Laporkan Masalah

Resistensi masyarakat adat Wana terhadap implementasi kebijakan resettlement :: Studi kasus masyarakat Adat Wana di Cagar Alam Morowali, Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah

MARUNDUH, Kary Marjuni, Drs. Haryanto, MA

2004 | Tesis | S2 Ilmu Politik

Sejak tahun 1990-an, relasi antara masyarakat adat dengan pemerintah telah mengalami pergeseran karakter dalam pola hubungnan. Pergeseran karakter pola hubungan tersebut terjadi dari pola hubungan yang bersifat harmoni-dominasi ke hubungan yang bersifat konfliktual. Hubungan yang bersifat konfliktual itu nampak pada semakin kuatnya ketegangan yang melibatkan masyarakat adat dengan pemerintah (atas nama negara), bahkan konflik itu juga merambah pada kalangan pemilik modal (kapital). Fenomena resistensi masyarakat adat Wana terhadap kebijakan resettlement, khususnya mereka yang bermukim di kawasan konservasi Cagar Alam Morowali adalah fenomena yang khas dalam pembicaraan mengenai masyarakaat adat. Rangkaian kebijakan resettlement menunjukkan ciri khas klasik kebijakan yang secara umum diambil oleh kalangan birokrasi. Artinya, kebijakan resettlement baik secara content (isi) maupun context (konteks) tidak sesuai dengan kondisi masyarakat adat Wana. Implementasi kebijakan resettlement yang tidak mengidahkan tatanan norma, nilai serta adat istiadat masyarakat adat Wana merupakan awal dari resistensi masyarakat adat Wana itu sendiri. Implementasi yang memusatkan pada kekuatan birokrasi tenyata juga memperlihatkan ciri khas kepongahan birokrasi. Isi kebijakan yang tidak dipahami oleh implementor kebijakan ini dapat dilihat dari beberapa sisi. Pertama, sisi koordinasi dan sosialisasi kebijakan. Kedua, sisi rendahnya kualitas maupun kuantitas komunikasi kebijakan. Ketiga, rendahnya tingkat kepatuhan para implementor kebijakan. Secara khusus bagi Masyarakat Adat Wana (MAW), kebijakan reselltlement bukanlah hal yang baru. Kebijakan resettlement telah dilakukan beberapa kali, namun hasilnya hingga sekarang kebijakan tersebut gagal total. Rangkaian kegagalan kebijakan ini tentu saja harus menjadi renungan bagi policy-maker yang nota bene memiliki yuridiksi atas masyarakatnya. Resistensi masyarakat adat Wana secara garis besar dilakukan melalui 2 (dua) ranah, yaitu : Pertama, resistensi budaya. Dalam resistensi budaya, umumnya masyarakat adat Wana menggunakan kekuatan melalui budaya tutur, mitos, dan sekian banyak rangkaian ritual, khususnya ritual kematian. Resistensi budaya masyarakat adat Wana ini mengindikasikan bahwa budaya merupakan suatu hal yang dapat dikondisikan serta merupakan respon perlawanan terhadap ancaman bagi eksistensi masyarakat adat Wana, khususnya mereka yang hidup dalam kawasan Cagar Alam Morowali. Kedua, resistensi masyarakat adat secara politik. Resistensi ini umumnya diarahkan untuk merubah perpektif masyarakat maupun implementor kebijakan (pemerintah) tentang masyarakat adat Wana. Sebab, adanya perpektif yang keliru terhadap masyarakat adat Wana mengakibatkan kebijakan resettlement tidak sesuai dengan konteks mereka. Sisi lain, resistensi politik juga diarahkan pada adanya kejelasan status mereka dan status cagar alam. Harus dipahami bahwa status yang melekat pada masyarakat adat Wana mengakibatkan pemerintah cenderung menempatkan diri sebagai dewa penolong bagi mereka. Artinya dengan status masyarakat adat, maka untuk mengangkat eksistensi mereka salah satunya diadakanlah kebijakan resettlement itu. Asumsinya, dengan dimukimkan kembali maka masyarakat adat Wana akan lebih manusiawi. Status cagar alam bagi lokasi hunian mereka pun menjadi ajang perlawanan masyarakat adat Wana. Berdasarkan kebijakan kawasan konservasi, maka cagar alam merupakan kawasan konservasi yang bebas huni dan bebas pengelolaan. Resistensi masyarakat adat Wana diarahkan pada perubahan status cagar alam menjadi taman nasional.

Since 1990s, the relation between traditional people and government had experienced a character changing in relational pattern. The character changing of relational pattern is from harmony-domination relationship toward conflicting relationship. The conflicting relationship can be found in the higher tension between traditional people and the government (in the name of nation), moreover, the conflicts also spread to the capital holder. The phenomena of resistance in Wana traditional people to the resettlement policy, especially for them who live in the area of conservation of Cagar Alam Morowali (Morowali Natural Preserve), is a special phenomena in the discussion of traditional people. The series of resettlement case shows a classical characteristic of policy that generally taken by bureaucracy. It means that resettlement policy, both in content and context, is not appropriate with the condition of Wana Traditional People. Policy implementation ignoring norm institution, value and Wana tradition is the beginning of the Wana people’s resistance. Implementation focusing on bureaucracy’s power also shows special bureaucracy’s arrogance. The content of the policy that is not understood by the implementer of the policy can be viewed from some point of views. Firstly, the socialization of coordination and policy point of view. Secondly, low quality and quantity communicating the policy point of view. Thirdly, low-level obedience to the policy implementer. Specifically for Wana Traditional People/Masyarakat Adat Wana (MAW) resettlement policy is not a new one. Resettlement policy has been performed some times before, but the result is totally failed. The failure series of the policy, of course, must be a reflection for the policy-maker that clearly have the jurisdiction of its people. Wana Traditional People’s resistance was generally performed through 2 (two) domains: Firstly, cultural resistance. In this kind of resistance, generally, Wana Traditional People uses the power of spoken-culture, myth, and other various ritual settings, especially, death ritual. Wana Traditional People’s resistance indicates that culture can be conditioned and also a fighting response to the threatening for the existence of Wana Traditional People, especially they who live in the area of Morowali Natural Preserve. Secondly, political resistance of traditional people. This kind of resistance is generally made for changing the perspective of the people and implementer of the policy (the government) on Wana Traditional People. The wrong perspective on Wana Traditional People makes the resettlement policy not appropriate to their contexts. In other side, political resistance is also directed to a clear condition for their status and the status of the natural preserve. It must be understood that status had by Wana Traditional People made the government tend to place its position as a god helping them. Since the status of traditional people, to promote their existences can be done through resettlement policy. The assumption is that by the resettlement policy Wana people will be more humane. The status of natural xvii preserve for their settlement area will be an area of fighting by the Wana traditional people. Based on the policy of conservation area, natural preserve is a free-settling conservation and free-managing area. Wana traditional people resistance is directed to the status changing of natural preserve to be national park.

Kata Kunci : Resistensi, budaya, politik, resettlement, Resistance, culture, policy, resettlement


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.