Laporkan Masalah

GETOK TULAR ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT KOMUNIKASI PEMASARAN WISATA KULINER TRADISIONAL ANGKRINGAN YOGYAKARTA

LANA PRIHANTI PUTRI, Dr. Tri Kuntoro Priyambodo, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Eni Harmayani, M.Sc

2017 | Tesis | S2 Kajian Pariwisata

Latar Belakang: Angkringan merupakan bisnis sektor informal yang juga melakukan komunikasi pemasaran secara informal. Penyebaran informasi barang, harga, lokasi, juga menggunakan metode getok tular (word-of-mouth). Dengan berkembangnya teknologi informasi, getok tular tradisional bergeser menjadi getok tular elektronik, dimana penggunaan perangkat elektronik dan internet menjadi penting dalam persebaran informasi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik Angkringan Yogyakarta, mengidentifikasi adanya fenomena getok tular elektronik di pemasaran Angkringan dan mengidentifikasi sekaligus menganalisis proporsi penggunaan dimensi getok tular elektronik yang digunakan wisatawan di Sajian Kuliner Tradisional Angkringan di Yogyakarta. Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah mixed methods. Data primer diperoleh dari observasi, kuesioner dan wawancara mendalam. Data sekunder dikumpulkan metode dokumentasi baik online maupun cetak. Penentuan sampel dilakukan dengan metode non-probability purposive-convenience sampling. Sedangkan metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif deskriptif eksploratif dan metode kuantitatif deskriptif persentase, dikombinasikan dengan analisis historis dan metode Delphi dengan berbasis UU no 20/2008 tentang UMKM dan marketing mix. Pembahasan: Angkringan Yogyakarta dibedakan menjadi 5 generasi dengan memiliki karakteristik masing-masing. Kepemilikan dan hukum: baik generasi I, II, III, IV, dan V merupakan milik pribadi dan tidak memiliki ijin resmi dari pemerintah, kecuali IV dan V. Berdasarkan UU no. 20/2008 tentang UMKM, generasi I, II, III termasuk usaha mikro dengan modal usaha atau aset tidak lebih dari Rp50 juta dan memiliki penjualan tahunan maksimal Rp. 300.000.000; sedangkan IV dan V termasuk usaha kecil, dengan aset antara Rp50 juta - Rp500 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha dan memiliki penjualan tahunan antara Rp 300.juta,- Rp2.5 milyar. Dari sisi produk, generasi I menjual Nasi Kucing, gorengan dan minuman panas (teh/jeruk). Yang dijual generasi II ditambah aneka sate, dan III menambah aneka sate dan jajan pasar. Generasi IV menambah mie, nasi goreng dan menu modern yang dimasak langsung. Untuk generasi V pada dasarnya yang dijual sama dengan generasin III, namun franchisee dapat menambahkan menu sesuai keinginan. Untuk harga per bungkus nasi kucing, baik generasi I, II, III dan V standard dengan rasio 1/5 dibandingkan harga beras pada periodenya, misalnya Rp 1500 dari Rp 7500/kg. Generasi V pada dasarnya rasionya sama, namun harganya relatif lebih tinggi karena memiliki toping yang jumlahnya lebih banyak dan beragam seperti oseng teri, tempe, tuna, kikil, dan ati-ampela. Lokasi generasi I dan II belum menetap dan menggunakan ruang publik tanpa ada ijin. Lokasi generasi III, IV dan V sudah menetap, memiliki ijin, dan meyewa/milik sendiri kecuali generasi III masih di ruang publik. Promosi untuk semua generasi pada dasarnya menggunakan getok tular tradisional, namun III, IV dan V sudah dengan getok tular elektronik. Sedangkan IV dan V secara aktif sudah menggunakan media sosial seperti facebook, intagram, twiters dll. Secara phisik, untuk berjualan semua generasi menggunakan gerobak (kecuali generasi I menggunakan pikulan), dan dingklik-kursi kayu sederhana (pendek/panjang). Generasi I dan II menggunakan penerangan lampu senthir atau teplok dan petromak; sedangkan III, IV dan V sudah menggunakan lampu listrik. Semua generasi menggunakan tenda atau bangunan beratap, kecuali generasi I belum menggunakan tenda pelindung. Bagi generasi I, II, III, dan V proses menyiapkan semua menu dilakukan di rumah; kecuali untuk III sebagian dipersiapkan di lokasi. Sedangkan generasi IV seluruh menu diproses di dapur angkringan. Dalam konteks person, generasi I, II, III, V penjualnya juga sebagai pemilik, kecuali untuk V pemilik merupakan franchisee. Pada prinsipnya konsumen seluruh generasi dari penduduk local dan pekerja sekitar. Semua generasi memiliki pelanggan kalangan mahasiswa, wisatawan lokal, wisatawan nusantara dan mancanegara, kecuali generasi I. Selanjutnya, konsumen generasi II-V menggunakan getok tular elektronik di angkringan Yogyakarta. Dimensi getok tular elektronik yang paling tinggi digunakan pengunjung adalah Viral Marketing. Rekomendasi: Peningkatan kesadaran penjual angkringan bahwa getok tular elektronik merupakan sarana yang penting dalam memasarkan angkringan, sehingga dampak negative getok tular elektronik dapat diminimalisir dengan peningkatan kebersihan, pelayanan dan manajemen akan menghasilkan Viral Marketing yang lebih bersifat positif.

