KONFLIK KEPENTINGAN DALAM PENATAAN KELEMBAGAAN DAN PENEMPATAN SUMBERDAYA APARATUR DAERAH DI DAERAH PEMEKARAN (Studi Kasus di Daerah Pemekaran Kab. Pangandaran Jawa Barat)

SURAJI, Prof.Dr.Miftah Thoha, MPA

2016 | Disertasi | S3 Manajemen dan Kebijakan Publik

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis dan mengkaji secara mendalam pelaksanaan penataan kelembagaan dan penempatan sumberdaya aparatur daerah di daerah pemekaran, macam-macam konflik kepentingan dalam penataan kelembagaan daerah dan penempatan sumberdaya aparatur daerah dan penyelesaian konfliknya kepentingan dalam penataan kelembagaan daerah dan penempatan di daerah pemekaran Kabupaten Pangandaran. Melalui pendekatan penataan kelembagaan dan penempatan aparatur daerah secara umum masuk dalam konsep dan teori kapasitas kelembagaan yang menurut Grindle (1997), Eade (1997), Jeffrey D. Sachs (2004), Thomas (1972), Brown (2001), Morison (2001) dan aturan yang ada lebih memfokuskan aspek formal dalam pelaksanaanya. Dari aspek tersebut konflik kepentingan tidak menjadi bagian dalam konsep teori kapasitas kelembagaan. Padahal implikasi kebijakan di lapangan konflik kepentingan mesti terjadi. Deutsch dan Lewicki (1973) berpendapat bahwa konflik terjadi dalam kepentingan personal maupun kelembagaan tentu sangat terkait dalam upaya melakukan penataan birokrasi serta pengembangan dan pemberdayaan daerah. Susan L Carpenter (1988) konflik menunjukan adanya dinamika sosial yang sehat. Fenomena ini dilahirkan oleh berbagai faktor yang kesemuanya perlu dicermati secara kontekstual dan hati-hati. Konflik dapat dipahami sebagai elemen produktif dan konstruktif jika mampu menciptakan koreksi institusional maupun output positif. Permasalah utama yang diketengahkan adalah mengapa penataan kelembagaan dan penempatan sumberdaya aparatur daerah di daerah pemekaran Kabupaten Pangandaran menimbulkan konflik kepentingan?��. Dari pertanyaan pokok tersebut kemudian dijabarkan dalam dua (3) permasalahan lanjut yaitu: (i) Bagaimana pelaksanaan penataan kelembagaan dan penempatan sumberdaya aparatur daerah pemekaran di Kabupaten Pangandaran? (ii) Macam-macam konflik yang kepentingan timbul dalam penataan kelembagaan dan penempatan sumberdaya aparatur daerah pemekaran di Kabupaten Pangandaran? (iii) Bagaimana penyelesaian konflik kepentingan tersebut? Penelitian ini memilih Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat karena kabupaten ini adalah kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Ciamis. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif, yakni studi kasus dengan menganalisis data deskriptif berupa tulisan, ungkapan lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati. Hasil penelitian dapat memetakan bahwa (1) kebijakan pemekaran daerah Kabupaten Pangandaran telah memicu konflik kepentingan dalam penataan kelembagaan dan penempatan aparatur daerah. Hal ini di karenakan (a) pembentukan daerah pemekaran hanya menekankan persyaratan formal pemekaran untuk dimekarkan dan tidak menata kelembagaan dan penempatan aparatur daerah pemekaran terlebih dahulu.(b) adanya peran kabupaten induk yang kurang maksimal, kepentingan birokrasi dan Dewan Presidium. (2) Dalam pelaksanaan penataan kelembagaan dan penempatan sumberdaya aparatur daerah di daerah pemekaran Kabupaten Pangandaran belum secara maksimal menjalankan aturan dengan baik, dikarenakan:a) Pemahaman yang kurang terhadap penataan kelembagaan, aparatur, tupoksi, visi dan misi dalam menjalankan pemerintahan.b) Keterbatasan sumberdaya aparatur daerah baik dari aspek pendidikan dan kepangkatan. c) Lemahnya sistem informasi karena belum maksimal memanfaatkan teknologi informasi, yang salah satunya untuk mengadakan networking/jejaring kerja. d) Belum dilaksanakannya sistem akuntabilitas, menjadikan penyalahgunaan kewenangan terjadi di hamper semua birokrasi. e) Kecenderungan