Laporkan Masalah

Regenerasi dan reproduksi kekerasan :: Kaian atas konflik dua desa di Wonosobo

UTANTO, Yuli, Drs. Lambang Trijono, MA

2005 | Tesis | S2 Sosiologi (Studi Pembangunan)

Konflik yang berbentuk kekerasan fisik merupakan bagian dari sejarah peradaban manusia. Pertarungan kebenaran satu melawan kebenaran lain menurut persepsi mereka-pun tak terelakkan. Konflik kekerasan fisik yang terjadi di Kabupaten Wonosobo diwarnai oleh perseteruan antara dua desa, yakni; Binangun dan Kalianget. Konflik terjadi karena penduduk dari kedua desa tersebut memiliki “arena” mencari nafkah ditempat yang sama di terminal pasar induk Wonosobo, yakni; sama-sama sebagai kusir dokar yang mendulang rupiah dari jasa angkutan manggunakan andong antar tempat dalam kota. Dalam upaya mengumpulkan rupiah untuk menopang kebutuhan hidupnya, para kusir dokar dari kedua desa berebut penumpang yang memanfaatkan jasanya. Konflik kecil gara-gara berebut penumpang itu pada perkembangannya memicu konflik yang lebih besar disertai tindak kekerasan antara penduduk. Karena pekerjaan sebagai kusir dokar diwariskan kepada anak-cucu mereka maka konflik kekerasanpun turut diwariskan pula. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analitis, dengan paradigma fenomenologi. Lokasi penelitian berada di desa Binangun dan Kalianget, dimana merupakan daerah rawan konflik kekerasan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Penentuan informan, dilakukan dengan teknik snow balling, dimana untuk mendapatkan informasi peneliti memulai dari informan yang samar, kemudian ditelusuri sampai menemukan informan kunci. Wawancara dan observasi digunakan sebagai data primer. Data sekunder diperoleh melalui dokumentasi. Data yang sudah terkumpul, kemudian direduksi, disajikan, disimpulkan, dan diverivikasi. Hasil dari penelitian memperlihatkan bahwa hakekatnya konflik dan regenerasi kekerasan adalah: 1) Konflik kekerasan Binangun dan Kalianget telah berlangsung turun-temurun sejak dahulu di Wonosobo, dimana proses regenerasi kekerasan dalam konflik tersebut pada hakekatnya adalah institusionalisasi kekerasan yang memiliki keterkaitan erat dengan faktor-faktor kultural, struktur sosial, kondisi sosial-ekonomi, agama dan pendidikan. 2) Konflik sebagai institusionalisasi kekerasan, secara historis telah terjadi sejak tahun 1950-an yang juga tidak terlepas dari faktor-faktor politik, yakni; melemahnya otoritas pemerintah daerah mengontrol teritori-teritori sumber pemicu kekerasan. 3) Konflik kekerasan mencerminkan kekurangmampuan para pelaku mengekspresikan keluhuran budi bahasanya oleh karena mereka mengedepankan perilaku-perilaku agresif secara fisik untuk menghancurkan orang-orang yang dianggap sebagai musuh, dimana meski perkelahian berhenti namun permusuhan tak berhenti. 4) Tindak kekerasan mereka bukan semata-mata ingin mendapatkan keuntungan materi, melainkan menegaskan jati-diri dan identitas, bahwa mareka adalah kelompok yang patut mendapatkan privelese dalam struktur sosial masyarakat. 5) Konflik antar kampung dan regenerasi kekerasan dipandang oleh sebagian pelakunya sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan (means of power). 6) Konflik kekerasan bagi para pelakunya dimaknai sebagai alat untuk mengkomunikasikan simbol-simbol tentang sikap dan perilaku kekerasan pada lingkungan sosial dan lingkungan masyarakatnya, yakni; sarana penegasan kultur dan identitas kelompok. 7) Pelaku tindak kekerasan sengaja dan penuh rasa bangga merawat benda-benda tajam yang akan digunakan jika suatu saat terjadi konflik antara kampung dan upaya “ngisi awak” agar kebal dari senjata tajam. Proses rentang waktu yang panjang itu kemudian mengkondisikan orang-orang Binangun dan Kalianget seakan-akan tidak mampu mencari opsi dan memilih alternatif lain dalam upaya mencari solusi ketika mereka sedang mengalami konflik kecuali melakukan tidak kekerasan yang dianggap lebih memenuhi kebutuhan rasa keadilan bagi mereka.

Conflict which is the in form of physical violence represent the part history of human being civilization. Truth contention one other; dissimilar fight the truth according to unavoidable their perception. Conflict with physical violence that happened in Regency of Wonosobo coloured by animus between two village, that is; Binangun and Kalianget. Conflict happened because resident from second of the village own the earn life same place in the terminal of market mains Wonosobo, that is; both of the same as Sais (kusir dokar) which wash raw-gold the rupiah from transport service by buggy usher space in town. In the effort collecting rupiah to sustain the his life requirement, all Sais from the second scrambling village of passenger using its service. Small conflict of scrambling couse of that passenger its growth trigger the conflict of larger ones accompanied to act the violence between resident. Because work as Sais bequeathed to their childrens and grandchildrens hence conflict of violence partake endowed to. Research type used by descriptive-analytic, with the phenomenology paradigm. Research location reside in the village of Binangun and Kalianget, where representing area of gristle of violence conflict. Technique of data collecting conducted by through interview, observation, and documentation. Informan determination, conducted with the technique of snow balling, where to get the researcher information start from hazy informan; then traced find the key informan. Interview and observation used a primary of data. The data secunder obtained through documentation. The gathered data, then reduced, presented, concluded, and verivicated. Result from research show that its essence of conflict and violence genaration is; 1) the conflict of violence in Binangun and Kalianget have taken place by generations since ahead in Wonosobo, where process of violence generation in the conflict intrinsically is institusionalisation of violence owning related sliver with the cultural factors, social structure, condition of socio-economi, religion and education. 2) Conflict as institusionalisation of violence, historically have been happened since year 1950 which nor quit of political factors, that is; it’s authority of local government control the teritoris of source of violence. 3) The violence of conflict mirror the anable to of all perpetrator express august its etiquette because of they place forward the aggresive behaviors in physical to break the people who considered to be enemy, where even fight desist but hostility don’t desist. 4) Act their violence non solely wish to get the adventage items, but affirm the spirit and identity, that their proper group get the privelese in social structure of society. 5) Conflict usher the village and regeneration of violence looked into by some of its perpetrator as a means to obtain;get the power (means of power). 6) The Violence of conflict to all its perpetrator is meant as a means of to communicate the symbol about attitude and violence behavior at social environment and its society environment, that is; coherent medium of culture and group identity. 7) Perpetrator act the violence intend and full of pride take care of the keen object to be used in a moment happened by the conflict of two village and strive the "ngisi awak" be impenetrable from cold steel. The process to span that long time, then condition of people of Binangun and Kalianget will unable to look for the opsion and chosen the other dissimilar alternative in the effort searching solution when medium them experience of the conflict except doing violence do assumed more fulfilling requirement sense of justice for them.

Kata Kunci : Konflik,Regenerasi dan Reproduksi Kekerasan, Regeneration, Reproduction, Conflik, and Violence


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.