Laporkan Masalah

Ada apa dengan kekerasan? :: Dari Tuban, amuk massa setelah Pilkadasung 2006

JAUHAR, Najid, Drs. Haryanto, MA

2007 | Tesis | S2 Ilmu Politik

Seringkali kita dikejutkan oleh berbagai aksi kekerasan yang mengancam kehidupan kita sehari-hari. Seolah-olah kita telah kehilangan rasa kemanusiaan dan kemampuan mengendalikan diri secara individual dan kolektif. Situasi ini menjadi sangat ironis ketika stereotype yang selama ini dominan dan mengakar bahwa bangsa kita adalah bangsa yang ramah, santun, religius yang selama ini kita banggakan, sungguh mengherankan, begitu mendadak, bagian-bagian dari bangsa ini menjadi beringas. Fenomena tersebut bahkan muncul dalam berbagai arena demokrasi menyeruak ditengah iklim reformasi, termasuk dalam pilkadasung di Tuban Jawa Timur. Sehingga, Pemerintah propinsi Jawa Timur memasukkan kasus Tuban kedalam tiga masalah besar Jawa Timur saat ini selain masalah pendidikan dan Lumpur Lapindo. Sebagaimana diketahui, aksi kekerasan tersebut di picu oleh pengumuman hasil perolehan suara Pilkadasung 2006 yang memenangkan salah satu calon yang diajukan partai tertentu. Massa yang tidak puas menduga kemenangan itu dilalui dengan berbagai kecurangan sehingga calon bupati pilihan mereka kalah, sehingga mereka emosi dan melampiaskan kemarahan mereka dengan melakukan aksi kekerasan berupa pembakaran dan pengrusakan. Yang menjadi pertanyaan adalah Apakah kekerasan yang muncul di Tuban merupakan persoalan pilkada ansich yang didasarkan pada tiga peta kekuatan politik utama di Tuban yaitu Golkar, PDIP dan PKB. Padahal, mestinya kerusuhan dan kekerasan akan pecah dan eskalasinya lebih massif setelah pemilu legislatif lalu yang memenangkan partai Golkar.,atau pada pilkada 2001 yang mengantarkan Haeny Relawati yang juga diusung Partai golkar menjadi Bupati periode 2001-2006, mengalahkan pasangan Noor Nahar-Slamet Soesilo yang dicalonkan PDIP dan PKB. Jika ini hanya permasalahan pilkada, katakanlah ketidakadilan KPU sebagai wasit, mengapa tidak terjadi di Depok? Dan mengapa kerusakan dan pembakaran tidak hanya ditimpakan kepada KPU (saja) di Tuban? Atau seperti yang terjadi di Aceh Tengah belum lama ini, ketika Pilkada di daerah tersebut dinilai telah gagal dan munculnya tuntutan pilkada ulang sampai memunculkan kekerasan berupa pengrusakan dan pembakaran kantor KIP (Komisi Independen Pemilihan) Aceh Tengah saja, tidak sebagaimana yang terjadi di Tuban yang dibakar dan dirusak tidak hanya kantor KPU tetapi sangat massif. Oleh karena itu muncul pertanyaan Ada apa dengan kekerasan di Tuban Adakah persoalan lain yang tidak nampak? Metode penelitian ini deskriptif kualitatif-analitif, berdasarkan jenis ini, penulis berusaha membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat dengan dukungan data dari interview dengan actor-aktor kunci dan masyarakat Tuban serta dari berbagai sumber lain yang menjelaskan kerusuhan dan kekerasan kolektif tersebut kemudian dianalisis dengan rangka teori yang relevan sehingga menghasilkan simpulan ilmiah. Dalam tradisi teoritik-akademis tentang kekerasan, teradapat tiga kiblat pandangan yang menjelaskan fenomena tersebut, yaitu kekerasan sebagai tindakan aktor, produk struktur dan jejajaring antara actor dan struktur. Untuk memahami sebuah fenomena kekerasan perlu dipilah antara faktor kondisi dan pemicu..Faktor kondisi atau penyebab meliputi kondisi sosial, kultural, psikologi, ekonomi dan politik bagi munculnya ketidakpuasan, kekecewaan, frustasi, sementara pemicu yang merupakan kejadian aktual dan kasat mata yang sekedar meletupkan ketidakpuasan itu menjadi kerusuhan massal. Bentuk kekerasan yang terjadi di Tuban adalah spiral kekerasan, kekerasan langsung merupakan akibat dari kekerasan tidak langsung (struktural), kekerasan merupakan produk struktur, karena akumulasi kekecewaan ditingakat massa dan elite yang terhalang potensinya secara wajar oleh struktur. Spiral kekerasan tersebut mensyaratkan adanya empat komponen utama yaitu kondisi structural, factor pemicu berupa even politik, social cleavelage dan identitas kolektif serta faktor agensi berupa kalkulasi dan mobilisasi elite. Keempat komponen tersebut berjalin kelindan membentuk sebuah rantai kekerasan yang memproduksi kekerasan kolektif (langsung). Sehingga proses pilkada dan berbagai alasan yang terkait didalamnya, hanyalah menjadi pemicu bagi munculnya kekerasan langsung.