Pejabat Bupati kurang menjalin komunikasi dengan tokoh masyarakat, terutama Dewan Presidium Pangandaran yang memicu konflik kepentingan. (3) Beberapa konflik kepentingan yang timbul adalah: a) Konflik berkenaan dengan pelaksanaan aturan dan ketidaksiapan di lapangan, serta peran Dewan Presidium Kabupaten Pangandaran yang aktif dalam pngawasan dianggap menjadi masalah. Dewan Presidium sebagai lembaga yang mengawali proses pemekaran Kabupaten Pangandaran merasa tidak dilibatkan dalam pelaksanaan pemerintahan Kabupatn Pangandaran. b) Konflik penentuan organisasi perangkat daerah yang di picu pemahaman yang berbeda atas peraturan bupati yang lama dan yang baru yaitu Perbu No.2/2013 dan Perbub No.3/2014. Sehingga dalam penataan kelembagaan dan aparatur multi tafsir, dan dianggap Bupati kurang mentaati aturan yang dibuat. c)Konflik penentuan Pejabat Bupati Kabupaten Pangandaran. Konflik kepentingan ini terjadi karena Dewan Presidium, Parpol dan birokrasi Provinsi Jawa Barat ikut serta dalam pengajuan calon Pejabat Bupati Pangadaran. d) konflik kepentingan dalam proses penentuan Sekda. Konflik kepentingan dalam penentuan Sekda Kabupaten Pangandaran karena adanya perbedaan antara Pejabat Bupati dengan Dewan Persidium. Persidium mengajukan putra daerah, sedangkan Bupati mengajukan pejabat dari Pemkab Ciamis . e) Konflik kepentingan dalam proses penentuan Kadin SKPD. Konflik kepentingan ini terjadi pejabat-pejabat yang akan menduduki Kadin SKPD kurang memenuhi syarat dan cenderung keinginan Bupati. f) Konflik kepentingan dalam penempatan aparatur daerah. Konflik kepentingan ini terjadi karena penempatan aparatur atau pegawai kurang tepat tidak disesuaikan dengan pendidikan, keahlian dan munculnya isu putra daerah dan hubungan keluarga elit Pangandaran. Selain adanya penambahan jumlah pegawai dari Kabupaten Induk (Ciamis). (4) Dalam penyelesaian konflik kepentingan penataan kelembagaan dan penempatan sumberdaya aparatur adalah sebagai berikut: a)Pembentukan forum bersama secara rutin antar Bupati, Dewan Presidium dan Tokoh Masyarakat untuk membahas rencana dan program daerah. b) Bupati mengakomodir usulan Dewan Presidium dan akan menempatkan pejabat yang tepat dan memenuhi syarat serta putra daerah. c) Meningkatkan kinerja daerah dan meningkatkan kerjasama pihak terkait agar tidak terjadi salah paham yang dilakukan pemerintah daerah. d) Optimalisasi peran kelembagaan daerah yang lebih aspiratif. e) Pembentukan tim bersama antara Dewan Presidium, Tokoh Masyarakat dan Pemerintah Daerah. f) memaksimalkan peran kabupaten induk (Kabupaten Ciamis) untuk ikut serta dalam penyelesaian-penyelesaian kelembagaan dan aparatur daerah. g) Memohon arahan dan penegasan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat dalam setiap permasalahan yang muncul khususnya kelembagaan dan aparatur daerah agar penyelesaian dapat di terima semua pihak. Pada dasarnya kebijakan pemekaran daerah adalah desain baru dalam kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang dianggap mampu memberikan pelayanan terbaik pada masyarakat dan kesejahteraan daerah. Namun terdapat berbagai persoalan pemekaran daerah yang tidak sesuai dengan tujuan awal pengajuan pemekaran, lemahnya kelembagaan dan permasalahan penempatan sumberdaya aparatur daerah. Penataan kelembagaan dan penempatan sumberdaya aparatur daerah yang tepat diharapkan mampu memberikan jawaban dan penjelasan dalam kerangka peningkatan kinerja pemekaran daerah. Daerah pemekaran harus kuat, maju dan optimal sesuai dengan tujuan pemekaran. Adanya konflik kepentingan dalam penataan kelembagaan dan penentuan jabatan di daerah pemekaran. Dalam hal ini, konflik kepentingan sangat terkait dalam upaya lembaga melakukan pengembangan dan pemberdayaan aparatur daerah bagi daerah pemekaran. konflik kepentingan dalam penataan kelembagaan dan penempatan sumberdaya aparatur daerah