Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia: Menjelaskan Variasi
SAMSU RIZAL PANGGABEAN , Prof.Dr. Mohtar Mas'oed, M.A., Prof.Dr. Ichlasul Amal, M.A.
2015 | Disertasi | S3 Ilmu PolitikMengapa kekerasan terjadi di kota dan kabupaten tertentu di Indonesia tetapi tidak di kota dan kabupaten lain? Lebih spesifik lagi, mengapa kekerasan anti-Tionghoa terjadi di Surakarta tapi tidak di Yogyakarta? Mengapa kekerasan komunal terjadi di Ambon tapi tidak di Manado? Apakah pemilahan etnis menjelaskan variasi insiden kekerasan? Salah satu fenomena penting ketika Indonesia mengalami transisi dari Orde Baru ke Reformasi adalah, insiden kekerasan etnis secara geografis terkonsentrasi di 15 kota dan kabupaten. Ada lebih banyak kota dan kabupaten yang tidak mengalami kekerasan etnis, walaupun ada ketegangan. Secara temporal kekerasan itu dapat dinisbatkan kepada beberapa faktor mencolok di tingkat nasional, seperti krisis ekonomi dan melemahnya kapasitas negara khususnya angkatan bersenjata dalam memadamkan kekerasan tersebut. Tetapi, secara spasial penjelasan ini tidak memadai: Krisis dan aparat keamanan yang lemah terjadi secara nasional tetapi dalam tingkat subnasional ada variasi yang dramatis dalam ruang kekerasan etnis. Disertasi ini meneliti kasus-kasus kota yang mengalami insiden kekerasan (Surakarta dan Ambon) dan yang tidak mengalami kekerasan walaupun ada ketegangan, yang disebut dengan nirinsiden (Yogyakarta dan Manado). Kasus-kasus ini juga mewakili pemilahan terpenting di Indonesia, yaitu Pribumi-Tionghoa di Surakarta dan Yogyakarta, serta Islam Kristen di Ambon dan Manado. Dengan menggunakan data dari survei dan media lokal, disertasi ini melakukan process tracing dalam melakukan perbandingan dan kontras subnasional pada level kota, dan menyusun narasi setiap kasus dengan merujuk kepada mekanisme yang dianggap menyebabkan hasil yang berbeda di dua pasang kota. Disertasi ini menunjukkan bahwa peran dan strategi aktor, baik negara mapun nonnegara, lebih besar dari ciri dan pemilahan kelompok. Surakarta mengalami kekerasan sebagai hasil strategi alih bingkai yang dilakukan aparat keamanan untuk mengalihkan perhatian publik dari kegagalan mereka mengendalikan demonstrasi mahasiswa anti-Soeharto pada Mei 1998. Ciri kelompok dan pemilahan Pribumi- Tionghoa tidak menyebabkan kekerasan. Kekerasan terjadi di Ambon pada Januari 1999 karena tidak ada penangkalan dari negara, ketika kekerasan rutin, dan yang lebih penting, kekerasan luar biasa dan tanpa preseden dalam bentuk pembakaran dan rumor tentang pembakaran tempat ibadat, terjadi. Ini menyebabkan kehidupan sehari-hari di kota mengalami breakdown. Ciri kelompok dan pemilahan Islam-Kristen tidak menyebabkan kekerasan itu sendiri.
Why ethnic violence took place in certain cities of Indonesia while others remain peaceful? More specifically, why anti-Chinese violence occurred in Surakarta but not in Yogyakarta? Why communal violence occurred in Ambon but not in Manado? Does ehnic cleavage explains the spatial variation? Collective violence involving groups from different ethnic and religious backgrounds varied dramatically at the local level. Most of the fatal incidents of collective violence with many deaths only occurred in 15 cities and districts of Indonesia. Most cities and and districts remain peaceful despite tension. In term of time, the violence can be explained by referring to salient national factors such as the economic crises and the weakened state security forces. In terms of space and geography, however, these factors are not enough: The whole country suffered from these crises and problems but incidents of violence are highly locally concentrated. To explain the spatial variation, this dissertation look into cities suffered from violence (Surakarta and Ambon) and those that did not despite some tension (Yogyakarta dan Manado). These cases represent the most important cleavage in the history of Indonesia, namely Pribumis vs Chinese and Muslims vs Christians. Using data from an original survey and local media, this dissertation employ process-tracing within a subnational comparison of four cities, and structured the narration of every case using mechanism that led to different outcomes in paired cities. This dissertation argues that the strategy of state and nonstate actors is more important than group characteristics and cleavages. The violence in Surakarta in May 1998 was the result of frame-shifting strategy used by the security forces to distract public attention from their failure to control anti-government student demonstrations. Anti-Chinese rioting took place in Solo because the local government and the security forces failed to contain the student protests. Pribumi-Chinese cleavage did not cause the violence. The violence in Ambon in January 1998 was the result of state strategy in dealing with ordinary violence and, most importantly, in dealing with extraordinary forms of violence, namely the actual and rumored burning of the houses of worships. This led to the breakdown in the ordinary life of the city. Islam-Christian cleavage did not cause the communal violence.
Kata Kunci : konflik, etnisitas, perdamaian