SPLIT-TICKET VOTING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MENJELASKANNYA PADA PEMILU LEGISLATIF DAN PEMILU PRESIDEN INDONESIA TAHUN 2014
MUHAMMAD QODARI, S.PSI, MA., Prof. Dr. Ichlasul Amal, M.A. ; Dr. Kuskridho Ambardi
2016 | Disertasi | S3 Ilmu PolitikSplit-ticket voting adalah fenomena yang lahir akibat adanya bermacam pemilihan, seperti misalnya pemilihan legislatif (DPR) dan pemilihan eksekutif (presiden). Jika pemilih memilih calon yang berbeda untuk beberapa jenis pemilihan itu, disebut sebagai split-ticket voting (Kang, 2006:82). Misalnya untuk pemilu legislatif memilih Partai Golkar, sementara untuk pemilu presiden, memilih calon yang diusung oleh Partai Demokrat. Di sini pemilih membagi suara (split) untuk bermacam partai pada beberapa jenis pemilihan. Fenomena split-ticket voting ini kerap terjadi di pemilu Indonesia pasca Orde Baru. Di Amerika Serikat dan Eropa kajian split-ticket voting sudah cukup lama dan karena itu telah terbangun sejumlah teori dominan. Setidaknya ada lima teori dominan yang dipakai menjelaskan terjadinya split-ticket voting. Pertama, teori keseimbangan yang diperkenalkan oleh Morris P. Fiorina (lihat Fiorina 2003; 1992). Kedua, teori konflik harapan dari Gary Jacobson (lihat Jacobson, 1991). Ketiga, teori kepemilikan isu dari John Petrocick (lihat Zubida, 2006; Bloom, 2001).Keempat, teori check and balance. Dan kelima, teori pemasaran politik. Semua teori di atas melihat pemecahan suara (split) adalah bagian dari strategi pemilih dengan tujuan tertentu. Misalnya untuk moderasi atau keseimbangan ideologi (Fiorina), untuk memuaskan kebutuhan pemilih yang beragam (Jacobson), cara pemilihan yang berbeda (Petrocik), menciptakan kontrol di pemerintahan (check and balances) atau karena memenuhi ekspektasi pesan kampanye (pemasaran politik). Meskipun motivasi pemilih berbeda, tetapi yang menyatukan semua teori adalah pemilih dianggap cukup pengetahuan, cukup kemampuan, dan melakukan pemecahan suara (split) atas dasar intensi tertentu. Karena konteks yang berbeda, yakni konteks pemilih, sistem pemilu, serta sejarah dan praktek kepartaian berbeda, maka teori-teori di atas diduga kurang relevan untuk negara berkembang dan demokrasi muda seperti Indonesia. Untuk itu peneliti merumuskan penjelasan split-ticket voting Indonesia yang disebut sebagai model low information. Hasil survei nasional dan analisa menunjukkan bahwa model dominan yang banyak diterapkan di Amerika Serikat dan Eropa tidak bisa menjelaskan fenomena split-ticket voting di Indonesia. Sementara, model low information cukup baik dalam menjelaskan perilaku split-ticket voting di Indonesia dalam pemilu 2014.
Split-ticket voting is a phenomenon created due to the existence of various elections such as legislative election (legislative assembly or DPR) and executive election (president). The term of split-ticket voting refers to when the voters elect the different candidates for a number of types of such elections (Kang, 2006:82). For the legislative election, for example, a voter votes Partai Golkar (Party of Functional Group), while for the presidential election; he or she votes Partai Demokrat (Democratic Party). In this case, the voter has split for various parties in several types of election. The phenomenon of split-ticket voting frequently occurs in general election in Indonesia in post-New Order era. In United States of America and Europe, the study on split-ticket voting has been so long; consequently stimulating a number of dominant theories. There are, at least, five dominant theories applied to explain the split-ticket voting including the theory of balance introduced by Morris P. Fiorina (see Fiorina 2003; 1992); theory of hope conflict from Gary Jacobson (see Jacobson, 1991); theory of issue possession from John Petrocick (see Zubida, 2006; Bloom, 2001); theory of check and balance and theory of political marketing. All those theories above view the vote split as a part of strategy of voters with certain purpose for instance to moderate or balance ideology (Fiorina); to satisfy the various needs of voters (Jacobson), to show the different election methods (Petrocik), to create a control in government (check and balances) or to fulfil the expectation of the campaign message (political marketing). Though the motivation of the voter is unequal, what can unite all theories is that the voters are viewed to have sufficient knowledge, competences, and doing the split of vote based upon certain intention. In view of the different contexts (contexts of voters, general election system, and history and different parties), then the theories mentioned above are viewed irrelevant for the developing and democratic countries like Indonesia. For this reason, the researcher has formulated the explanation about split-ticket voting in Indonesia called as a model of model low information. The results of the national survey and analysis showed that the model dominantly prevailing in United States of America and Europe cannot explain the phenomenon of split-ticket voting in Indonesia. On the other hand, the model of low information is viewed quite good to explain the attitude of split-ticket voting in the Indonesia’s 2014 general election.
Kata Kunci : Split-ticket voting, legislative election, presidential election, Indonesia