Pemakaian bahasa Melayu Ternate di Ternate :: Kajian sosiolinguistik
PATTY, Sarjan, Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo
2010 | Tesis | S2 LinguistikPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ciri-ciri kebahasaan varian Melayu Ternate dalam tataran fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan mekanisme pemakaian Melayu Ternate di dalam ranah keluarga, serta mengidentifikasi faktor-faktor linguistik dan ekstralinguistik terhadap dominasi dan perluasan Melayu Ternate dalam pemakaiannya. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. Data diambil melalui inventarisasi kosa kata, rekaman percakapan, dan pengisian lembar pengamatan dan kuesioner pilihan bahasa dari 60 responden yang berada pada dua kelurahan. Hasil penelitian ini dari aspek kebahasaan, pada tataran fonologi ditemukan, varian Melayu Ternate terjadi beberapa ciri perubahan fonem berupa pergeseran vokal tertentu ke lingkungan vokal terdekat seperti /e/-/u/>/a/-/o/~u/; /i/>/e/ dari gloss Indonesia ke Melayu Ternate. Muncul vokal /a/, /u/, dan /o/ yang beroposisi fonemis dengan vokal berciri suprasegmental berupa tekanan atau nada panjang, seperti: /Ä/, /Å«/, dan /Å/. Selain itu juga, vokal rangkap diftong cenderung difusikan menjadi monoftong, seperti: /ai/>/e/; dan /au/>/o/~/u/. Sementara konsonan /p/, /t/, /k/, /h/, dan /l/ berpeluang zero dalam posisi akhir kata maupun awal dan tengah kata, terutama bagi fonem /h/, akibat pengaruh alih tekanan berupa lenisi dan fortisi karena adaptasi cara ucap. Fonem nasal /m/ dan /n/ dalam posisi akhir cenderung menjadi nasal /Å‹/. Secara morfologis, afiks-afiks yang muncul hanya berupa prefiks, yakni: {ma-}, {ba-}, {ta-}, {baku} sebagai afiks pembentuk verba, dan {pa-} sebagai afiks pembentuk nomina. Ciri khas sintaktis yang ditemukan, yakni kalimat posesif dibentuk dengan ‘punya/pe’, kalimat aktif transitif-instransitif dibentuk dengan penanda ‘kase’, dan kalimat pasif dibentuk dengan penanda ‘dapa’ atau ‘kanÄ’. Kalimat yang dibentuk dengan frasa berpola urutan AN (ajektiva-nomina) seperti ‘sakit gigi’ dan ‘sakit kepala’ menjadi NA (nomina-ajektiva), yakni ‘gigi sake’ dan ‘kapala sake’. Pada tataran leksikon terdapat pasangan leksikon bersaing antara leksikon unsur Melayu dan leksikon unsur lokal yang di-Melayu-kan. Hal itu tampak dalam penggunaan leksikon pronomina persona. Ciri lain yang menonjol adalah muncul gejala kontraksi berupa pemendekan leksikon dalam pemakaian. Peristiwa alih kode maupun campur kode antara kode selalu muncul dalam percakapan. Alih kode atau campur dari Melayu Ternate ke bahasa Ternate atau dengan kode formal dan kode Melayu yang lain. Alih kode dan campur kode muncul secara situasional maupun nonsituasional. Disesuaikan dengan mitra tutur, situasi, tempat, dan hal yang dibicarakan. Alih kode atau campur kode terjadi dalam bentuk intrakalimat dan antarkalimat. Fungsi-fungsi alih kode itu sesuai dengan maksud dan kehendak tutur tiap partisipan tutur. Dominan dan meluasnya penggunaan bahasa Melayu Ternate ikut didukung oleh sejumlah faktor, di antara sejumlah faktor itu, ada yang berupa faktor linguistik dan ada yang berupa faktor ekstralinguistik. Faktor linguistik antara lain karena pertimbangan praktis, bahasa keagamaan dan pendidikan, dan bahasa berprestise. Sedangkan faktor ekstralinguistik karena pengaruh kondisi demografis, interaksi sosial, dan bagaimana sikap atau pandangan kebahasan penutur terhadap bahasa Melayu Ternate dan bahasa Ternate.
This study is aimed to describing the linguistic characteristics of the Ternates Malay of variant in the level of phonology, morhpology, syntax, lexicon, and the mechanism of Ternates Malay usage in the domain of familiy, and to identify the linguistic factors and extralinguistic toward the domination and expansion of Ternate Malay in its use. This research is a descriptive-qualitatif research. Data are retrived through the inventory of vocabulary, conversation recording, and filling the observation sheets and questionnaires from 60 respondent in two villages. The results of the linguistics aspects of phonology were found that the Ternate Malaies variant occurred in several characteristics of phonogical changed from a particular vowels shift to the nearest vowel environment such as /e/-/u/ > /a/- /o/~/u/; /i/>/e/ from the bahasa Indonesia gloss to the bahasa Melayu Ternate. The pair phonemes opposition of vowel /a/, /u/, and /o/ in the tone long vowels /Ä/, /Å«/, and /Å/ appeared. Like that the double vowel diphtongs experienced fusion into monophtong, ie: /ai/>/e/; and /au/>/o/~/u/. The consonants /p/, /t/, /k/, /h/, and /l/ had an opportunity to be ‘zero’ in word-final position or at the beginning and midle of a word for the phoneme /h/, due to stress switching of fortition and lenition. The nasal phonemes /m/ and /n/ in final position tent to be a nasal /Å‹/. The Morphologically aspect, the affixes that appear just a prefix, ie: {ma-}, {ba-}, {ta-}, {baku-} as a verbforming affixes, and {pa-} as noun-forming affixes. Syntactic characteristic is also that found, the possessive sentences is formed with ‘punya’/‘pe’, active transitive-intransitif sentences was formed by markers ‘kase’, and the passive voice was formed by labels ‘dapa’ or ‘kanÄ’. The sentence by pattern of phrase sequence AN (adjective-noun) as ‘sakit gigi’ and ‘sakit kepala’ will be NA (noun-adjective), ie: ‘gigi sakit’ and ‘kepala sakit’. In the lexicon level, there were a pairs of lexicon that competed between lexicon Malays and the local wich had Malaied. This was apparent in use of pronouns. The other prominent characteristic was the apparent of shortening the lexicon in use. The events over the code swicthing or code mixing always appear in conversations from the Ternate Malays code to the Ternate language or a formal code of Malays and the other codes. Code switching and code mixing came up with the situation and nonsituasional adjusted with partners, situation, setting or social context of the interaction, and what was being talked about. The code switching or code mixing are both codes occur in the form of intra-sentences and trans-sentences. The functions of choices or code switching was in accordance with the sense and will of participant. The domination and widespread usage of the Ternate Malay was supported by a number of some factors, both of a linguistic and extralinguistic. Linguistic factor dued to practical considerations, relegious language and education, and prestigious language. While the factors that influence extralinguistic were demographic conditions, social-interaction, and attitudes or speaker’s point of views towards the Ternate Malay and the Ternate language.
Kata Kunci : Bahasa Melayu Ternate,Ternate,Kajian Sosiolinguistik, The use of Ternate Malay, in Ternate, Sociolinguistic Studies