Laporkan Masalah

Strategi Benjamin Netanyahu Mendominasi Permainan Zero-sum (Studi Kasus: Penolakan Israel Terhadap Resolusi PBB No.67)

PENNY KURNIA PUTRI, Dr. Nanang Pamuji Mugasejati

2016 | Tesis | S2 Ilmu Hubungan Internasional

Tesis ini akan menjawab pertanyan tentang, "Mengapa Benyamin Netanyahu menolak mematuhi Resolusi 67 berikut status kedaulatan Palestina yang dikeluarkan PBB pada tanggal 29 November 2012 ?" Penolakan Bibi (panggilan akrab Benjamin Netanyahu) ini dinilai sebagai keputusan yang problematis, karena melalui penolakannya ia tidak sedang memperbaiki posisi Israel di PBB yang sudah ditinggalkan oleh para negara pendukungnya tetapi justru memperburuknya. Selain itu, Israel juga terancam gerakan BDS global dan delegitimasi. Umumnya dalam posisi sulit dibawah tekanan dunia internasional semacam itu, seorang pemimpin negara akan menyetujui tuntutan tersebut. Namun Benjamin Netanyahu agaknya memiliki perhitungan rasionalnya sendiri terkait keputusan penolakannya yang kontroversial. Konsekuensi bila menerima Resolusi 67 berikut pengakuan atas kedaulatan Palestina, maka Israel juga harus tunduk pada klausul resolusi yang mengatur tentang tuntutan pengembalian wilayah Tepi Barat dan Jerusalem Timur, hasil kemenangan Perang Enam Hari 1967. Statusnya kemudian akan diserahkan pada hak menentukan nasib sendiri (self-determination) penduduk Palestina, atau dengan kata lain harus dikembalikan ke pangkuan Palestina. Oleh karena wilayah tersebut sudah dimiliki Israel selama kurang lebih 67 tahun dan menjadi area proyek pembangunan pemukiman Yahudi (proyek E-1) oleh Bibi, maka secara perhitungan untung-rugi klausul resolusi dianggap sangat merugikan pihak Israel, sehingga membuat sang aktor rasional memutuskan untuk tidak akan menggagalkan proyeknya sendiri dengan menolak mematuhi Resolusi 67 tersebut. Hal lainnya yang melatarbelakangi penolakan Bibi, yakni adanya kemungkinan sanksi hukum humaniter yang dapat menjerat Israel beserta jajaran pemerintahannya (tak terkecuali dirinya) atas tuduhan telah melakukan kejahatan perang. Lebih spesifik, Bibi tidak akan memberi kesempatan pada PLO untuk membuka kembali proses kasus investigasi pelanggaran HAM ke ranah pengadilan Mahkamah Internasional, dan menuntut Israel bertanggung jawab atas peristiwa Operation Cast Lead yang terjadi tahun 2008-2009. Narasi besar dibalik Resolusi 67 adalah apabila Israel mematuhi dan otomatis mengakui kedaulatan Palestina, maka secara tidak langsung Israel juga mengumumkan telah melanggar kedaulatan yang dimiliki Palestina ketika Operation Cast Lead diluncurkan. Kedua alasan diatas menjadi alasan utama (primer) Benjamin Netanyahu menolak Resolusi 67. Menolak resolusi diartikan pula sebagai menolak kedaulatan. Strategi tersebut dilakukan Israel agar tidak menderita kerugian yang lebih besar. Alasan pendukung (sekunder) yang turut mempengaruhi, yakni situasi politik domestik Israel kala itu dalam rangka menyambut pemilihan umum - untuk bisa bertahan di Knesset (parlemen Israel), memenangkan pemilu dan berkuasa, Bibi pun harus jeli memperhitungkan jumlah voter neokonservatisme di lapangan. Strateginya untuk tetap bertahan di kursi kepemimpinan memungkinkan ia dapat terus menjalankan proyek pemukiman yang belum selesai. Baik alasan primer maupun sekunder, menurut peneliti, tindakan Bibi sebagai agen rasional merupakan refleksi dari reaksi mengoptimalkan payoff terhadap aksi (move) yang dilakukan oleh rivalnya. Strategi mendominasi kedudukan dalam pertarungan satu lawan satu seperti ini tidak lain adalah implementasi dari teori zero-sum game. Prinsip permainan zero-sum meyakini bahwa tiap-tiap agen yang berseteru dipandang sebagai aktor rasional berintelijensi tinggi yang akan selalu bereaksi optimal memenangkan pertarungan. Permainan zero-sum juga dikenal dengan istilah "the winner takes all", dimana hasil akhirnya hanya ada dua kemungkinan, yakni menang atau kalah.

