Studi tentang pelaksanaan P2KP dalam pemberdayaan masyarakat miskin di perkotaan :: Studi kasus di wilayah Kecamatan Penjaringan Kotamadya Jakarta Utara - DKI Jakarta
KENTIANA, Rina, Dr. Yeremias T. Keban
2003 | Tesis | Magister Administrasi PublikPenelitian ini dimaksudkan untuk mencermati bagaimana pelaksanaan P2KP dalam rangka pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan di DKI Jakarta, dan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan P2KP tersebut dalam rangka pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan di DKI Jakarta, Studi kasus pada pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) di wilayah Kecamatan Penjaringan Kotamadya Jakarta Utara-DKI Jakarta. Untuk mencapai tujuan dalam penelitian ini, digunakan metode analisis “diskriptifâ€. Hasil pelaksanaan P2KP dalam rangka pemberdayaan masyarakat miskin di perkotaan, ditentukan sebagai dependent variable. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pelaksanaan P2KP dalam rangka pemberdayaan masyarakat miskin di perkotaan, ditentukan sebagai independent variable. Kerangka teori penelitian ini dibangun atas konstruk teori peran (role theory), teori kemitraan (partnership theory) dan teori partisipasi (participation theory). Masing-masing variabel dan keterkaitan antar variabel diuji berdasarkan atas ketiga kerangka teori tersebut untuk kemudian dianalisis sesuai dengan relevansi teori terhadap tiap variabel. Ketiga teori kemudian dicari keterkaitannya dengan teori-teori kemiskinan sesuai dengan proporsi kebutuhan analisis. Dalam rangka membangun dan/atau partisipasi masyarakat miskin di dalam proses politik, dan dalam setiap pembuatan keputusan di tingkat lokal, dalam pelaksanaan P2KP dilakukan dengan cara membentuk kelembagaan Forum Musyawarah Tertinggi (FMT). Representasi dari fungsi organisasi masyarakat (ormas) yang secara langsung dapat menyuarakan kebutuhan masyarakat miskin di perkotaan dalam konteks pelaksanaan P2KP, adalah dengan membentuk dan menguatkan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan fungsi lembaga FMT teridentifikasi kurang representatif dalam mewakili aspirasi golongan masyarakat miskin di perkotaan di dalam proses politik di tingkat lokal. Hal ini terjadi karena ada kecenderungan; (a) Bahwa FMT yang terbentuk kurang dapat mencerminkan kriteria dipandang dapat mewakili aspirasi warga miskin, (b) Bahwa FMT yang terbentuk hanya sekedar memenuhi pra-syarat dan/atau pra-kondisi dari pelaksanaan P2KP, dan (c) Bahwa FMT yang terbentuk cenderung memiliki muatan hanya sebagai kelembagaan blue print (cetak biru) dari P2KP. Fungsi lembaga BKM kurang mencerminkan sebagai lembaga yang representatif untuk peningkatan kapasitas masyarakat (capacity function) miskin di perkotaan. Hal ini terjadi karena dalam rangka melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, lembaga Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) menunjukkan gejala-gejala: (a) Ketentuan proyek (P2KP) selalu mendominasi dalam setiap pertimbangan BKM dalam melakukan tugas dan tanggung jawab dalam; keorganisasian, koordinasi terkait, dan pengelolaan dana, sehingga aspirasi masyarakat miskin dari komunitas yang bersangkutan sangat kurang dan/atau tidak pernah menjadi pusat perhatian, (b) Kehendak secara aktif untuk memberdayakan masyarakat miskin di perkotaan, justru malah tidak tampak. Karena unsur BKM tercatat sangat jarang melakukan kegiatan kampanye penyadaran masyarakat secara terus menerus, baik terjadwal maupun tidak terjadwal, dan (c) BKM memegang otoritas penuh dalam pengelolaan dana P2KP dalam suatu kelurahan, dan ternyata dalam pengelolaan keuangannya memberikan kondisi peluang utnuk melakukan praktik-praktik tidak benar. Fungsi lembaga KSM menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut: (a) Sebagian besar merupakan proses pembentukan baru, atau embrionya dari kelompok swadaya masyarakat yang sudah ada pada komunitas masyarakat yang bersangkutan. (b) Bentuk dan/atau jenis KSM yang dibangun lebih banyak menuruti kemauan proyek, (c) Munculnya sikap-sikap oportunis dari para anggota KSM, dimana tujuan tujuan bergabung dengan KSM adalah untuk memperoleh kucuran dana P2KP, (d) Pengikutsertaan peran wanita miskin dalam KSM, dimanifestasikan dalam bentuk perekrutan anggota wanita, dan hal tersebut cenderung sekedar untuk memenuhi kemauan proyek, dan bersifat oportunis. Pelaksanaan fungsi lembaga masyarakat miskin di perkotaan dalam konteks P2KP kurang mampu mengemban misi dalam membangun dan menguatkan kohesi sosial masyarakat miskin. Hal tersebut