akan memperkuat kelembagaan jika dapat ditangani secara baik sesuai dengan aturan, dan menggunakan pendekatan secara komprehensip. Maka konflik yang terjadi di daerah pemekaran akan menjadi solusi terbaik, sehingga tidak berlanjut dalam permasalahan yang lain. Pada umumnya konflik akan terjadi di mana saja sepanjang terjadi interaksi atau hubungan antara sesama manusia, baik antara individu dengan individu maupun kelompok dengan kelompok dalam melakukan sesuatu. Dalam masalah konflik kepentingan (Intergroup Conflict), konflik yang terjadi antar-grup, seperti antara serikat-serikat kerja dengan pengelola, perseteruan keluarga, kelompok masyarakat dengan pemerintah yang berkuasa (Deutsch dan Lewicki, 1973). William Zartman (1997) berpendapat bahwa tata pemerintahan merupakan salah satu dari metode untuk mengelola konflik kekerasan yang berlangsung dalam sebuah Negara maka hal-hal yang perlu diperhatikan adalah persoalan kesejahteraan atau pun kepuasan warga negara atas pemerintahan dalam hal pelayanan, ekpresi warga Negara untuk berpartisipasi dalam wilayah publik, memperhatikan kompetisi yang berlangsung antar sesama warga negara (antar mereka) dan persoalan alokasi sumber-sumber daya yang dimiliki daerah untuk kebutuhan mereka dalam pembangunan daerah. Konflik kepentingan merupakan bagian dari kehidupan umat manusia yang tidak pernahdapat diatasi sepanjang sejarah umat manusia. Sepanjang manusia masih hidup hampir mustahil untuk menghilangkan konflik di muka bumi ini. Konflik antar individu atau antar kelompok merupakanbagian dari sejarah kehidupan umat manusia (William Chang, 2003). Konflik kepentingan menunjukan adanya dinamika sosial yang sehat. Fenomena ini dilahirkan oleh berbagai faktor yang kesemuanya perlu dicermati secara kontekstual dan hatihati. Konflik dapat dipahami sebagai elemen produktif dan konstruktif jika mampu menciptakan koreksi institusional maupun output positif. Disisi lain konflik juga dapat menghasilkan dampak buruk yang berkepanjangan jika tak segera diatasi secara proporsional. Secara umum sengketa publik atau konflik mengindikasikan demokratisasi dimana advokasi terhadap hak, kewajiban, dan peran politik mengemuka. Otoritas yang mewujud pada proses kebijakan diperhadapkan pada kritik atau resistensi. Dengan demikian pemahaman terhadap sengketa publik perlu diposisikan pada kerangka perebutan dan pengaruh proses kebijakan yang terkait (Susan L. Carpenter dan W.J.D Kennedy,1988). Dalam kompetisi suatu subsistem kebijakan, yang didefnisikan sebagai serangkaian aktor yang aktif menaruh perhatian pada sebuah isu dan berupaya mempengaruhi kebijakan publik yang terkait secara berkelaanjutan. Selain dari proses kompetisi untuk merubah kebijakan diantara kelompok-kelompok yang ada, pendekatan analisis frame work juga tetap merumuskan jalur alternatif advokasi kebijakan. Metode yang ditempuh adalah konsensus lewat proses negosiasi untuk mencapai kesepakatan (Paul A.Sabatier dan Hank C.Jenkins Smith,1993). Berjalanya daerah pemekaran menjadi daerah otonom memerlukan peran sumberdaya aparatur yang handal, cerdas, inovatif, mempunyai kompetensi, dan berpendidikan serta berkealihan. Selain aspek kebijakan penataan kelembagaan dan penempatan aparatur daerah sangat urgen untuk dilakukan. Sebagai kabupaten baru pasti tidak lepas dari kepentingan baik internal maupun eksternal. Persoalanya adalah bagaimana penyelesaian konflik dapat menjadi sarana penguat daerah dengan mengacu pada aturan dan komitmen bersama secara profesional. Dimana pemerintahan yang efektif akan tergantung pada sebuah konsensus bersama yang disepakati bersama sebagai sebuah norma (aturan) bersama. Norma tersebut kemudian dikuatkan secara bersama-sama (diakui bersama) dan didukung oleh legitimasi pemerintahan dan masyarakat yang berkuasa menjadi norma dan nilai yang diakui secara kelembagaan dalam pemerintah.

