Laporkan Masalah

KRITIK NALAR M. ABID AL-JABIRI DALAM PERSPEKTIF EPISTEMOLOGI MICHEL FOUCAULT: KONTRIBUSI METODOLOGI BAGI BANGUNAN NALAR INDONESIA-ISLAM

MUHAMMAD ANAS, Prof. Dr. Joko Siswanto; Drs. M. Mukhtasar Syamsuddin. M.Hum., Ph.D of Arts.

2016 | Disertasi | S3 Ilmu Filsafat

Dominasi nalar terbentuk, nalar yang memuat aturan-aturan dan hukum berpikir yang ditentukan dan dipaksakan secara tidak sadar dan dijadikan pegangan dalam beragumentasi (istidlal), terasa sangat kuat menghegemonik peradaban Islam. Akibatnya, nalar terbelenggu dan terbatas cara pandangnya atas dunia (world view), terhadap sosial dan lingkungan di sekitarnya. Kuasa nalar terbentuk (al-aql al-mukawwan) menentukan cara memahami, menafsirkan teks keagamaan, bahkan dalam membentuk cara pandang (world view) umat Islam. Nalar ini diyakini sebagai kebenaran mutlak dan mempunyai otoritas yang tinggi. Kritik-kritik yang dilontarkan, baik kritik nalar maupun kritik teks, sengaja diabaikan begitu saja, lantaran dianggap mengganggu keberagamaan bahkan keyakinan teologis yang telah mapan selama ini. Melalui epistemologi Michel Foucault, pemikiran Jabiri, khususnya menyangkut proyek kritik nalar, dapat dipetakan ke dalam tiga gagasan besar, yakni arkeologi dan genealogi pengetahuan, episteme dan ketidaksadaran kognitif serta diskursus terpinggirkan dan teks yang tidak terkatakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kritik nalar adalah sebuah kritik yang menelusuri dan berusaha menemukan prinsip dasar atau episteme pada setiap periode sejarah tertentu. Jabiri melakukan kritik dekonstruktif dengan menunjukkan cara-cara dan syarat-syarat sebuah nalar beroperasi dalam memproduksi pengetahuan. Ironisnya, cara kerja nalar dalam memproduksi pengetahuan telah didominasi oleh episteme tertentu sehingga hasil kerja nalar hanya bersifat pengulangan serta ahistoris dalam konteks kekinian. Penelusuran sistem pengetahuan tersebut tidak an sich berkutat pada syarat-syarat keabsahan pengetahuan semata, Jabiri menunjukkan ada relasi kuasa-pengetahuan yang ikut mewarnai terbentuknya pengetahuan dan berakibat tersingkirnya pengetahuan lain di luar episteme-nya. Dalam konteks inilah pengetahuan Arab-Islam seringkali disebut politik-pengetahuan atau lebih didominasi oleh peradaban politik daripada peradaban ilmiah. Transmisi pengetahuan Arab-Islam yang terbentuk tersebut dapat ditemukan relevansinya dalam konteks Islam di Indonesia. Persekutuan episteme bayaniirfani sembari menyingkirkan burhani terjadi di era awal pembentukan pengetahuan (al-maurust al-qadim). Satu hal yang tidak ditemukan relevansinya dalam konteks Islam di Indonesia adalah ketika Kolonialisme melakukan pengontrolan dan penertiban melalui pengetahuan untuk mendisiplinkan wacana dalam kerangka kestabilan politik di masa itu.

The formed reasoning, a reasoning that contains the determined and unconsciously enforced and hold rules and laws of thought as argumentation (istidlal), very strongly dominates the Islamic civilization. Consequently, the reasoning is shackled and limited to view on the world, the social and the surrounding environment. The power of the formed reasoning (al-'aql almukawwan) determines how to understand and interpret religious texts, even forms Muslim�s worldview. The reasoning is believed to be the 'absolute' truth and to do a high authority. The delivered critiques on the reasoning and the text are deliberately ignored, because they are considered to spoil religious affairs and established faiths. Through Michel Foucault�s epistemology and Jabiri�s thought especially on the critique of the reasoning, it can be mapped into three major ideas, i.e. archeology and genealogy of knowledge, episteme and unconsciousness of cognition, and marginalized discourses and unstated texts. The results of the research indicate that the critique of the reasoning is a critique that searches and strives to find the 'basic principles' or episteme at any given historical period. Jabiri actualizes deconstructive critique by showing the work ways and terms of the reasoning in producing knowledge. Ironically, they are dominated by a particular episteme, so that the work result of the reasoning is only a repetition and ahistorical in the present. Searching such system of the knowledge does not dwell on the terms of the knowledge validity only. Jabiri shows that there is a relationship between power and knowledge which also creates and forms the knowledge and impacts on excluding other knowledge beyond its episteme. In this context, the Arab-Islamic knowledge is often called as a 'politics-knowledge' or more dominated by political rather than scientific civilization. Transmission of the formed Arab-Islamic knowledge can be relevant to Islam in Indonesia. Guild episteme of the bayani-irfani while getting rid of burhani occurred in the early era of the knowledge formation (al-maurust alqadim). Nothing relevant to Islam in Indonesia can be found when colonialism controlled and published it through knowledge for disciplining the discourse within the framework of political stability in last period.

Kata Kunci : reasoning, episteme, archeology and genealogy of knowledge, unconscious reasoning, discourse, nalar, arkeologi dan genealogi pengetahuan, ketidaksadaran nalar, diskursus