terjadi karena: (a) Fungsi kelembagaan lebih berfungsi sebagai wadah penyaluran dan/atau penyerapan dana resmi P2KP, (b) Sifat pembentukannya diwarnai oleh oportunisme dari anggota-anggota yang duduk di dalam kelembagaan masyarakat yang bersangkutan, (c) Tidak dapat dikatakan sebagai wadah aspirator masyarakat miskin di perkotaan dalam rangka memberdayakan dirinya keluar dari lingkaran kemiskinan, dan (d) dalam aktivitasnya telah melanggar prinsip pemberdayaan masyarakat miskin, yang mestinya diletakkan pada tataran partisipasi organik (partisipasi tanpa komando), pada kenyataannya menjadi partisipasi mekanik (partisipasi dengan komando). Penelitian ini merekomendasi agar (1) pelaksanaan fungsi kelembagaan masyarakat untuk pemberdayaan kemiskinan di perkotaan, sebaiknya dilakukan melalui lembaga formal (Dewan Kelurahan/Pemda); (2) FMT dan BKM sebaiknya dilebur menjadi KSM, karena lembaga KSM masih dianggap representatif oleh masyarakat, dan (3) pelaksanaaan P2KP sebaiknya dikaji ulang.
This research wants to study the functional implementation of P2KP for empowering the poverty of urban community in DKI Jakarta, and for identifications the factors that can influence activities of such community institution for empowering the urban community poverty in DKI Jakarta. This case study on the “Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)†located in Penjaringan Sub-District of North Jakarta City-DKI Jakarta. Descriptive analysis approach is used for this research. The implementation function of P2KP for empowering the urban poor community is identified as a dependent variable. While the factors that can influences functional activities of P2KP for empowering urban poor community identified as independent variable. The research theory is constructed by a role theory, partnership theory, and participation theory. Each variable and its interrelationships is tested based on the three such theories and furtherly analyzed according to its relevance to each variables. Each theory is related its relevance to poverty theories in line with its anaysis proportion. In mobilizing the community participation in political process, and for making decision on local level in frame of PSKP implementation, it is created Forum Musyawarah Tertinggi (FMT), Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), and Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) as the direct representative institution for P2KP. The result of research shows that FMT does not function well as representative for increasing the social capacity for urban poor community. This seems from: (a) FMT does not represent the poor community aspiration; (b) FMT is only a pre-qualification pre-condition of P2KP, and (3) The formed FMT is merely as a blueprint of P2KP. Function of BKM institution not represent as a community capacity function in implementing the P2KP task and responsibility for : (a) BKM plays function as a oriented project; so that it ignore people aspiration; (b) there is no active willingness to empower the poor community in such as form of poverty alleviation campaign; and (c) the bad management of P2KP funds that it make chance to manipulate of P2KP fund use. The KSM function shows the following characteristics : (a) most member is a new created, and its embryo is derived from community; (b) The most new KSM is created according to project willingness or procedure; (c) the opportunistic attitude of KSM members, where their destination to join KSM is to get P2KP loan; (d) the membership recruitment for women is an opportunistic dimension. The functional implementation of P2KP failed to play mission in building and strengthening social cohesion of poor community is due to : (a) the intritutuonal function tend to serve as absorptive function of project fund; (b) its creation characteristics of an opportunistic membership; (c) it did not identified as aspirator channel to empower the poor community in urban area; (d) its activity has deviated from the social empowerment of poor community for it evolve to mobilize the mechanical participation. This research suggested recommendations: (1) the implementation of community institutional function, should be conducted through formal institution (Dewan Kelurahan/Pemda); (2) FMT and BKM should be better integrated into KSM, because KSM still considered as a representative institution by people; and (3) the P2KP implementation must better evaluated or reviewed in the future.
Kata Kunci : Kebijakan Sosial,Pelaksanaan P2KP,Masyarakat Miskin, Empowering the poverty