Permasalahan umum yang dihadapi dalam pengelolaan sampah adalah berkaitan dengan budaya masyarakat yang belum ramah lingkungan, penegakan hukum yang belum optimal, laju volume sampah yang terus meningkat, keterbatasan lahan pembuangan sampah, serta keterbatasan teknologi yang dimiliki dalam pengelolaan sampah, membuat permasalahan sampah tidak kunjung menemukan solusi yang tepat. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bantul, di mana secara topografis Kabupaten Bantul berada di daerah sub stream dan sub urban, dengan kepadatan penduduk 913.312 juta jiwa dengan jumlah sampah 1.937,26 m3 per hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana respons masyarakat dan respons pemerintah daerah Kabupaten Bantul terhadap permasalahan sampah, serta bagaimana jejaring komunikasi yang terbentuk di antara dua sistem tersebut. Penulis berusaha menganalisis melalui teori Komunikasi Ekologis, Ekoliterasi, dan Komunkasi Partisipasi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menganalisis data. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bantul dengan subyek penelitian masyarakat yang tergabung dalam Jejaring Pengelolaan Sampah Mandiri (JPSM) AMOR serta Dinas Lingkungan Hidup sebagai representasi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan obsetvasi, wawancara mendalam, serta focus group discussion. Temuan penelitian menunjukkan bahwa masyarakat merespons permasalahan sampah melalui aspek kelembagaan, aktivitas komunikasi, dan sosial budaya. Aktivitas kelembagaan ditandai dengan terbentuknya kelompok- kelompok pengelolaan sampah mandiri, aktivitas komunikasi literasi sampah dilakukan melalui berbagai pola seperti komunikasi gethok tular, komunikasi menggunakan media, dan komunikasi pemasaran sosial, sedangkan respons pemerintah lebih kepada penyusunan regulasi, pembinaan secara formal dan informal, dan penyediaan sarana dan prasarana. Autopoeisis (upaya mengembangkan diri) lebih kuat terjadi pada sistem masyarakat, masyarakat secara informal lebih cepat merespons masalah lingkungan dengan kemampuan yang dimiliki seperti modal sosial dan kearifan lokal, seperti yang terjadi di Kabupaten Bantul pasca pemulihan akibat bencana gempa bumi tahun 2006. Jejaring komunikasi dalam pengelolaan sampah terbentuk melalui jaringan internal dan eksternal baik secara formal maupun informal.

The general issues regarding on waste management are related to the society behavior which is not environmentally friendly, not optimal on law enforcement, increasing volumetric garbage annually, the limitation of landfill, as well as the limitations of the technology possessed in waste management which make these issues could not solve rewardingly. This research was carried out in Bantul Regency, where topographically it located in the sub-stream and sub- urban areas, with a population of 913,312 producing a total of 1,937.26 m 3 of waste per day. This study aims to explore how the response of community and the local government of Bantul Regency regarding on waste management issues and how communication networks are established between the two systems. The author tried to analyze through the theory of Ecological Communication, Eco literation, and Communication of Participation. The study was conducted in Bantul Regency with the research subjects being people who are members of the Independent Waste Management Network AMOR as well as the Environmental Service Agency as a representation of the Regional Government of Bantul Regency. Data collection techniques were carried out by observation, in- depth interviews, and focus group discussions. The research findings indicated that the role of the public through the institutional aspects, communication activities, and social culture. Institutional activities are characterized by the formation of independent waste management groups; garbage literacy communication activities are performed through various patterns such as word of mouth communication, communication using media, and social marketing communication; while the government's response is as the regulator, formal and informal trainer, and accommodating facilities and infrastructure. Autopoeisis (an ability to develop itself) was more powerful in the community system, the society informally responded rapidly to the environmental problems with capabilities such as social principal and local wisdom, as occurred after the recovery of Bantul Disctrict due to the 2006 earthquake. Communication networks in waste management were established through internal and external networks both formally and informally.

Kata Kunci : pengelolaan sampah, literasi sampah, dan jejaring pengelolaan sampah