ISLAM BAJO: CONSTRUCTION AND CONTESTATION OF RELIGIOUS IDENTITY OF THE BAJO PEOPLE IN WAKATOBI ISLANDS, SOUTH EAST SULAWESI
Benny Baskara, Prof. Dr. Irwan Abdullah, Ph.D.
2014 | Disertasi | S3 Agama dan Lintas BudayaSuku Bajo lebih dikenal sebagai suku laut. Dahulu, suku Bajo dikenal sebagai suku pengembara laut, karena mereka hidup nomadik di atas perahuperahu tradisional mereka. Namun, saat ini sebagian besar dari mereka telah hidup menetap. Mereka membangun pemukiman di gugusan karang atau di pantaipantai, namun tetap di atas laut dan bukan di darat. Sebagai suku laut, suku Bajo memiliki kepercayaan asli mereka yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan alam tempat hidupnya. Mereka percaya kepada para penguasa laut, yang mereka sebut sebagai Mbo Ma Dilao. Orang Bajo juga memeluk agama Islam. Oleh karena itu, identitas keagaman orang Bajo adalah perpaduan antara keyakinan Islam dan keyakinan asli mereka kepada para penguasa laut. Penelitian ini berfokus pada proses pembentukan dan pergulatan identitas keagamaan suku Bajo, terutama berkenaan dengan dua masalah utama: bagaimana suku Bajo membentuk identitas keagamaan mereka dalam hubungannya dengan lingkungan alam dan lingkungan sosialnya, serta bagaimana pengaruh dan tantangan dari luar terhadap identitas keagamaan mereka itu dialami dan dihadapi. Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode etnografi. Pengamatan untuk penelitian ini dilakukan pada suku Bajo yang tinggal di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Dalam proses pembentukan identitas keagamaan suku Bajo, lingkungan alam sangat berpengaruh terhadap pembentukan keyakinan asli mereka. Sementara itu, suku Bajo telah memeluk Islam tidak lama setelah Islam masuk ke Nusantara. Pergulatan yang terjadi pada identitas keagamaan suku Bajo antara lain berupa tantangan-tantangan yang terjadi pada keberagamaan orang Bajo, yang bisa dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu: pertama, tantangan dari keislaman dari darat kepada keislaman orang Bajo; kedua, tantangan dari Islam resmi versi pemerintah kepada Islam tradisional Bajo; dan ketiga, tantangan dari proses modernisasi dan globalisasi, terutama berupa komodifikasi terhadap ritual-ritual keagamaan suku Bajo. Respons yang dilakukan oleh suku Bajo terhadap tantangan-tantangan tersebut adalah berupa politik identitas keagamaan, yaitu suatu mekanisme yang berperan untuk menentukan unsur-unsur esensial yang tidak bisa berubah dan unsur-unsur lainnya yang bisa berubah dalam identitas keagamaan suku Bajo, dalam proses pembentukannya yang terus-menerus sehingga lebih adaptif sesuai dengan perkembangan zaman.
The Bajo people are known as the sea people. In the past, the Bajo were known as sea gypsies or sea nomads, because they live nomadic on their traditional boats. However, in recent times, most of them are already settled. They build their settlements in shores or atolls, but still on the water, and not on the land. As the sea people, the Bajo have their indigenous belief that is strongly shaped by their natural environment. They believe in Lord of the sea, whom they called Mbo Ma Dilao. The Bajo also acknowledge themselves as Muslim. With this acknowledgement, therefore, the religious identity of the Bajo is a combination between Islamic belief and their indigenous belief. This research focuses on the process of construction and contestation of the Bajo religious identity, especially on two main problems: how do the Bajo construct their religious identity in relation to their natural and social environment and how external influences and challenges to their religious identity are experienced and responded. The method applied for this research is ethnographic method. The observation for this research focuses on the Bajo who live in Wakatobi Islands, Southeast Sulawesi, Indonesia. In the process of construction their religious identity, natural environment is very crucial in the construction of their indigenous belief. Meanwhile, the Bajo were already embraced Islam at the time Islam came to Nusantara archipelago. The contestation to the religious identity of the Bajo are challenges to their religiosity, which can be categorized into three forms: first, challenges from Islam coming from the land to Islamic belief of the Bajo; second, challenges from official Islam from the government to traditional Islam of the Bajo; and third, challenges from modernization and globalization, especially in the form of commodification of Bajo religious rituals. The general response of the Bajo is by applying their politics of identity, as a mechanism to determine what are essential elements that cannot be changed and what are other elements that can be changed in their religious identity, in its continuous process of construction toward the more adaptive form to meet challenges from recent development.
Kata Kunci : Bajo, Identitas keagamaan, Islam, Wakatobi