Pola Pelibatan TNI Angkatan Darat Dalam Politik
BANU HERNAWA, Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A.
2016 | Skripsi | S1 ILMU PEMERINTAHAN (POLITIK DAN PEMERINTAHAN)Pelibatan militer dalam politik menjadi perbuatan haram ditengah arus demokratisasi yang melanda berbagai belahan dunia. Padahal pelibatan militer dalam politik terjadi di lebih dari 2/3 negara non-barat pasca Perang Dunia II. TNI Angkatan Darat sejak pembentukannya telah terlibat dalam politik, namun berbagai literatur diterbitkan TNI maupun Pemerintah Rezim Militer Soeharto telah mengaburkan bahkan menihilkan keniscayaan pelibatan TNI AD dalam politik itu nyata. Dalam historiographi sejarah militer oleh TNI AD kiprah mereka dalam politik diceritakan sebagai sikap patriotic dalam menegakkan kedaulatan negara dari berbagai ancaman, dan politik TNI AD diceritakan sebagai politik negara. Dalam skripsi ini tidak menawarkan penemuan-penemuan baru melainkan menawarkan pembacaan sejarah politik TNI AD secara lebih obyektif dan realistis, serta menawarkan pembacaan pola strategi politik (intrik politik) TNI AD yang sangat mewarnai wajah politik nasional Indonesia. Data sejarah yang disajikan bisa jadi tampak usang namun skripsi ini memaknai data sejarah yang tersusun dengan cara yang berbeda, sehingga ditemukan pola pelibatan politik tertentu dalam periode politik tertentu yang ditulis dalam periodesasi politik tertentu berdasar sistem pemerintahan dam sistem politik yang sedang berlaku. TNI AD terlibat dalam politik sejak awal merasa memilik saham dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia, sementara politisi sipil yang gagal membentuk dan melembagakan tentara sejak awal menginginkan supremasi sipil atas militer sebagai manifestasi nilai demokrasi liberal. Politisi sipil dalam derajat tertentu masuk terlalu jauh kedalam domain TNI AD sehingga timbul resistensi dari TNI AD ditambah kekecewaan atas kebijakan dan pilihan-pilihan politik politisi sipil. Dalam periode demokrasi liberal ini ancaman dan tindakan kudeta menjadi senjata ampuh dalam menghadapi politisi sipil. Keberhasilan TNI AD masuk sebagai golongan fungsional di parlemen dan keberhasilan merumuskan doktrin politik “Jalan Tengah†yang kemudian menjadi Dwifungsi ABRI serta kembalinya Soekarno dalam kedudukan penuh sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara secara perlahan namun pasti sejumlah partai politik dilarang dalam kekuasaan darurat militer, hingga akhirnya menyisakan PKI sebagai partai terkuat yang berhadapan dengan TNI AD berebut pengaruh di hadapan Presiden Soekarno hingga akhirnya TNI AD merasa perlu menyingkirkan PKI dan Presiden Soekarno agar kepentingan politik TNI AD dapat tercapai. Tersingkirnya Presiden Soekarno dan naiknya Jenderal Soeharto ke kursi Presiden melalui kudeta yang rumit mengakhiri pola lama dengan kudeta dan kekuasaan darurat militer. Jenderal Soeharto menjalankan kekuasaan dan membentuk rezim militer yang mampu bertahan lebih dari tiga dekade. Dwifungsi ABRI dalam rezim militer Soeharto semakin jauh memasuki ranah non-militer hingga akhirnya menimbulkan resistensi sendiri dari sejumlah purnawirawan jenderal, ditambah dengan gerakan mahasiswa akhirnya ABRI tidak mampu membendung desakan kuat untuk mengakhiri kekuasaannya di ranah sipil. Di era reformasi dengan demokrasi liberal, pelibatan politik TNI bertahap dihapuskan, dan supremasi sipil harus diterima TNI AD sebagai konsekuensi demokratisasi. Hilangnya saluran politik pucuk pimpinan TNI AD memunculkan pola baru jika para jenderal ingin dalam ranah politik maka harus pensiun dari dinas TNI, dan bertarung dalam pemilihan umum melalui partai politik. Namun sejumlah purnawirawan yang berpengaruh dan berhasil membangun relasi patronase kedalam TNI serta kedudukan yang telah berbaju sipil menjadikan purnawirawan jenderal ini memiliki keuntungan ganda, yakni melalui Pepabri dapat menggunakan pengaruh terhadap junior pucuk pimpinan TNI berikutnya, serta dengan kedudukan sipilnya sekarang mereka dapat berebut kekuasaan melalui pemilu atau menempel mendukung politisi sipil tertentu untuk mendapatkan kekuasaan politik.
Military involvement in politic is an unforgivable act in today's new wave of democratization process in developing countries. Actually not long time ago, majority of non western developing countries lived under military dominated government. Since its inception, Indonesian army has been deeply involved in political scene, by publishing various material New Order under Suharto tried to frame history to conceal and blur military involvement in politic. In historiography of Indonesian military history, army involvement in politic has been described, narrated as something beneficial even patriotic to upheld Indonesian sovereignty. This mini thesis does not pretend to offer new discoveries, instead this minithesis offer to give reader objective and realistic perspective of history of that involvement and strategies and political maneuver of army in influencing Indonesian political landscape. Data and information served may look obsolete but that does not in any way whatsoever reduce any relevance and researcher arrange them in new sort way to find a new particular pattern in army involvement in politic in particular period in political periodization based on prevailing govermental and political system of those days. In army, ever since it founding, there has been feeling that it has contributed lion to Indonesia Independence Revolution. whereas civilian politicians failed in institutionalizing civilian supremacy over military as manifested in liberal democracy values. Civilian politician to a degree interfered too much in military, only to find resistance from military itself, moreover Army felt much disappointment over policy and political choice of civilian politician. During period of liberal democracy threat of coup was an effective political weapon against civilian politicians. The success of army to enter political scene as functional group in parliament and the success of political doctrine of “ middle way that would be transformed into “ Dwifungsi ABRI †, the emergence of Soekarno as both head of state and head of government, gradual weakening and then banning of political parties during effective martial law condition, leaving only Indonesian Communist Party as viable political party facing the army to wrestle influence over President Soekarno. Eventually the army felt compelled to eliminate both Soekarno and Communist Party to secure army political agenda. Elimination of President Soekarno and Soeharto ascendancy to power by coup brought about military dominated polity in Indonesia for the next three decades. Army with Dwifungsi ABRI was heavily involved in non military spheres, in the end it brought resistance from military officer groups itself, reinforced by student groups emboldened by aggravated economic conditions led to downfall to military regime. In Reformation, military involvement in non military sector is set to end gradually, civilian control over military is a notion has to be accepted as consequences of ongoing democratization process. With disappearance of army's official political channel, military officer has to be retired from active service to enter politic, running for office by means of political party candidacy. But for some of influential retired military officers it brings additional benefit, beside their already extensive patronage to junior officers group ( future army leadership). On other hand by organizational structures of Pepabri and its derivatives, by its political party channel the officers are able to join general election as direct candidates running for office or indirect means by lending their support to one civilian candidate in exchange for significant political leverage.
Kata Kunci : Politik Militer, Kontrol Sipil, Pola Pelibatan Politik