeats for what they done without produce new value. School education system that should become a shock-breaker for the meeting of two cultural elements and produce better and advance nation cultural elements are fail.
Kata Kunci : Seksulaitas. pendidikan, sekolah, komunitas, anak, remaja, akulturasi, krisis