Menerima ‘Kepengaturan’ Negara, Membayangkan Kemakmuran: Etnografi Tentang Pemukiman dan Perubahan Sosial Orang Suku Laut di Pulau Bertam, Kepulauan Riau
Khidir Marsanto Prawirosusanto, Prof Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A., M.Phil.
2014 | Tesis | S2 AntropologiTesis ini mendiskusikan alasan-alasan di balik mengapa Orang Suku Laut di Pulau Bertam, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia, memerima ‘kepengaturan’ negara (Foucault 1991) dengan jalan lebih memilih hidup di permukiman yang ditawarkan pemerintah melalui Program Pemukiman di pertengahan tahun 1980an. Di masa itu, Orang Laut dianggap pemerintah sebagai sukubangsa terbelakang, lemah, sekaligus miskin sehingga pemerintah merasa perlu membenahi sendi-sendi kesejahteraan dalam kehidupan mereka. Program pemukiman itu memantik berbagai konsekuensi pada kehidupan seharihari Orang Laut. Mengingat ini, maka wajar ketika saya mengajukan pertanyaan: mengapa sukubangsa pengembara laut ini tetap memilih untuk tinggal di darat daripada kembali menjalani pola kehidupan tradisional mereka sebagai ‘orang sampan’ yang merupakan jati diri mereka? Dalam cara atau proses seperti apa persepsi atau pemaknaan mereka atas pola kehidupan laut ini beralih dan akhirnya mampu beradaptasi dengan pola kehidupan darat? Dalam kasus tesis ini, agaknya jawaban atas sejumlah pertanyaan saya terletak pada hal-hal yang merupakan implikasi-implikasi dari pilihan mereka untuk mengusung ‘identitas baru’: sebagai Orang Bertam. Identitas baru ini tampak dalam berbagai bidang kehidupan mereka. Hubungan sosial tidak lagi dibangun berdasarkan relasi kekerabatan dalam satu sampan, melainkan dari rumah-rumah yang tersusun dalam kampung. Mereka juga tidak lagi menganut sistem kepemimpinan Batin, yang diubah ke Ketua RT. Dengan begini, sejumlah keuntungan bisa mereka peroleh dari pemerintah. Lebih dari itu, menjadi Orang Bertam atau hidup di darat mereka maknai sebagai satu jalan untuk terus meraih keuntungan dari program-program bantuan pemerintah, karena status mereka sebagai nelayan miskin. Itulah mengapa saya berpendapat bahwa dengan menerima kepengaturan negara mereka membayangkan dapat meraih kesejahteraan dan dengan sendirinya mengikis citra negatif yang selama ini melekat pada komunitas Orang Suku Laut ini.
This thesis discusses the reasons why the nomadic sea tribe, Orang Laut, in Riau Islands Province, Indonesia, accepted state governmentality (Foucault 1991) by choosing to live in a land settlement offered by a Resettlement Program in the mid-1980s. In the age of nation-states, the Indonesian government characterised the Orang Laut as an 'isolated and impoverished community', and took it upon itself to improve the community's welfare. The Resettlement Program has had many negative repercussions for the Sea Nomads' everyday lives. Considering these, it only becomes natural to ask why the nomads chose life as land dwellers instead of returning to boat-dwelling and retaining their sea tribe identities. In which ways did their perceptions of the space of boat-dwellers transform so as to adapt to the life of land dwellers? In this Indonesian case study, the answer lies in the implications of the community's political choices to acquire \\"new identities\\": as Orang Bertam. This identities redefinition demonstrated how in relation to their clan association, transformation of the Sea nomads' perception of space as boat-dwellers to one of land-dwellers is quite different from the original government design. They no longer maintain Batin as their traditional leader based on his inherent advantages. Furthermore, to live on land means that they will continue to gain benefits from their \\"new identity\\" as poor fishermen in the form of Resettlement Program aids.
Kata Kunci : Orang Suku Laut, ‘kepengaturan’ negara, pembangunan nasional, program pemukiman, perubahan sosial, budaya maritim.