MEMBAYANGKAN ACEH SEBAGAI NEGARA BANGSA: SEJARAH GERAKAN NASIONALISME LOKAL, 1953 - 2005
M. AMIN ZUHRI, MAYOR CAJ., Prof. DR. Suhartono
2015 | Tesis | S2 Ilmu SejarahIn the context of history of Indonesia, Aceh has own history as a political and social entity. The construction of values of Aceh and Islam is rooted in the past; the values have been developed to create the political behaviour and to establish a state that based on Islamic and Acehnese values. The concept of the so-called “Nation of Aceh†has always remained in the memory and visions of the Acehnese people across generations and it formulated political movement of its people to establish an independent State of Aceh in accordance with its situation. The historical approach with uses written document and oral sources employed in this thesis to analyse how the imaginary state is always in the mind of Acehnese people over time and has become a political stance to establish (or to achieve) a real state, which is an independent state of Aceh. Political achievement of an independent state begins in the past glorious kingdom of Aceh. The past glory stated and educated as the historical facts create idealistic (romantic) image on Acehnese across generations and have given them a motivation to establish an independent state. The proclamation of independence of Republic Indonesia has been interpreted by the people of Aceh as a defeat of their autonomy to manage Aceh. Given the mindset of the struggle to gain autonomy, Daud Beureueh proclaimed NII (Negara Islam Indonesia = Islamic State of Indonesia) and NBA (Negara Bahagian Aceh = Federal State of Aceh) which were not able to survive. But the loss of NII and the NBA does not eliminate the spirit of Acehnese to establish an independent Aceh State. Although there are shifts in the principle of struggle, issues and purposes, basically the idea of establishing the Acehnese State still remains after generations. This idea obtained the momentum when Hasan Tiro became the head of Ache’s independent movement (GAM=Gerakan Aceh Merdeka). There was several peace efforts made and at the end the peace talk in Helsinki was accomplished which both parties, GAM and RI, agreed and signed. There are several meanings-perceptions that arise in people of Aceh towards the Helsinki MoU. On one side it is a strategy of GAM to gain independence in an elegant way, but on the other side it is seen as a strategy from the central government to change the Acehnese desire for independence, even as an attempt to bury the desire for independence among the people.
Aceh sebagai entitas politik dan entitas sosial mempunyai sejarah sendiri dalam kerangka perjalanan sejarah Negara Republik Indonesia. Pembentukan nilai-nilai keacehan dan keislaman berakar kuat pada masa lampau yang berkembang dan membentuk perilaku politik untuk membentuk negara dengan dasar nilai keacehan dan keislaman. Konsep tentang apa yang disebut sebagai “Negara Aceh†selalu ada dalam ingatan dan cita-cita masyarakat Aceh dan hal itu membentuk gerakan politik untuk mewujudkan negara Aceh yang merdeka dalam lintas generasi. Pendekatan historis dalam Tesis ini untuk menganalisis bagaimana nasionalisme orang-orang Aceh yang mendorongnya untuk mewujudkan menjadi real state yaitu “Negara Acehâ€. Penggunaan dokumen tertulis dan oral sources lintas generasi dalam Tesis ini untuk mendapatkan gambaran bagaimana pembayangan suatu “Negara Aceh†selalu ada pada diri orangorang Aceh. Independensi politik sebagai negara yang merdeka diawali pada masa kerajaan Aceh yang penuh kejayaan. Kejayaan tempo dulu dijadikan sebagai dasar sejarah yang menimbulkan romantisme pada masyarakat Aceh untuk menggerakkannya membentuk negara yang merdeka. Pascakemerdekaan negara Republik Indonesia, karena suatu kebijakan yang tidak memihak pada aspirasi masyarakat Aceh dimaknai sebagai hilangnya “keotonomian†Aceh dan mengesampingkan peran Aceh yang sangat signifikan pada awal berdirinya negara Indonesia. Dengan adanya pola pikir tersebut maka perjuangan untuk mendapatkan hak otonomi menjadi isu perjuangan Daud Beureueh dengan memploklamasikan NII (Negara Islam Indonesia) dan NBA (Negara Bahagian Aceh). Namun negara bentukan Daud Beureueh tersebut tidak dapat bertahan bertahan karena dipadamkan dengan kekuatan militer oleh pemerintah pusat. Akan tetapi hilangnya NII dan NBA tidak menyurutkan semangat rakyat Aceh untuk mendirikan “negara†merdeka. Meskipun terdapat pergeseran dasar perjuangan dan isu konflik serta tujuan namun pada dasarnya keinginan untuk mendirikan “Negara Aceh†tetap ada. Keinginanan mewujudkan real state Aceh mendapatkan momen yang tepat ketika Hasan Tiro menjadi pemimpin gerakan Aceh Merdeka. Sikap agresif yang diperlihatkan pemerintah pusat justru semakin menguatkan solidaritas dan simpati masyarakat Aceh serta dunia luar untuk mendukung GAM. Agresivitas militer mulai turun ketika Indonesia memasuki era Reformasi. Hal ini juga merubah strategi perjuangan GAM dengan pendekatan diplomasi. Beberapa kali upaya damai dilakukan namun baru pada perundingan di Helsinki tahun 2005 dicapai kesepakatan damai antara pemerintah RI - GAM. Terdapat beberapa pemaknaan yang muncul pada masyarakat Aceh terhadap MoU Helsinki, yaitu sebagai upaya dan strategi GAM untuk mendapatkan kemerdekaan dengan cara yang elegan. Namun di sisi yang lain, MoU Helsinki dianggap sebagai strategi pemerintah pusat untuk mengubur keinginan rakyat Aceh untuk membentuk “Negara Acehâ€.
Kata Kunci : State Imaginer, Nasionalisme Lokal, Negara Aceh