Oftentimes we are surprised by various action of violence menacing our life everyday. As if we were loss sense of humanity and self control as individually and collective. This situation become very ironic when dominant stereotype which during the time and grow on that our nation is friendly, decent, religious nation which during the time we pride upon, really surprise, sudden so, parts of from this nation become wild. That phenomenon even emerge in so many democratic arena, emerge in the middle of reform climate, included in direct election (pilkadasung) in Tuban, East Java. So that, Government of Province of East Java include case of Tuban into three big problem of East Java in this time besides problem of education and Mud Lapindo. As known, that action of violence triggered by announcement of result of acquirement voice Pilkadasung 2006 winning one of candidate raised by a certain party. disgruntled mass suppose that victory is passed by with various insincerity so that the candidate regent of their choice fail, so that they angry and wreak their enragement by action of violence in the form of combustion and ruining. Becoming question is what violence which appear in Tuban represent problem pilkada ansich which is relied on political map in Tuban that is Golkar, PDIP And PKB. Though, must it riot and violence will break and more massif escalation after legislative general election then winning Party Golkar, or[at pilkada 2001 squiring Haeny Relawati who is also carried by Party Golkar become Bupati period 2001-2006, defeating couple Noor Nahar-Slamet Soesilo nominated by PDIP and PKB. If this only pilkada’s problem, such as unfairness of KPU (General Election Comissions) as referee, why was not happened in Depok? And why the combustion and damage is not only thrusted upon only to KPU in Tuban? such as those which happened in Middle Aceh not yet this old, when Pilkada in this region was failed and appearance pilkada again (repeat) and violence in the form combustion and ruining KIP ( Independent Commission [of] Election)’s office Middle Aceh only, do not as that happened in Tuban burned and destroyed do not only KPU office but very massif. Therefore emerge a question what happen with violence in Tuban? Is there any other dissimilar problem which not looked? The method of this Research is descriptive of kualitative-analitive pursuant to this type of, writer try to make deskripton systematically, factual and accurate with support of data from interview by key actors and Tuban’s society and also from various other dissimilar source explaining that collective violence then that data are analysed with frame of relevant theory so that produce scientific conclucion. In theoretical tradition about violence there are three direction of view explaining this phenomenon, there are violence as actor action, product of structure and the net between actor and structure. To understand a phenomenon of violence is needed to be devided between a factor of condition and precipitation. Factor of condition or cause cover social condition, cultural, psychology, political and economic for appearance disappointment, frustation, where as precipitation representing occurence of actual and obvious which is simply exploding that disappointmrnt become the riot. The form of collective violence that happened in Tuban is spiral violence, direct violence represent the effect of indirect violence (structural violence), The violence represent product of structure, because of accumulation of mass and elite disappointment that blocked their potention by structure. Spiral of the violence require existence four especial component that is condition structural, precipitation factor in the form of political even, social cleavelage and collective identity and also agensi factor in the form of calculation and mobilization of political elites. The fourth of that component interweave form a enchaining the violence producing collective violence (direct violence). So that process of pilkada and various related reason in it, only become precipitation for appearance of direct violence.

Kata Kunci : Pemilihan Kepala Daerah Langsung,Kekerasan,Structural Violence, Diret violence, Diret Election of Head District (pilkadasung), Social Cleavelage, Condition and Precipitation, accumulation pf disappoinment, calculation and mobilization, spiral of violence


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.