Sikap Negara ASEAN Terhadap Pengungsi Rohingya. Studi Komparatif: Kebijakan Indonesia dan Thailand
BAGUS SUBEKTI N, Drs. Dafri Agussalim, MA
2015 | Tesis | S2 Ilmu Hubungan InternasionalPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan dari sikap Indonesia dan Thailand dalam merespon kedatangan pengungsi etnis Rohingya akibat kekerasan serta perlakuan diskriminasi oleh pemerintah dan mayoritas Buddha di Myanmar. Pemerintah tidak mengakui status kewarganegaraan mereka karena dianggap memiliki karakter yang berbeda dari etnis-etnis yang ada di Myanmar pada umumnya. Etnis Rohingya mencari suaka ke negara-negara tetangga. Posisi Arakhan di pinggiran pantai menjadikan mayoritas Rohingya menggunakan jalur laut untuk meninggalkan Myanmar. Hal tersebut membawa para pengungsi Rohingya ke Indonesia dan Thailand yang secara geografis berdekatan dengan Myanmar dan juga terletak di pinggiran pantai. Status pengungsi menjadi permasalahan bagi pengungsi itu sendiri juga bagi sebagian besar negara yang tidak meratifikasi konvensi pengungsi 1951 dan protokolnya 1967. Status pengungsi menjadi syarat utama bagi para pengungsi untuk mendapatkan perlindungan serta hak pengungsi dari negara yang meratifikasi. Tanpa itu pengungsi hanya akan mendapat status imigran illegal dan diproses berdasarkan hukum imigrasi di setiap negara. Negara tersebut akan mendapat bantuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui organisasi pengungsi United Nation High Commissioner for Refugee (UNHCR) untuk melegalkan status pengungsi mereka jika negara itu meminta bantuan. Penulis ingin menekankan perbedaan sikap yang diambil oleh kedua negara. Apakah memilih untuk menyikapi mereka sebagai pengungsi korban dari kekerasan dan diskriminasi, atau lebih sebagai imigran ilegal tanpa dokumentasi. Perhatian terhadap keamanan manusia (human security) menjadi perdebatan tentang prioritas kebijakan yang mempengaruhi sikap kedua terhadap pengungsi Rohingya. Keamanann nasional cenderung melindungi perbatasan territorial negara dan mencegah segala kemungkinan ancaman, sedangkan keamanan manusia melindungi seluruh manusia secara umum termasuk kepada pengungsi.
The aim of this research is to know the comparative between the act of Indonesia and Thailand in responding the coming of Rohingya refugee caused by the violence and discrimination by government and the majority of Buddha in Myanmar. The government did not recognize their nationality because the government had considered that they had different character from the most ethnics existing in Myanmar. Rohingya seek asylum to neighbor country. Arakhan seashores position leaded the majority of Rohingya to take this way to leave Myanmar. That brought the Rohingya refugee to Indonesia and Thailand that was geographically close to Myanmar that also located in seashores. The status of Rohingya refugee became a problem to those refugees and to the most countries that did not ratified refugee convention 1951 and the protocol 1967. The status of Rohingya became the first requirement to get protection and the right as refugee from the ratified country. Without this thing, refugee would only get the status of illegal immigration and it would be judged and treated based on the role of law in every country. If the country wished some help, the United Nation through United Nation High Commissioner for Refugee (UNHCR) could legalize their refugee status. The writer will emphasize the distinct of the act of both countries. The country would decide whether to treat them as refugees (the victims of violence and discrimination) or illegal immigration without document. The concern toward human security would be the debate about the priority of the policy that influenced the act of both countries toward Rohingya refugee. National security concerned to protect the territory of the country and prevent the possible threat. While the human security concerned to protect whole human by providing their basic need including refugees.
Kata Kunci : refugee, illegal immigration, human security