This thesis will answer a question about, "Why Benjamin Netanyahu refusing to comply with a resolution of 67 following the status of Palestinian sovereignty which issued by the UN on November 29, 2012?" Netanyahu repudiation rated as problematic decision, because by his action he is not fixing Israeli position in the UN which been left by mostly country members, but even worsen. Other than that, Israel also threatened by global BDS 'Boycott, Divestment, Sanction' movement and de-legitimization. Generally in a difficult situation under such pressure, a state leader will approve these demands. However, Benjamin Netanyahu has his own rational calculations related to his controversial repudiation decisions. Some consequences that may follows by accepting the Resolution 67 are the demands for Israel to restore West Banks and East Jerusalem back to the Palestine administration. Both places are the area occupation that Israel ever been won on Six-day War 1967. The status of the territories will be given to the right of self-determination Palestinian people. Because the area has been owned by Israel for more than 67 years and become a Jewish settlement construction project (E-1) by the recent prime minister, so that resolution is considered very detrimental on Israeli's side. For that reason, finally Benjamin Netanyahu does not intend to return it back and thwart his own project. Another thing behind his repudiation is underlying possibilities of sanctions in humanitarian law over war crimes which submitted by PLO regarding to the IDF actions during Operation Cast Lead or Gaza War on 2008-2009 that killed thousands of Palestine civilians people. This case can send Israel along with its government may be prosecuted for crimes against humanity. The reason why ICC cannot process the case any further until now is just because the Palestinian statehood status are not powerful enough to make some prosecution request or weak in the face of international law. Logically, if Benjamin Netanyahu's accept the resolution, it means that Israel's administration recognize Palestine sovereignty - and by this fact could automatically established Palestine status and strengthen the state privilege of international law, then next ICC can continue the investigation due to war case. As a rational actor, the Prime Minister obviously would not do this suicide action. His move rejecting the resolution is to reject the sovereignty. The strategy carried out in order Israel does not suffer a greater loss. Beside those explanation mentioned above, there are situation of domestic political issue in Israel that influence, namely the election. In order to survive in Knesset (Israeli's Parliament), won the election and ruling the state (once again), Benjamin Netanyahu must carefully calculate the number of voters who stand on his side. His strategy to stay survive on Israeli leadership hot seat allows him to keep running the unfinished settlement construction. In spite of all the reasons, researcher argues that Netanyahu's movement as an agent of rational are the reflection of optimizing payoff reaction against his rival's action, Mahmoud Abbas. Strategy of dominating position in a battle of sexes like this easily identified as the implementation of a zero-sum game theory. The principle of zero-sum game believe that each agent warring seen as high an intelligent rational actors who will always react optimally to win the fight. Zero-sum game is also known by the term "the winner takes all", which the end result is there are only two possibilities, either win or loose.

Kata Kunci : zero-sum game, strategi zero-sum, aktor rasional, kedaulatan Palestina, Resolusi 67, solusi dua-negara, payoff optimal, BDS global, delegitimasi, ekuilibrium Nash, matriks zero-sum, hukum humaniter, ICC, Israel-Palestina, Netanyahu versus Abbas, triangula

  1. S2-2016-376428-abstract.pdf  
  2. S2-2016-376428-bibliography.pdf  
  3. S2-2016-376428-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2016-376428-title.pdf