VALIDITAS DIAGNOSTIK PARAMETER ANTROPOMETRI DAN KONTRIBUSI MAKANAN BERISIKO TERHADAP SKOR SINDROMA METABOLIK PADA REMAJA: ANALISIS DATA RISKESDAS 2013

ZAHRA ANGGITA P., Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA ; Dr. dr. Emy Huriyati, M.Kes

2016 | Tesis | S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Latar belakang: Beberapa studi menemukan bahwa SM tidak hanya terjadi pada kelompok usia tua, tetapi juga dapat dimulai pada usia muda. SM yang terjadi pada remaja menunjukkan perlunya sistem deteksi dini, sebagai bentuk pencegahan penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus di masa depan. Penting untuk mengetahui parameter antropometri mana yang lebih baik dalam mendeteksi risiko SM pada remaja.. Tidak dapat dihindari bahwa makanan manis, asin, dan berlemak adalah makanan yang sering dikonsumsi dianggap sebagai makanan yang berhubungan dengan perkembangan SM. Perlu adanya kajian terkait hubungan makanan berisiko dengan SM, sebagai bahan edukasi dan dasar pembuatan kebijakan. Namun, penetapan diagnosis kriteria SM itu sendiri sampai saat ini masih belum mencapai kesepakatan. ADA merekomendasikan menggunakan skoring untuk mendiagnosis SM, sehingga penggunaan skor dalam mendeteksi SM membutuhkan titik potong sebagai dasar untuk diagnosis. Tujuan: Menilai validitas diagnostik parameter antropometri dan mengetahui hubungan makanan berisiko dengan skor sindroma metabolik pada remaja. Metode: Penelitian ini menggunakan data Riskesdas tahun 2013. Penelitian terdiri dari dua tahap yaitu penelitian diagnostik dan observasional dengan rancangan cross sectional. Penelitian diagnostik dilakukan untuk mendapatkan titik potong skor sindroma metabolik dan menilai validitas parameter antropometri untuk mendeteksi SM pada remaja. Sementara itu, penelitian observasional dalam penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis penelitian tentang hubungan makanan berisiko dengan SM. Hasil: Prevalensi SM pada remaja adalah 5,93% (NCEP-ATPIII). Sementara itu, prevalensi SM pada remaja menggunakan skoring adalah 19,89%. Titik potong skor sindroma metabolik adalah 2,21 (sensitivitas = 83,1%, spesifisitas = 84,2%). Lingkar perut adalah parameter antropometri terbaik dalam mendeteksi SM (sensitivitas=71%; spesifisitas=67%). Tidak ada hubungan antara frekuensi makanan manis dengan SM (p=0,122; p-value>0,05). Tidak ada hubungan antara frekuensi makanan manis dengan SM (p=0,122; p-value>0,05). Hasil yang sama juga ditunjukkan dalam hubungan frekuensi makanan asin (p=0,988). Sementara itu, makanan berlemak memiliki hubungan yang signifikan dengan Mets (p=0,013; p-value<0,05). Kesimpulan: Lingkar perut dapat digunakan untuk skring SM dan merupakan parameter terbaik yang mudah murah, sensitive dan spesifik. Remaja yang sering mengkonsumsi makanan berlemak memiliki efek protektif terhadap SM. Program deteksi dini diperlukan, sebagai upaya pencegahan penyakit kardiovaskular di masa depan.

Background: Several studies have found that MetS does not only occur in older age groups, but can also begin at a young age. MetS that occured in adolescents indicating the need for early detection system, as a form of preventive development of cardiovascular disease and diabetes mellitus in the future. It was important to know which one is better at detecting the risk of MetS in adolescents as early detection system. Sweet, salty, and fatty foods considered as related to the development of MetS. It was inevitable that these three foods are frequently consumed. However, determining the diagnosis of MetS criteria itself was still not reached an agreement. American Diabetes Association dan European Association for the Study of Diabetes recommended using MetS score to diagnose MetS, so we needed to require cut off point of Met score to as the basis for diagnosis. Objectives: To assess the diagnostic validity of anthropometric parameters to detect Mets and to determine the relationship of risk foods with MetS score in adolescents Methods: This study was using National Report on Basic Health Research 2013. The study consisted of two stages: diagnostic research and observational with cross sectional study design. Diagnostic research conducted to obtain cut-off point of MetS score and assess the validity of the anthropometric parameters to detect MetS in adolescents. Meanwhile observational research in this study aimed to test the hypothesis of research about the relationship of food with MetS risk. Results: In general the prevalence of MetS in adolescents was 5.93% (NCEP-ATPIII). Meanwhile, the prevalence of MetS in adolescents using MetS score was 19.89%. The optimal cut of point to detect Mets was 2.21 (sensitivity=83.1%, specificity=84.2%). Abdominal circumference was the best anthropometric parameters in detecting MetS (sensitivity=71%; specificity=67%). There was no correlation between the frequency of sweet foods with MetS (p=0.122;p value>0.05). The same results was also shown in the salty food frequency relationship (p=0.988). Meanwhile, fatty foods has a significant relationship with MetS (p=0.013; p-value<0.05). Conclusion: Abdominal circumference has good validity and can be used for early detection of metabolic syndrome among adolescents. Adolescents who frequently consume fatty foods actually have a protective effect against MetS in this study. Screening programs need to be introduced, as an effort to prevent cardiovascular disease in the future.

Kata Kunci : validitas, antropometri, deteksi dini, skor sindroma metabolik, makanan berisiko, remaja