Konflik pembebasan tanah untuk rencana pembangunan Bandara Internasional di Kabupaten Lombok tengah
SARJAN, Muhamad, Ir. Leksono Probosubanu, MURP.,Ph.D
2006 | Tesis | Magister Perencanaan Kota dan DaerahTanah pertanian yang subur terletak Desa Tanak Awu Kecamatan Pujut dan Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Kabupaten Lombok Tengah Propinsi Nusa Tenggara Barat dialihfungsikan menjadi bandara untuk menunjang pembangunan ekonomi didaerah ini. Tetapi pembangunan bandara menuai kontroversi yakni penolakan oleh masyarakat eks pemilik tanah. Isu utama penolakan adalah proses pembebasan tanah yang belum selesai. Konflik pun tidak bisa terhindari. Upayaupaya penyelesaian sudah dilakukan tetapi tidak menuai hasil Tujuan penelitian ini adalah mendiskripsikan tentang akar, proses konflik terhadap rencana pembangunan serta mengetahui keterkaitan antara latar belakang, motivasi dan interest para pelaku konflik dengan persepsinya terhadap proses pembebsan tanah untuk rencana pembangunan bandara. Penelitian dilakukan secara induktif dengan metode kualitatif naturalistik yang berlandaskan paradigma phenomenologi Hasil penelitian ditemukan bahwa adanya pergeseran atau evolusi konflik setiap periodenya. Dari awalnya pelaku konflik adalah masyarakat eks pemilik tanah dengan pemerintah daerah, kemudian bergeser menjadi konflik antar elit serta konflik antara masyarakat pro dengan kontra bandara. Hal ini disebabkan oleh penundaan pembangunan dalam jangka waktu sangat lama (sebelas tahun), yang memberikan ruang bagi masyarakat atau pihak lain memanfaatkan situasi melakukan penolakan dengan berbagai macam dalih. Adapun yang menjadi akar konflik adalah (1) Perbedaan penilaian terhadap proses pembebasan tanah, (2) Perubaan fungsi lahan, (3) Ketidakpastian pembangunan bandara, (4) Kehilangan mata pencaharian dan (5) Keterlibatan pihak luar. Jenis konflik bersifat vertikal dan horisontal dengan intensitas sudah sampai manifes dengan kekerasan. Wujud konfliknya adalah pengusiran paksa petani dari tanah bandara, pelarangan penggarapan tanah bandara, penembakan petani dan penangkapan serta intimidasi kepada petani Upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik adalah (1) negosiasi. (2) pemberdayaan masyarakat setempat (3) pemberian tali asih dan (4) pendekatan hukum. Sementara tindakan represif dan penangkapan hanya untuk mengurangi jumlah masyarakat yang menolak pembangunan bandara.
Fertile agricultural land in Tanak Awu village of Pujut sub-district and Penujak village of Praya Barat sub-district is planned tobe transformed into an international airport to support the economic development in this region. However, the airport development raises controversy, namely rejection by the former owners of the land. The main issue of their rejection is the unsettled process of land acquisition. An open conflict is inevitable. Efforts to settle this conflict have been made but failed. The research aims to describe the root cause, and the process of conflict in the airport development planning and to investigate the relationship between the actors’ back-ground, motivation, and interests and their perception toward the process of land acquisition for the airport development. It applies inductive method and naturalistic-qualitative method based on the phenomenological paradigm. The research results show a shift or evolution of the conflict according to its periods. At the beginning, the actors in the conflict are former owners of the land against the regional government. It then shifted into a conflict between elites and between the pro and con groups. The shift of conflict results from a long delay of the development (almost 11 years) such that it gives room for the society or any party to exploit the situation by demonstrating rejection with different arguments. The roots of the conflict are; (1) difference in the perspectives toward the process of land acquisition (2) change of land use, (3) uncertainty of the airport development, (4) loss of livelihood, (5) interference of outsiders. The conflict is both vertical and horizontal, and it has intensified into violence. The conflict shapes into expulsion of farmers from airport-designated land, prohibition for cultivation on the land, shooting and arrest and intimidation against farmers. The efforts to settle the conflict include: (1) negotiation, (2) local community empowerment, (3) giving of compensation, and (4) legal measure. Some repressive acts and arrest are intended only to reduce the number of people rejecting the airport development.
Kata Kunci : Pembangunan Bandara,Pembebasan Tanah,Konflik, land acquisition, time, conflict, conflict resolution