This study aimed to describe, analyze and assess exhaustively the implementation of institutional arrangement and placement of local apparatus resources in the expansion area, conflict of interest in the arrangement of regional institutions and placement of local apparatus resources and settlement of conflict of interest in regional institutions arrangement and the placement of local apparatus resources in the expansion area Pangandaran District. Through the approach, institutional arrangement and placement of local apparatus resources generally were included in the concept and theory of institutional capacity which was according to Grindle (1997), Eade (1997), Jeffrey D. Sachs (2004), Thomas (1972), Brown (2001), Morison (2001) and the existing rules, it focuses more on formal aspects in practice. From the aspect, conflict of interest is not a part of the institutional capacity theoretical concepts. Though the policy implications in the field of conflict of interest should occur. Deutsch and Lewicki (1973) argued that the conflict happened in the personal or institutional interests certainly had a close relation with the effort to make bureaucracy arrangement as well as the development and the empowerment of the region. Susan L Carpenter (1988) showed that there was a conflict of healthy social dynamics. This phenomenon was born by a variety of factors, all of which needs to be examined contextually and carefully. Conflicts can be understood as a productive and constructive element if it is able to create institutional correction and positive output. The key problem presented is why the institutional arrangement and the placement of local apparatus resources in the expansion area Pangandaran District create a conflict of interest?. From the principal question was then described into three (3) further problems, namely: (i) How is the implementation of institutional arrangement and the placement of local apparatus resources in the expansion area Pangandaran District? (ii) Why is a conflict of interest arises in the institutional arrangement and the placement of local apparatus resources in the expansion area Pangandaran District? (iii) How is the settlement of the conflict of interest? This study chose Pangandaran District, West Java Province because this district was a new district that is a result of Ciamis District expansion. The study was conducted with a qualitative approach, that is a case study by analyzing descriptive data in the form of writing, oral expression of the people and observed behavior. The results of the study can determine that (1) The implementation of institutional arrangement and the placement of local apparatus resources in the expansion area Pangandaran District have been referring to Government Regulation No. 78 of 2007 regarding the procedure for the formation, deletion, and merging of regions and Law Number 43 of 1999 regarding Civil State apparatus. These act and regulation became a reference in implementing regional expansion and the arrangement of local apparatus in Pangandaran District have been well executed with the realization of the new autonomous region Pangandaran District and the running government as evidence. (2) But what happened, the rules have triggered a conflict of interest in the institutional arrangement and the placement of local apparatus resources. The view showed the fact of the research results that conflict of interest in institutional arrangement and placement of local apparatus resources in Pangandaran District significantly happened. (3) The conflict was regarding the implementation of the rules and unpreparedness in the field, as well as the role of the active presidium council was considered to be a problem in the Pangandaran District. (4) The conflict between the presidium and the regent in the determination of tupoksi, structure and determination of organization of the local apparatus triggered by different understanding of the old and new regulation of regents: Regent Regulation No.2/2013 and Regent Regulation No.3/2014 regarding the Organization of the Local apparatus of the Pangandaran DIstrict. (5) In the process of filing the Regent Position, the reality in the field was that there was multiple interests and conflicts and interventions from various organizations, groups and elites in Pangandaran and elite officials in West Java Province appeared. The conflict arose were the interests of Governor, Political Party and Presidium of the Pangandaran District. (6) The process of determining the Secretary of the Local Government Pangandaran District is inseparable from the interests of the pull-extend. It was proven that almost nine (9) months the Secretary status was empty. The vacancy occurred over the interests between the Regent Official and the Presidium. (7) The process of determining the Chamber of Commerce and Industry of Regional Work Unit and the creation of new bodies, there was a conflict of interest between the Regent and the Expansion Presidium. The presidium and the regent proposal was agreed together, with the exception of the position of the Head of the Department of Education, Culture, Youth and Sports which was still empty, the team and joint selection will be formed. (8) The conflict of interest that occurred in the placement of local apparatus, namely the conflict in the placement of employees that differentiate the regional origin, such as native (employees from Pangandaran) placed on the related Regional Work Unit, and employees of Ciamis placed in other Regional Work Unit. This means that the placement was not based on qualifications, expertise, education and tended to be discriminative, differentiate the native and non-native. (9) In the resolution of conflicts of interest in institutional arrangement and the placement of apparatus resources generally occurred between regent official and the council presidium. The resolutions were as follows: (a) Establishment of a joint forum on a regular basis between the regent, council presidium and community leaders to discuss the plan and program areas. (B) The Regent accommodate the council presidium proposal, and will put the appropriate and qualified officials. (C) Improve the performance of the region and increase cooperation in order to avoid misunderstanding by the local governments. Basically, the policy of regional expansion is a new design in the regional autonomy policy in Indonesia that are considered to be able to provide the best service to the community and the welfare of the region. However, there are various issues of regional