Background: Angkringan is an informal business sector that also communicates informal marketing. Dissemination of goods information, price, location, also using word-of-mouth method. With the development of information technology, traditional word-of-mouth has shifted into electronic speech, where the use of electronic and internet devices is important in the dissemination of information. Purpose: This study aims to identify and analyze the characteristics of Angkringan Yogyakarta, to identify the phenomenon of electronic noise in the marketing of Angkringan and to identify and analyze the proportion of the use of the electronic dimension of the use of tourists in Angkringan Traditional Culinary Tour in Yogyakarta. Method: The research design used is mixed methods. Primary data were obtained from observations, questionnaires and in-depth interviews. Secondary data collected documentation method both online and print. The sample determination was done by non-probability purposive-convenience sampling method. While the data analysis method used is descriptive explorative qualitative analysis and quantitative descriptive method percentage, combined with historical analysis and Delphi method based on UU no 20/2008 about UMKM and marketing mix. Discussion: Angkringan Yogyakarta is divided into 5 generations with their own characteristics. Ownership and regulation: generations I, II, III, IV, and V are private property and have no official authorization from the government, except IV and V. Under Law no. 20/2008 on MSMEs, generations I, II, III including micro businesses with venture capital or assets of no more than Rp50 million and have annual sales of a maximum of Rp. 300,000,000; While IV and V include small businesses, with assets of between Rp50 million - Rp500 million, excluding land and building of business premises and have annual sales of between Rp 300 million and Rp2.5 billion. From the product side, Generation I sells Nasi Kucing, fried and hot beverages (tea / oranges). The second generation is sold plus various sate, and III add various sate and snack market. Generation IV adds noodles, fried rice and modern menu cooked directly. For Generation V is basically the same as the Generasin III, but the franchisee can add the menu as desired. For the price per pack of cat rice, both generations I, II, III and V standard with a ratio of 1/5 compared to the price of rice in the period, for example Rp 1500 from Rp 7500 / kg. Generation V is basically the same ratio, but the price is relatively higher because it has more toping and variety like oseng teri, tempe, tuna, kikil, and ati-ampela. The location of Generations I and II has not settled and uses public space without permission. Location of generation III, IV and V have settled, have permission, and rent / own property except generation III still in public space. Promotions for all generations basically use traditional speech, but III, IV and V are with electronic word of mouth. While IV and V are actively already using social media like facebook, instagram, twiters etc. Physically, to sell all generations using wagons (except generations I use pikulan), and simple wooden chairs (short / long). Generations I and II use lamp lights senthir or teplok and petromak; While III, IV and V already use electric lights. All generations use tents or roofed buildings, unless Generation I has not used a protective tent. For generations I, II, III, and V the process of preparing all the menus is done at home; Except for III partially prepared on site. While the fourth generation of the entire menu is processed in the kitchen angkringan. In the context of person, generation I, II, III, V the seller is also the owner, except for V the owner is a franchisee. In principle, consumers of all generations of local residents and workers around. All generations have customers among students, local tourists, domestic and foreign tourists, except Generation I. Furthermore, second-generation consumers of V use electronic get-togethers in angkringan Yogyakarta. The highest electronic gette dimension used by visitors is Viral Marketing. Recommendation: Increasing the awareness of sellers of angkringan that electronic speech is an important means of marketing angkringan, so the negative impact of electronic noise can be minimized with improved hygiene, service and management will produce more positive Viral Marketing.

Kata Kunci : Culinary tourism, Angkringan Yogyakarta, marketing communication tools, electronic word of mouth.