TRANSPLANTASI KELEMBAGAAN: Belum Tuntasnya e-Procurement Sebagai Instrumen Reformasi Birokrasi (Studi Kasus e-Procurement di Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah)

PUTRA ADI NUGRAHA, Nur Azizah, M.Sc

2016 | Tesis | S2 Politik dan Pemerintahan

e-Procurement/LPSE sejatinya adalah jawaban atas lemahnya sistem pengadaan barang dan jasa konvensional yang banyak meninggalkan permasalahan terutama praktek tindak pidana korupsi di lembaga-lembaga pemerintah pusat dan daerah. Namun, e-Procurement yang coba ditransplantasikan di Kalimantan Tengah justru menjadi tempat dimana perilaku korupsi lama (arisan lelang) terformalisasi. Dengan kata lain, e-Procurement secara teknis/aturan formal (hard transfer) dapat dijalankan. Namun, faktor informal seperti kebiasaan dan perilaku (soft transfer) aktor di dalamnya justru tunduk pada logika lama. Maka dari itu, penulis merasa penting untuk mempertanyakan mengapa soft transfer implementasi e-Procurement tidak berjalan? Transplantasi Kelembagaan menjadi pisau analisis untuk menjawab pertanyaan tersebut. Keberhasilan dalam mentransplantasikan/mengadopsi sebuah gagasan/instrumen baru, tidak hanya dilihat dari kematangan implementasi instrumennya saja (hard transfer), tetapi juga dipengaruhi oleh nilai-nilai yang melekat pada instrumen tersebut (soft transfer). Hard dan soft transfer inilah yang sering kali menjadi hambatan tersendiri karena terdapat perbedaan dengan nilai-nilai yang sudah terlebih dahulu terbentuk di masyarakat. Sehingga kehadiran instrumen baru memunculkan dilema tersendiri. Tesis ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus di Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah. Data utama tesis ini berusmber dari wawancara dengan pihak yang berkaitan langsung dengan instrumen LPSE. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Pemerintah Pusat pada awal implementasi instrumen LPSE, memiliki komitmen yang sangat kuat untuk memperbaiki kualitas pengadaan yang ditandai dengan penunjukan Provinsi Kalimantan Tengah untuk menjadi salah satu Pilot Project instrumen tersebut. Setelah 8 tahun berjalan, LPSE Kalimantan Tengah banyak menerima penghargaan terkait implementasi LPSE. Namun pada prakteknya, arisan lelang, pemberian sejumlah fee justru dianggap menjadi hal yang wajar oleh para personil lelang dan rekanan pemerintah jika ingin mendapatkan paket pekerjaan. LPSE sebagai sebuah instrumen baru, dijalankan dengan sangat baik jika dilihat dari teknis pelaksanaannya (hard transfer). Instrumen tersebut secara terus menerus diperbaiki dan diperbaharui bersamaan dengan aturan-aturan yang menjadi payung hukum implementasinya. Namun, nilai-nilai yang ditawarkan instrumen tersebut (bebas korupsi, berlaku adil, dsb) tidak mampu menggeser budaya arisan lelang. Soft Transfer yang coba ditularkan e-Procurement gagal karena struktur sosialnya masih sangat kuat, akibat dari lemahnya komitmen dan ketidakinginan para oknum dan rekanan kehilangan resource untuk memperkaya diri. Dan e-Procurement di Kalimantan Tengah justru menjadi wadah terformalisasinya budaya lama.

e-Procurement/LPSE actually is the answer to the weakness of the system of conventional procurement which left so many problems, especially the corruption in the institutions of central and local government. However, e-Procurement that already transplanted in Central Borneo, became the place where the old corrupt behavior (arisan lelang) formalized. In other words, e-Procurement technical/formal rule (hard transfer) can be executed. But, informal factors such as habits and behavior (soft transfer) actor on the contrary, still follow the old logic. Therefore, the author feels it is important to question why the soft transfer is not running? The author use Institutional Transplantation Theory to answer those question. Success in transplanting/adopting an idea/new instruments, not only seen on the readiness of implementation alone (hard transfer), but also influenced by the values inherent in the instrument (soft transfer). Hard dan soft transfers are often became its own obstacles due the differences with the values that already formed in the community. So the presence of new instruments raises a dillema. This thesis is an qualitative research with case study approach in Central Borneo Government. The main data of this thesis comes from interviews with those directly related to the LPSE. The Central Borneo Government and The Central Government in the early of LPSE implementation, both has strong commitment to improve the quality of procurement which is marked by the appointment of Central Borneo to become one of the pilot project of the instrument. After eight years running, Central Borneo LPSE received many awards related to the implementation. However, in practice, arisan lelang, giving some fees are deemed to be normal activity by the auction members if they wants to get the work. Technically, LPSE as new instrument, went really well (hard transfer). The instrument continously improved and updated. However, the values of the instruments (free of corruption, justice, etc) are not able to shift the culture of arisan lelang. Soft Transfer became failure because its social structure is still very strong, as a result of lack of commitment and the unwillingness from the actors and partners to lost resources to enrich themselves. And the e-Procurement in Central Borneo became a place for old culture.

Kata Kunci : e-Procurement, Transplantasi Kelembagaan, Hard dan Soft Transfer, Arisan Lelang