expansion that is incompatible with the original purpose of expansion submission, institutional weakness and problems of the placement of local apparatus resources. Appropriate institutional arrangement and placement of local apparatus resources are expected to provide answers and explanations in terms of improving the performance of regional expansion. The expansion area must be strong, developed and optimized in accordance with the purpose of expansion. The existence of conflict of interest in institutional arrangement and determining positions in the expansion area. In this case, a conflict of interest has a close relation with the effort to develop institutions and empowerment of local officials for the expansion area. Conflicts of interest in institutional arrangement and placement of resources of the region apparatus will strengthen the institutional area if it can be handled properly in accordance with the rules, and using a comprehensive approach. So the conflict in the expansion region would be the best solution, so it does not continue in the other problems. In strengthening and development of the local government expansion area dimensions of institutional and apparatus resources becomes a determining aspect of success of a region. From some institutional and human resources aspects, it is interesting to be examined as a focus of this study, considering expansion region will be seen from the apparatus resources and institutional capabilities in preparing and running the government after regional expansion. The factors for determining the institutional and strategic positioning of the region apparatus more directed towards action and direct use in the workplace of the arrangement, to change the mindset in thinking, work and courage in taking some new policies, as well as execute the duties and responsibilities for the advancement of the expansion area. For the professionalism of apparatus, there are three important values that must be developed. First, the tasks and roles should always aim to serve the public interest. Second, the professionalism of apparatus should be based on education and specialization rational and not in a patrimonial characteristic. Third, uphold the principles of the right man on the right place. Professionalism of apparatus with the internalization of those values is required as an effort in responding the environment which is difficult to guess beforehand, the rapid development of technology, great changes in education levels, and change value of the work, then the nature and the bureaucracy assignment changes. Tasks under the bureaucracy will be technical, difficult and not programmed exhaustively. (Miftah Thoha, 1992). In this case that the institutional arrangement and determination of local apparatusresources must be adjusted to the arrangement at the institutional level that is based on knowledge and skills (knowledge and experience), competencies (competence), work ethics (work discipline), salaries (remuneration), promotion (promotion), recruitment (recruitment). (Morison (2001), Grindle (2007), Millen (2006), and Thoha (2008). In general, conflicts will occur anywhere along with the interaction or relationship between human beings, both between individuals and groups or between groups and groups in doing things. On the issue of conflict of interest (Intergroup Conflict), conflicts between groups, such as the trade unions with the manager, a family feud, community groups and the government in power (Deutsch and Lewicki, 1973). William Zartman (1997) argued that governance is one of the methods for managing violent conflicts that take place in a country then the things to be noticed was the issue of welfare or satisfaction of citizens for the government in terms of service, expression of citizens to participate in public areas, pay attention to the ongoing competition between fellow citizens (among them) and the issue of the allocation of resources owned by regions for their needs in regional development. Conflict of interest is a part of human life that will never be overcame throughout the history of mankind. Throughout the human life, it is almost impossible to eliminate conflict in this earth. Conflicts between individuals or between groups is a part of the life history of mankind (William Chang, 2003). Conflicts of interest showed a healthy social dynamics. This phenomenon was born by a variety of factors, all of which needs to be examined contextually and carefully. Conflicts can be understood as a productive and constructive element if it is able to create institutional correction and positive output. On the other hand the conflict also can produce prolonged bad impact, if not immediately settled proportionally. In general, public dispute or conflict indicate democratization where the advocacy of the rights, obligations, and political role arise. Authorities that manifests itself in the policy process are confronted with criticism or resistance. Thus the understanding of the public disputes need to be positioned on the frame of conquest and influence of the related policies processes (Susan L. Carpenter and W.J.D Kennedy, 1988). In a subsystem of competition policy, which defined as a set of actors who actively paying attention to an issue and seeks to influence public policy related continuously. Aside from the competition process to change policy among the groups that exist, analytical approach frame work also remains to formulate an alternative path of policy advocacy. The method adopted is a consensus through a process of negotiations to reach an agreement (Paul A.Sabatier and C.Jenkins Hank Smith, 1993). The running of expansion area into autonomous regions requires the role of apparatus resources that are reliable, intelligent, innovative, competent and educated as well as skillful. In addition to the policy aspects of the institutional arrangement and placement of local apparatus resources is very urgent to do. As a new district must not be separated from the interests of both internal and external. The problem is how conflict resolution can be a way of reinforcing areas with refer to the rules and a shared commitment in a professional manner. Where effective governance will depend on a common consensus agreed together as a norm (rule) together. The norm is then amplified together (mutually recognized) and supported by the government's legitimacy and powerful community to be norm and value recognized institutionally in the government.

Kata Kunci : Konflik Kepentingan, kelembagaan, sumberdaya aparatur, daerah pemekaran